Menghalalkan Transportasi Online

Aksi Damai ribuan driver ojek online beberapa waktu lalu.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

VIVA – Polemik transportasi online di Tanah Air sepertinya tidak pernah ada habisnya. Dari kisruh terkait legalitas taksi online, bubarnya Uber hingga masalah rendahnya tarif ojek online yang ditetapkan oleh aplikator.

GoTo Rugi Rp 90 Triliun pada 2023, Manajemen Ungkap Penyebabnya

Sejumlah aturan pun dibuat pemerintah melalui Kementerian Perhubungan yang mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 108 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek.

Dari aturan itu sejumlah mitra dari aplikator diharuskan mengikuti seluruh ketentuan negara sebagai transportasi yang dapat memberikan kenyamanan dan keselamatan bagi para konsumennya.

Soal Rencana Buyback Saham, Dirut Goto Kedepankan Prinsip Kehati-hatian

Namun, aturan tersebut dinilai tak cukup adil bagi pelaksanaan transportasi online. Sebab, tak ada yang mengatur tentang kewenangan negara mengatur para aplikator dalam menyejahterakan mitra pengemudinya.

Puncaknya, ketika ribuan para driver ojek online berunjuk rasa di depan halaman Istana Merdeka yang menuntut rasionalisasi tarif ojek online yang saat ini dinilai terlalu rendah, yaitu rata-rata Rp1.600 per kilometer.

Goto Dapat Komisi dari TikTok Shop-Tokopedia per 1 Februari 2024

sorot ojek online - transportasi online - ojek grab

Tuntutan tersebut kemudian ditanggapi oleh Presiden Joko Widodo dan meminta menterinya menyelesaikan. Tapi, upaya itu tak mudah dilakukan, terlebih tak ada undang-undang yang bisa membuat negara ikut campur masalah tersebut.

Untuk itu, Kementerian Perhubungan kemudian mewacanakan untuk menjadikan perusahaan penyedia aplikasi transportasi online di Indonesia yaitu Gojek dan Grab menjadi perusahaan transportasi.

Langkah ini pun mendapat persetujuan anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan yaitu Adian Napitupulu. Menurutnya, agar tak menimbulkan gejolak sosial dan pelanggaran konstitusi maka disarankan Permenhub 108 direvisi.

Adapun tujuannya, lanjut Adian adalah untuk melindungi nasib jutaan driver. Selain itu, untuk memastikan negara tidak kehilangan potensi pajak yang besar dan bisa menyelesaikan transportasi online di Indonesia.

Sementara itu, Chief Executive Officer (CEO) Gojek, Nadiem Makarim tak mau menanggapi hal tersebut. Ia hanya meminta maaf dan tak mau berkomentar banyak terkait hal tersebut.

"Mohon maaf banget, saya belum bisa comment," kata Nadiem ditemui usai menghadiri acara The Economist Event Indonesia Summit 2018, di Shangri-La Hotel, Jakarta, Kamis 5 April 2018.

Lebih dari sekadar aplikasi

Upaya pemerintah untuk menjadikan perusahaan penyedia aplikasi sebagai perusahaan transportasi tak asal dilakukan. Hal ini menimbang peran dari perusahaan itu yang telah melebihi sekadar penyedia aplikasi atau sudah masuk dalam ranah transportasi.

Iktikad itu akan diwujudkan dalam penambahan beberapa pasal di Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 108 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek.

Sekretaris Jenderal Kemenhub, Sugihardjo mengatakan, rencana perubahan aturan tersebut akan didiskusikan dengan pemangku kepentingan atau stakeholder terlebih dahulu. Diharapkan revisi PM 108 itu segera terealisasi pada bulan ini.

"Kita nunggu dialog dengan stakeholder. Ya mungkin bulan ini," kata Sugihardjo di kantor Kemenhub, Jakarta, Selasa 3 April 2018.

Ia menjelaskan, aturan itu tidak diubah secara keseluruhan, artinya hanya ada beberapa penambahan pasal yang saat ini tengah didiskusikan. Gunanya agar beberapa larangan mau diikuti aplikator tersebut.

"Kenapa ditegaskan? Karena larangan aplikatornya tidak dilaksanakan, terbukti masih memberi order, menetapkan tarif, kalau mau seperti itu, ya sebagai perusahaan (transportasi) saja," katanya.

Menteri Perhubungan saat resmikan stiker untuk taksi online.

Sementara itu, Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi, mengatakan, revisi beleid itu telah disepakati dalam pembicaraannya dengan Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko, dan Menteri Kominfo Rudiantara di kantor Staf Presiden.

Menurutnya, langkah ini merespons usulan dari para pengemudi taksi online. Nantinya, diharapkan para driver itu bisa berhubungan langsung dengan perusahaan transportasi.

"Kami ajak aplikator bicara tentang hal-hal itu bisa dilaksanakan. Sedangkan hal terkait safety tetap dipertahankan. Tentunya itu akan masuk ke dalam upaya kami lakukan revisi," tuturnya.

Saat ini, status perusahaan Gojek dan Grab adalah perusahaan penyedia aplikasi transportasi online atau aplikator. Hal itu membuat perusahaan itu tidak harus mengikuti aturan angkutan yang dikeluarkan Kementerian Perhubungan.

Kondisi itu pada akhirnya membuat mitra pengemudi yang menanggung beban penuh dari aturan angkutan umum yang berlaku. Adapun pengubahan transportasi online menjadi perusahaan transportasi akan dilakukan pada April 2018.

Sangat telat

Mendengar rencana pemerintah yang akan membuat transportasi online seperti Gojek dan Grab menjadi perusahaan transportasi, Dewan Pimpinan Pusat Organisasi Angkutan Darat (Organda) ikut berbicara.

Sekretaris Jenderal DPP Organda, Ateng Aryono mengatakan, sebenarnya pihaknya sudah mengusulkan kepada pemerintah sejak beberapa tahun yang lalu.

Menurut dia, upaya itu sebenarnya sangat telat jika pemerintah melakukan saat ini. "Kami sampaikan tiga tahun lalu. Kalau itu sekarang baru diwacanakan, telat," kata Ateng di kantor Kemenhub, Jakarta, Selasa 3 April 2018.

Meski begitu, dia mengatakan, Organda tetap mendukung upaya pemerintah untuk segera menetapkan hal tersebut. Ia memaklumi keterlambatan penerapan aturan itu.

"Tapi sudahlah, itu dinamika, derita dan lain-lain," katanya.

Pengemudi ojek online demo di depan Istana Merdeka, Jakarta

Sementara itu, pengamat transportasi Djoko Setijowarno mengatakan, rencana transportasi online menjadi perusahaan transportasi bisa saja dilakukan. Mereka tinggal pilih ingin menjadi angkutan seperti apa saat ini.

"Ya boleh saja, tinggal pilih mau jenis yang mana. Ada angkutan perkotaan, pedesaan, AKDP, AKAP, angkutan wisata, taksi, angkutan sewa khusus," jelasnya kepada VIVA.

Djoko mengungkapkan, seluruh perusahaan aplikasi online tersebut mau tidak mau tentu harus mengikuti ketentuan pemerintah. Sebab, perusahaan itu jika ekspansi ke luar negeri tipis kemungkinan bisa bertahan.

Terkait belum bicaranya Gojek dan Grab terkait perubahan perusahaan transportasi, lanjut Djoko sangat wajar. Sebab, memang tak mudah menjadi operator angkutan umum.

"Sedikit untung, banyak masalah. Dan bila itu mudah jadi operator tentu dua tahun yang lalu pasti mereka beralih," ujarnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya