Filler Gusi Tren di Luar Negeri, Bagaimana Indonesia?

Ilustrasi gusi.
Sumber :
  • Pixabay/ Kjerstin_Michaela

VIVA – Tren kecantikan terus mewabah. Teknologi untuk menyulap wajah dan tubuh agar terlihat menarik dipandang, semakin beragam dan maju. Tak hanya sekadar operasi plastik, botoks, dan tanam benang. Belakangan, filler juga menjadi pilihan perawatan kecantikan agar terlihat lebih menawan.

Tak Mampu Bayar Suntik Filler, Bibir Seleb TikTok Ini Bengkak Sebelah

Bukan lagi filler hidung dan bibir, ada lagi jenis filler yang belakangan tren di luar negeri, yaitu filler gusi. Teknik ini diyakini bisa mempercantik penampilan seseorang. Ya, penampilan tak hanya dilihat dari bentuk wajah, saat tersenyum dengan gusi merah pink dan gigi putih, juga bisa membuat seseorang makin percaya diri.

Filler gusi ini belakangan sering dilakukan, karena bisa kembali memampatkan gusi yang renggang akibat penuaan. Namun, sayang teknik ini ternyata dinilai berbahaya. Karena, gusi merupakan salah satu organ penting dalam tubuh manusia.

Industri Estetika Masuki Era Beauty 4.0

Filler Gusi

Setiap orang pasti sadar, keindahan gusi sama pentingnya dengan gigi. Saat tersenyum, gusi yang merah berisi juga bisa mempercantik penampilan. Namun, saat gusi mulai merosot, sering mengalihkan perhatian dari senyum yang seharusnya terlihat sempurna.

Body Contouring Bakal Jadi Tren Kecantikan 2019

Dilansir dari laman Contemporary Family Dentistry, Senin 12 Februari 2018, jika terlihat ada celah antara gigi dan gusi, tak perlu lagi mengubah tampilan gigi. Sebagai gantinya, seseorang hanya butuh menjalani filler gusi.

Anggota American Academy of Facial Esthetics, Dr Henderson mengatakan, filler gusi bisa diberikan di bagian segitiga hitam yang tak sedap dipandang dan celah lainnya di antara gigi dan gusi.

"Gusi hanyalah penutup untuk tulang. Kesenjangan antara gigi dan gusi, mungkin merupakan tanda keropos tulang, yang bisa menjadi masalah besar. Tulang rahang inilah yang menahan gigi Anda tetap pada tempatnya."

Namun, perawatan tulang-tulang di area rongga mulut ini perlu diperhatikan, agar gusi juga tetap sehat. Karenanya, jika ada masalah gusi yang dibiarkan, akhirnya dapat menyebabkan gigi menjadi overexposed, sensitif, dan bahkan kendur.

Jika keropos tulang aktif yang menyebabkan celah antara gigi dan gusi, biasanya dokter gigi akan melakukan perbaikan kesehatan gusi dan mengobati penyakit gusi.

Sebelum menjalani filler, biasanya dokter gigi atau dokter gigi estetika akan melakukan evaluasi. Jika dirasa perlu, jawaban sempurna untuk masalah ini adalah dengan filler gusi.

"Kami menggunakan Juvaderm, asam hyaluronic, untuk mengisi area antara gusi dan gigi, untuk menghilangkan segitiga hitam (seperti yang disebut dokter gigi). Ini adalah pengobatan yang relatif baru dengan hasil yang bagus."

Terkadang tidak ada pilihan lain untuk mengatasi masalah gusi yang mulai surut. Cangkok gusi tradisional mungkin tidak bekerja maksimal. Dan, filler gusi, bisa mengisi sisi sisi antara gigi dan gusi yang kosong dan bisa mengembalikan senyum terlihat kembali menawan. Filler gusi adalah cara yang hemat biaya dan sederhana untuk menghilangkan masalah ini, jika dibanding dengan pemasangan kawat gigi.

Namun, dalam kebanyakan kasus, solusi tersebut tidak memadai untuk menutup celah di antara gigi. Sampai saat ini, dokter gigi mengatakan kepada pasien mereka untuk menghadapinya dan tidak ada yang bisa dilakukan. Padahal, menurut dokter gigi di Oregon, Amerika Serikat ini, dokter gigi saat ini dapat menggunakan produk yang sama dengan yang telah digunakan oleh industri kosmetik untuk menambah volume bibir hingga terlihat lebih seksi berisi.

Dr. Henderson kebetulan menjadi satu-satunya dokter gigi di Oregon Tengah, yang memiliki pengalaman melakukan filler untuk gusi. Berkat dedikasinya terhadap pendidikan berkelanjutan, dia memiliki keahlian untuk menawarkan layanan gigi terbaru dan terhebat kepada pasiennya. Filler gusi, adalah sesuatu yang dia percaya akan sangat membantu banyak orang.

Berikutnya, belum jadi tren>>>

Belum jadi Tren di Indonesia

Meski di luar negeri filler gusi mulai menjadi bagian dari penunjang penampilan, tetapi di Indonesia teknik perawatan ini belum booming dan belum banyak diketahui orang awam.

Dokter Gigi, Dini Wahyu saat berbincang dengan VIVA mengatakan, filler gusi biasanya dilakukan khusus untuk gusi yang memang bermasalah agar terlihat lebih merah dan berisi. Biasanya, perawatan ini bisa dilakukan di dokter spesialis periodontist yang memang khusus menangani masalah jaringan gigi .

"Caranya biasanya disuntik dengan beberapa teknik. Ada juga dengan cara surgery. Biasanya menggunakan bahan yang sewarna dengan gusi," terangnya.

Diakui pula olehnya, filler gusi memang memiliki manfaat, yakni, sangat menolong untuk mengatasi masalah gusi yang turun agar terlihat lebih bagus. "Gusi turun biasanya bisa terjadi karena plak, biasanya saat ada plak pasti gigi dibersihkan nah teknik pembersihan plak ini yang biasanya menyebabkan gusi turun."

"Gusi turun atau renggang bisa juga karena penyakit.  Bisa karena diabetes, kolesterol tinggi, hingga bakteri yang menyebabkan timbulnya plak."

Walau di luar negeri filler gusi mulai banyak dilirik, di Indonesia, filler gusi justru diakui drg Dini  belum jadi tren.

"Karena kebanyakan orang justru tidak sadar, jika dia mengalami masalah gusi turun. Biasanya gusi turun dialami oleh wanita di usia 40-an. Ya, ini karena proses penuaan, jadi bisa menyebabkan gusi turun. Jadi, terkadang justru dari dokter gigi yang menyarankan untuk dilakukan filler gusi."

Tak hanya wanita, pria pun bisa mengalami masalah gusi turun. Bisa terjadi karena terlalu kuat saat menggosok gigi sehingga terjadi abrasi pada gigi .

"Jadi, kalau di Indonesia belum tren, justru yang masih jadi tren adalah veneer dan bleaching gigi."

Untuk di Indonesia sendiri, biasanya filler gusi biayanya mencapai Rp4-6 juta. "Tergantung kondisi."

Menjalani filler gusi, juga ada syaratnya. Setelah selesai menjalani filler gusi, pasien wajib menjalani kontrol setiap enam bulan.

Dilansir dari laman Metro, meski praktis, mereka yang melakukan prosedur ini harus memeriksa terlebih dulu kondisi kesehatan gusi. Pastikan gusi bebas dari semua penyakit sebelum mulai menyuntikkan filler. Tak hanya itu, masih ada risiko infeksi atau reaksi alergi yang mungkin dialami saat melakukan filler gusi.

Perlu diketahui pula, filler gusi dapat menyebabkan masalah jangka panjang pada kesehatan gusi. Dokter gigi Luke Thorley di Inggris mengatakan, risiko melakukan filler di gusi bisa menjadi serius dan menyebabkan situasi lebih buruk daripada kejadian pertama.

Menurutnya, gusi merupakan bagian rongga mulut yang sangat vaskular (penuh dengan suplai darah, karenanya berwarna pink) dan jika menyuntikan filler ke pembuluh darah, menyebabkan pembuluh darah ini tersumbat dan hasilnya bisa nekrosis jaringan (kematian dini sel dan jaringan hidup) yang akan menyebabkan gusi jadi hitam, menimbulkan bekas luka, dan akhirnya mati.

"Saya secara pribadi, tidak akan merekomendasikan perawatan ini kepada teman, keluarga atau pasien saya," kata Luke melanjutkan.

Bahkan, meski pengobatan ini berhasil kemungkinan besar akan perlu diobati setiap tiga sampai enam bulan.

Menurut Luke, akan lebih baik lakukan perawatan yang benar untuk pasien dengan menghilangkan penyebab resesi dan kemudian menyelaraskan gigi dengan beberapa perawatan ortodontik.

"Ini merupakan pengobatan yang lebih stabil, hemat biaya dan aman seumur hidup."

Selanjutnya, filler hidung dan bibir>>>

Filler hidung dan bibir

Meski filler gusi belum jadi tren di Indonesia, namun filler wajah dan bibir, justru semakin banyak diminati. Tak tanggung-tanggung, generasi millenial ikut gandrung dengan metode kecantikan ini.

Ya, generasi millennial disebut-sebut gemar akan segala sesuatu yang serba instan. Hal ini terbukti, dengan kemauan mereka yang ingin cantik, tetapi anti-ribet.

Dipaparkan President Director of Miracle Group, dr. Lanny Juniarti, dalam media gathering Aesthetic Outlook 2018, beberapa waktu lalu, tren tindakan kecantikan instan tanpa pembedahan sangat tinggi peminat di tahun ini. Peminatnya yang cukup tinggi, justru mereka yang berada pada rentang usia remaja.

"Generasi millennial saat ini berada di usia belasan tahun. Usia itu memiliki minat yang sangat tinggi terhadap tindakan kecantikan instan, seperti filler hidung dan bibir yang dilakukan oleh anak di bangku SMA," ucap Lanny.

Menurutnya, keinginan mengubah bentuk wajah ini dipicu oleh kelompok pertemanan di sekitarnya. Di sini, generasi millennial yang sedang berada di masa remaja, mulai menyadari pentingnya berpenampilan menarik.

"Keinginan memiliki tampilan wajah menarik melalui perubahan bentuknya, kita sebut dengan beautyfication. Artinya, mereka tidak memiliki masalah pada wajahnya, namun ingin mengubahnya seperti wajah idola mereka," paparnya.

Tak hanya itu, media sosial yang selalu ramai dengan tampilan wajah cantik para warganet di seluruh dunia, juga jadi pemicu, mengapa semakin banyak orang ingin terlihat sempurna. Hal ini, ternyata memicu tren suntik filler masih booming pada 2018 ini.

Menurut ahli estetika, dr. Kevin Maharis, ada tiga terapi untuk membentuk wajah menjadi proporsional tanpa pembedahan.

"Kalau ingin lebih nampak dan terlihat, pastinya suntik filler. Tetapi, kalau untuk memberi efek wajah tirus, bisa diberikan neurotoksin dan alat seperti setrika wajah, atau teknik pembakaran lemak. Semua itu tanpa perlu bedah," ujar Kevin kepada VIVA.

Dari tiga itu, satu terapi yang masih sangat tinggi peminatnya hingga kini, yaitu suntik filler. Menurut Kevin, suntik filler masih sangat disukai oleh banyak masyarakat di dunia, karena keinginan untuk terlihat cantik semakin seksi, tanpa bedah plastik.

"Suntik filler masih sangat tinggi di 2018. Apalagi, dengan zamannya selfie, trennya akan sangat tinggi seperti permintaan bibir Kyle Jenner. Sama juga pada kaum pria," ujar Kevin.

Kendati demikian, untuk melakukan terapi tersebut, Kevin menekankan untuk konsultasi terlebih dahulu dengan ahlinya. Sebab, bahaya suntik filler bisa mengintai, jika dilakukan oleh mereka yang bukan profesional.

"Efek samping filler bisa kena pembuluh darah, menyumbat, lalu iskemia bisa terjadi. Maka, bagian atas kulit tidak mendapatkan asupan oksigen yang dibutuhkan. Bahaya infeksi kulit juga bisa mengintai," tuturnya. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya