Sekolah, Ayo Tangkal Radikalisme!

Siswa Sekolah Dasar bersiap upacara bendera.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

VIVA – Dampak teror bom bunuh diri yang terjadi di Surabaya, Jawa Timur, begitu membekas. Teror beruntun yang menghunjam Kota Pahlawan itu seolah menjadi cambuk bagi semua pihak agar waspada terhadap sel-sel terorisme yang bisa hidup di mana saja.

Di Banten, Habib Luthfi dan BNPT Serukan Pencegahan Paham Radikal

Berkaca teror bom di Surabaya dan Sidoarjo, dari tiga kelompok pelaku, masing-masing teridentifikasi sebagai satu keluarga. Para pelaku mengajak seluruh keluarganya, termasuk istri dan anak-anaknya dalam aksi teror. Ruang privat keluarga dengan mudah disusupi paham radikal.

Yang bikin mengernyitkan dahi dari peristiwa teror Surabaya adalah pelakunya melibatkan anak-anak sebagai bomber. Tragedi kemanusiaan tersebut, menjadi pelajaran penting bagi semua pemangku kepentingan, khususnya di bidang pendidikan agar menangkal peserta didik dari paham menyimpang.

Radikalisme Tersebar Luas, BNPT: Aksi Terorisme Lone Wolf Meningkat

Itu pula yang ingin ditekankan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, saat mendampingi Presiden Joko Widodo dalam peresmian Kereta Api Bandara, Padang-International Airport Minangkabau, di Padang Sumatera Barat, Senin 21 Mei 2018.

Sembari menunggu kehadiran Presiden Jokowi, Muhadjir menyempatkan untuk menghampiri, menyapa dan berbincang dengan puluhan siswa dan siswi SMA/SMK yang turut hadir. 

Tiga Opsi Kemendikbud Soal Kisruh PPDB DKI Jakarta

Dalam kesempatan momentum Hari Kebangkitan Nasional, Muhadjir meminta para siswa dan siswi untuk giat belajar. Apalagi sebagai pengurus Osis, harus bisa menjadi pemimpin. "Salah satu yang ditonjolkan cinta Tanah Air," katanya.

Muhadjir juga menyoroti aksi bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya pada Minggu pagi 13 Mei 2018. Mengingat, ada anak-anak yang masih bersekolah dilibatkan untuk bom bunuh diri. Keluarga yang diharapkan bisa membentengi, nyatanya masih terjadi seperti di Surabaya. "Peran sekolah dan pendidik cukup besar. Jadi harus seimbang," katanya.

Sebelumnya, saat mengunjungi korban terorisme di Surabaya, Senin, 14 Mei 2018 lalu, Mendikbud mengatakan peristiwa teror di Surabaya ini imbas dari doktrin yang menyesatkan, terutama pengaruh dari gerakan radikal dan teror.

Karenanya, Ia mengimbau agar sekolah dan orangtua dapat menguatkan hubungan satu sama lain, sebagai bagian dari tripusat pendidikan dan penguatan pendidikan karakter (PPK).

"Makanya kami ingin sekolah punya data lengkap hubungan antara siswa dengan orangtua, dan hubungan orangtua dengan sekolah," ujar Mendikbud.

Mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang itu berharap dapat terjadi hubungan yang baik antara keluarga, sekolah, dan masyarakat. Dan jika ada perilaku menyimpang, baik oleh siswa ataupun orangtua, bisa segera diketahui.

Baca: Menangkal Radikalisme Anak

Peraturan Menteri

Merespons kekhawatiran akan masuknya radikalisme di sekolah, Menteri Muhadjir Effendy mengatakan kementeriannya sedang merancang satu peraturan yang berfungsi memperkuat peran kepala sekolah dan guru untuk menangkal radikalisme.

Bahkan, juga akan dibuat peraturan menteri untuk menata ulang peran kepala sekolah tak lagi sebatas bertanggung jawab atas anak didiknya di dalam sekolah, tetapi juga di luar lingkungan sekolah.

"(Peran) Kepala sekolah segera kami ubah dengan permen (peraturan menteri) baru; kepala sekolah sebagai manajer sekolah. Dia harus tanggung jawab dalam proses KBM (kegiatan belajar-mengajar) siswa di sekolah, luar sekolah dan keluarga," kata Muhadjir di Padang, Sumatera Barat, pada Senin, 21 Mei 2018.

 "Kalau ada kejadian, yang menimpa siswa, meski di luar sekolah, kepala sekolah juga harus tanggung jawab," imbuhnya.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy

Selain itu, menurutnya, sekolah-sekolah harus mengonsolidasikan diri untuk menangkal kejadian serupa. Sebetulnya, secara sistem selama ini sudah ada Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter. Tinggal penerapan di sekolah dan didukung peraturan menterinya yang bersifat lebih teknis.

Walau demikian, Muhadjir menegaskan, sekarang tidak diperlukan kurikulum baru karena selama ini memang sudah ada kontennya, hanya tinggal fokus penekanannya. "Titik berat pada nasionalisme yang meliputi, cinta Tanah Air, bela negara, kemandirian, gotong royong, kejujuran, dan religiusitas," ujarnya.

Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Susanto, mendukung langkah Kemendikbud yang menguatkan sistem pencegahan terhadap paham radikalisme di sekolah. Menurutnya, satuan pendididikan harus penjadi pelopor pencegahan, agar anak tidak terpapar paham menyimpang.

"Terkait rumusannya, tentu perlu masukan dari berbagai pihak. KPAI nanti secara khusus juga akan memberikan masukan," kata Susanto kepada VIVA, Senin, 21 Mei 2018.

Baginya, pencegahan infiltrasi radikalisme tak sekadar terpaku pada kurikulum dan pendidikan karakter melalui peningkatan wawasan keagamaan dan kebangsaan, namun bagaimana menciptakan lingkungan yang tak terinfiltrasi radikalisme dan proses pengasuhan yang zero radikal.

"Pola pencegahan infiltrasi radikalisme di satuan pendidikan tentu harus komprehensif, mulai memastikan rekrutmen guru, proses pembelajaran, memastikan sumber belajar kredibel, literasi anak agar tidak terinfiltrasi radikalisme melalui medsos dan lain lain," ujarnya.

Jangan Reaktif

Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih, mendukung upaya Kemendikbud dalam rangka memerangi terorisme. Karena upaya paling efektif perang teorisme adalah dengan pendidikan di semua tingkatan.

Sebagaimana diketahui, jika sumber terorisme itu adalah faham radikalisme atau ekstremisme, maka jalan keluarnya adalah memformulasikan sikap tengah atau moderat dalam materi pendidikan nasional.

"Nah bila Mendikbud hendak menerbitkan peraturan terkait hal ini maka Menristekdikti pun harus diajak bersama ikut menyusunnya. Agar tidak hanya Dikdasmen tapi Dikti juga terlibat, termasuk Kemenag karena sektor pendidikan ini ada yang ditangani oleh Kemenag," ujar Faqih kepada VIVA, Senin, 21 Mei 2018.

Politikus PKS ini menekankan, pelibatan seluruh elemen pemangku kepentingan pendidikan untuk ikut berpartisipasi memberi masukan dalam memerangi terorisme, agar bisa memberikan arah yang jelas agar bisa mendukung amanat Perpres 87 tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter.

Kemudian, membangun ideologi Pancasila dan menghindari ekstremisme yang berbasis Komunisme, Sosialisme, Fasisme, Liberalisme, Hedonisme dan lain lain, yang mengarah pada sikap ekstrrm, sehingga merusak budaya Indonesia yang moderat dan toleran.

Siswa SD.

Tak bisa dipungkiri, untuk memerangi paham radikalisme, salah satunya dengan cara memperkuat peran lembaga pendidikan. Karena radikalisme disebarkan melalui doktrin, dan lembaga pendidikan memiliki peran signifikan dalam melawan doktrin-doktrin kekerasan.

Oleh sebab itu, rencana kemendikbud menerbitkan aturan untuk memperkuat peran kepala sekolah dalam menangkal radikalisme patut untuk diapresiasi. "Kendatipun tidak bisa dipungkiri ini hanya respons spontan dari peristiwa bom di Surabaya," kata Anggota Komisi X DPR, Nizar Zahro, kepada VIVA, Senin, 21 Mei 2018.

Selain itu, pelajaran agama dan pelajaran kebangsaan yang diajarkan di lembaga pendidikan harus kembali digalakkan lagi. Metode pengajarannya pun harus sesuai dengan nilai-nilai pendidikan.

Menurut Nizar, dengan mengajarkan sedini mungkin paham keagamaan yang rahmatan lil alamin dan paham kebangsaan yang penuh toleransi, maka ketika dewasa penanaman doktrin teroris tidak mudah masuk, sebab sejak dini sudah ditanamkan paham kegamaaan dan kebangsaan yang toleran.

"Tapi, pemerintah jangan hanya memberikan beban yang berat kepada kepala sekolah. Harus juga peran keluarga dalam mendidik anak-anaknya. Jadi, ada saling komunikasi antara kepala sekolah dengan orangtua siswa. Tidak dibebankan ke salah satunya. Tapi tanggung jawab bersama," terang politikus Gerindra ini.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya