PK Ahok dan Kasus Buni Yani

Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Ubaidillah

VIVA – Perkara penodaan agama, dengan terpidana Basuki Tjahaja Purnama, memasuki babak baru. Hal itu lantaran Ahok, sapaan Basuki, mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) kasus yang membelitnya ke Mahkamah Agung. Permohonan dilayangkan pada 2 Februari 2018.

PT BMI Ajukan PK Kasus Sengketa Lahan ke MA, Minta Eksekusi Ditunda

Sekitar 20 hari kemudian, sidang perdana PK tersebut digelar di ruang Koesoema Atmadja, Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat. Sidang yang dipimpin oleh hakim ketua Mulyadi, dengan anggota Salman Alfaris dan Tugianto itu hanya berlangsung sekitar 10 menit.

Dalam sidang itu, tim pengacara mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut menyampaikan berkas memori PK kepada hakim. Majelis hakim akan memberikan berita acara pendapat untuk segera dikirim kepada Mahkamah Agung, Senin, 5 Maret 2018. “Tidak perlu mengadakan sidang kembali," ujar hakim ketua Mulyadi, di ruang sidang, Senin, 26 Februari 2018. 

Kalapas Sukamiskin: Mardani Maming Hadiri Sidang PK di PN Banjarmasin, Kini Sudah Kembali ke Sel

Sidang PK Ahok di PN Jakarta Utara, Senin, 26 Maret 2018.

Sementara Ahok tak bisa hadir dalam sidang PK itu karena tengah menjalani hukuman. Dia divonis dua tahun penjara lantaran dinyatakan bersalah menistakan agama Islam terkait Surat Al Maidah ayat 51.

Otto Hasibuan Jelaskan Perkembangan Kasus Jessica Wongso, Mau Ajukan PK Bulan Januari

Ada sejumlah alasan Ahok mengajukan PK tersebut. Salah satunya, menurut Josefina, kuasa hukum Ahok, karena ada putusan kasus Buni Yani. “Kami melihat bahwa di dalam putusan itu sendiri dasar Buni Yani ditetapkan jadi tersangka dan dipidana karena dia edit di videonya Pak Ahok," ujarnya.

Buni Yani divonis 18 bulan penjara dalam perkara pelanggaran  Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), di  Pengadilan Negeri Bandung, Jawa Barat, Selasa, 14 November 2017. 

Majelis hakim menilai, Buni Yani bersalah atas perbuatannya mengunggah video pidato Gubernur DKI Jakarta saat itu, Basuki Tjahaja Purnama, disertai dengan mencantumkan keterangan transkrip video pidato yang tidak sesuai dengan transkrip aslinya. 

Video tersebut merupakan rekaman saat Ahok pidato di depan masyarakat Kepulauan Seribu, pada 27 September 2017. Video dan transkrip itu diunggah di laman Facebook Buni Yani.

Sidang lanjutan Buni Yani di Pengadilan Negeri Kelas 1A Bandung, Jawa Barat.

Bukan hanya karena kasus Buni Yani, Ahok layangkan PK. Dugaan kekhilafan hakim juga menjadi alasan lainnya. Tim pengacara mengaku memiliki bukti baru atau novum tentang adanya kekhilafan majelis hakim yang memutus perkara Ahok. 

Namun, mereka tak menjelaskan secara rinci. Fifi Lety Indra, kuasa hukum Ahok lainnya, hanya mencontohkan, ketika Ahok diputuskan ditahan langsung, misalnya. Padahal, di sisi lain, hakim memberikan pertimbangan bahwa Ahok kooperatif.

“Itu enggak diuraikan, kenapa Ahok langsung ditahan seketika, padahal langsung nyatakan banding. Kedua, Ahok tidak pernah ditahan karena sangat koperatif,” ujar Fifi yang juga adik Ahok ini.

Ahok dan tim pengacaranya.

Adapun jaksa penuntut umum (JPU) punya pandangan lain. Menurut Sapto Subroto, jaksa dari Kejaksaan Negeri Jakarta Utara, tidak ditemukan ada bukti baru dalam PK Ahok.  Alasan pemohon mengaitkan antara kasus Buni Yani dengan perkara Ahok tidak bisa dihubungkan. "Jadi, delik berbeda sama sekali antara Ahok dan Buni Yani. Jadi,  ini tidak ada kaitannya, karena bukti-buktinya juga berbeda," ujar Sapto.

Segendang sepenarian. Ardito Muwardi, JPU lainnya, mengungkapkan   pembuktian dan bukti, serta delik masing-masing kasus itu tidak terkait dan tidak memengaruhi pembuktian masing-masing perkara.

Syarat pengajuan PK itu, menurut Ardito, berdasarkan Pasal 263 ayat 2 huruf b KUHAP itu apabila ada dua putusan saling meniadakan atau saling memengaruhi. “Misalnya, di salah satu putusan Buni Yani mengganggu pembuktian di Ahok atau sebaliknya, nah itu bisa jadi alasan PK. Ini tidak ada," ujar Ardito.

Kontroversi PK 

Hal senada dikemukakan Abdul Chair Ramadhan, pakar hukum pidana. Menurut dia, dalil novum sebagai dasar permohonan PK yang diajukan oleh Ahok terkesan hanya berupa “tafsiran” belaka. “Konsekuensi novum yang hanya berupa tafsiran belaka tentu lah tidak dapat diterima,” ujar dosen Fakultas Hukum Universitas Islam As-Syafiiyah itu dalam keterangan tertulis yang diterima VIVA, Senin, 26 Februari 2018. 

Pria yang pernah menjadi saksi ahli pidana Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat dalam perkara Ahok itu, mengemukakan antara putusan Buni Yani dengan putusan Ahok adalah dua perkara yang berbeda. Dengan demikian, tidak memiliki hubungan yuridis dalam kaitannya dengan permohonan PK Ahok. Buni Yani divonis dengan Pasal 32 ayat 1 jo Pasal 48 ayat 1 UU ITE. Sedangkan Ahok divonis dengan Pasal 156a huruf a KUHP.

Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab.

Pengajuan PK tersebut juga dipersoalkan lantaran Ahok dinilai tak melakukan banding dan kasasi, tapi langsung mengajukan PK. Salah satu kritik datang dari Imam Besar Front Pembela Islam Rizieq Shihab. Ahok, menurut Habib Rizieq, tidak bisa mengajukan PK karena telah menerima putusan di persidangan dan tidak mengajukan banding. 

"Aturan Mahkamah Agung sudah jelas bahwa suatu kasus yang tidak melalui proses banding dan kasasi tidak bisa dan tidak boleh diajukan PK. Ingat, Ahok tidak pernah banding maupun kasasi sehingga PK-nya wajib ditolak demi tegaknya hukum," ujarnya lewat rekaman pembicaraan melalui telepon yang diperdengarkan di Masjid Baitul Amal, Cengkareng, Jakarta Barat, Rabu, 21 Februari 2018.

Pendapat tak sama disampaikan Abdul Fickar Hadjar, pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti. Menurut dia, tidak ada masalah dengan PK yang diajukan Ahok. Sebab, PK itu untuk semua putusan yang berkekuatan hukum tetap. “Makanya saya bilang yang berpendapat (Ahok tak bisa ajukan PK) seperti itu lebai. Kurang paham apa gimana,” ujarnya saat dihubungi VIVA, Senin, 26 Februari 2018.

Menurut dia, hal terpenting ada salah satu alasan pengajuan PK itu yang dipenuhi. Pertama, ada bukti baru. Kedua, ada kekeliruan dalam putusan pertama. Abdul pun menilai tak ada masalah jika alasan PK itu lantaran melihat putusan Buni Yani. Sebab, meski itu dua perkara berbeda tapi ada korelasinya. “Walaupun dua perkara itu berbeda tapi korelasi,” katanya.

Sidang Peninjauan Kembali (PK) kasus penistaan agama Ahok

Tim pengacara Ahok juga tak ambil pusing jika ada pihak-pihak tertentu tak menginginkan kliennya itu mengajukan PK. Sebab, PK itu merupakan salah satu hak yang dapat ditempuh seorang warga negara yang tersandung masalah hukum. 

Soal banding, kuasa hukum sudah pernah mendaftarkannya. Namun kemudian Ahok tak mau dan meminta kuasa hukum mencabutnya.  “Bahwa sekarang ke PK, pasti ada pembicaraan," ujar Josefina, kuasa hukum Ahok.

Menurut dia, tak ada niatan lain dalam mengajukan permohonan PK itu, selain bisa membebaskan Ahok dari segala putusan pidana yang telah menyeretnya ke balik jeruji besi. Ada dua tuntutan diajukan jika PK itu dikabulkan, yaitu pembebasan Ahok dan membersihkan lagi nama Basuki Tjahaja Purnama. "Harapan tertinggi bebas dan direhabilitasi namanya," ujar Josefina. (one)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya