Jurus Panser Blokir Terorisme

Penanganan terorisme.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Rahmad

VIVA – Gerak pemerintah bersih-bersih konten berbau radikalisme dan terorisme makin kencang dalam sepekan terakhir ini, menyusul pecahnya insiden terorisme di Mako Brimob Depok Jawa Barat dan ledakan bom di sejumlah lokasi di Jawa Timur.

Babak Baru Kasus Hoax Rekaman Forkopimda, Palti Hutabarat Diserahkan ke Kejaksaan

Per Minggu malam 20 Mei 2018, Kementerian Komunikasi dan Informatika telah memblokir 2528 situs dan akun media sosial yang terindikasi berbau konten ekstrimisme. Kominfo mengungkapkan, ada 9 ribu konten lainnya yang masuk antrean verifikasi konten. 

Angka tersebut akan terus berlanjut, Menkominfo Rudiantara memperkirakan pada Senin siang 21 Mei 2018, ada tambahan 3 ribu situs dan akun media sosial yang berisi radikalisme dan terorisme kena jerat tindakan dari Kominfo. 

Kemenkominfo Gelar Nobar Mengenal Literasi Digital Sejak Dini

Dari ribuan konten radikal itu, hampir setengahnya menyebar dari akun Facebook dan Instagram. Demikian halnya akun yang telah diblokir, pertama bersumber dari Facebook, Instagram dan kemudian menyusul YouTube. 

Kominfo mengungkapkan, konten radikal yang diblokir, mayoritas berisi ajakan provokatif untuk melakukan serangan sampai tutorial membuat bom. 

Beredar Kaos Kaki dengan Lafaz Allah, Polisi Malaysia Lakukan Penyelidikan

Salah satu konten yang kena sisir Kominfo yakni Buletin ISIS Al Fatihin. Laman Berbahasa Indonesia dan Melayu ini memuja-muji teror Bom Gereja Surabaya. 

Kominfo tak mau pusing dengan konten yang demikian. Langsung dibabat habis dari dunia maya. Rudiantara mengakui media sosial menjadi salah satu ladang penyebaran radikalisme.

Kominfo mengatakan, kriteria akun yang diblokir yakni mengunggah atau memiliki konten yang berbau bom dan terorisme. Ada juga konten yang mengancam dengan bom. 

Dalam proses pemblokiran konten terorisme itu, Kominfo menerima aduan dari warga dan pengguna melalui berbagai saluran komunikasi. Secara teknis, Tenaga Ahli Menteri Bidang Literasi Digital dan Tata Kelola Internet Kementerian Komunikasi dan Informatika, Donny B.U, mengatakan, pelacakan konten terorisme ini dilakukan selama tiga hari sejak terjadi ledakan Bom Gereja Surabaya. Pelacakan melalui mesin sensor internet milik Kominfo.

Mesin sensor internet Kominfo tiap dua jam berpatroli menyisir konten terorisme. Biasanya mesin sensor itu hanya berpatroli sekali dalam sehari.

Begitu menemukan akun atau situs memuat konten terorisme, Donny menuturkan, beberapa akun mendapatkan pengawasan dan pemantauan, sebelum nantinya ditindak lanjut dengan pemblokiran.

Bahkan dengan mesin sensor tersebut, Rudiantara percaya diri, penanganan situs dan konten di Kominfo sudah sangat cepat. Ia juga sudah memerintahkan jajarannya, agar dilakukan penyisiran dan crawling yang masing-masing tiap dua jam sekali pada mesin sensor internet tersebut.

"Tinggal masukkan keyword, nanti akan muncul situs-situsnya. Sudah enggak perlu jauh-jauh lagi ke Amerika Serikat," jelas Rudiantara.

Jumlah situs-situs yang di-crawling di Security Operations Center Kominfo.

Untuk melaporkan konten-konten tersebut, Kemkominfo telah menyiapkan website khusus dengan alamat aduankonten.id. Masyarakat dapat mengakses dengan cara mengirimkan cuplikan atau URL akun yang mengandung konten negatif tersebut. 

"Selain itu, aduan konten juga bisa dikirimkan melalui WhatsApp 08119224545 atau email aduankonten@mail.kominfo.go.id," ujar Rudiantara.

Dia mengatakan, untuk mengawasi konten radikal di dunia maya Kominfo tak hanya melakukannya dengan Polri dan BSSN.

"Kami minta masyarakat untuk tenang, tidak usah panik. Dari dunia fisik, dunia nyata, teman-teman BNPT dan Polri bergerak semua. Sedangkan dari dunia maya kami juga bergerak dengan data-data yang kami jelaskan itu,” ujar Rudiantara. 

Jurus panser

Kemkominfo menurutnya juga terus bekerja sama dengan para penyelenggara over the top (OTT). 

Untuk bersih-bersih konten terorisme, pada Selasa 15 Mei atau dua hari sejak teror Bom Gereja Surabaya, Kominfo duduk bersama dengan platform aplikasi media sosial, messenger dan chatting untuk bersih-bersih konten terorisme. 

Data Kominfo per 16 Mei, sehari setelah bertemu dengan platform internet, tercatat Telegram telah menurunkan (take down) 287 konten, Facebook dan Instagram (300 konten), YouTube menerima 250 aduan dan per 16 Mei sudah menurunkan sekitar 40 persen dari aduan yang diterima. Sedangkan Twitter per tanggal tersebut menerima 60-70 aduan dan setengahnya sudah diturunkan.

Langkah Kominfo tak berhenti dengan meminta platform media sosial untuk berpatroli dan menyisir konten terorisme. 

Rudiantara mengatakan, Kominfo sudah ancang-ancang untuk menindak platform internet yang ketahuan membiarkan konten terorisme. Belajar dari Jerman, Rudiantara mengatakan, Kominfo tak segan menindak platform media sosial yang melakukan pembiaran. 

"Saat ini kami sedang membuat aturan untuk menjerat platform-platform yang melakukan pembiaran konten yang berisi radikalisme dan terorisme,” ujarnya.

Nantinya, Rudiantara menggambarkan, aturan itu nanti akan menutup celah pada UU Informasi Transaksi dan Elektronik (ITE) yang hanya bisa menjerat pelaku individu atau perorangan. Seringkali dalam kasus penindakan konten negatif, dia mengakui, pemilik platform belum bisa dijerat atau didenda. 

Dalam menjerat platform media sosial, Jerman telah menerapkan UU yang disebut Network Enforcement Law (NetzDG). Aturan yang berlaku mulai 1 Januari 2018 itu mewajibkan platform atau perusahaan media sosial menghapus konten negatif dalam waktu 24 jam. 

Jika tak bisa memenuhi kewajiban itu, platform bakal langsung kena denda. 

"Kominfo belajar dari NetzDG. Diharapkan nanti akan ada Peraturan Pemerintah atau Permennya," jelas Donny. 

Dirjen Aptika Kominfo Semuel Abrijani Pangerapan di Security Operations Center.

Pakar teknologi dan informasi Onno W Purbo berpendapat, cara mudah mencegah akun maupun situs berbau radikalisme dan terorisme tak menyebar luas, yakni bekerja sama dengan pemilik platform. 

Pemerintah, menurutnya, mau tak mau harus berkoordinasi dengan admin platform media sosial untuk membongkar dan menyisir habis siapa dibalik akun dan pemilik konten tersebut. 

"Cara paling gampang gandeng Facebook dan lain-lain dan menurunkan semua postingan dari akun tersebut," jelasnya.

Perkara menumpas konten terorisme di dunia maya tak semudah ucap bibir saja. Bahkan sekelas Facebook juga mengakui butuh waktu memblokir konten, tak bisa secepat kilat. 

Kepala Kebijakan Publik Facebook Indonesia, Ruben Hattari mengakui proses pemblokiran memakan waktu lama. Hal ini, karena jumlah pengguna Facebook yang begitu banyak. Tetapi, untuk konten berkategori kekerasan tidak akan menunggu terlalu lama, beda hal dengan kategori pornografi.

Cara lapor konten Facebook dan Google

Ruben menjelaskan, pada Facebook, pengguna bisa melaporkan segala sesuatu yang teridentifikasi dengan terorisme, seperti melaporkan akun, foto, video, dan komentar.

Cara melaporkan di Facebook cukup mudah. Pengguna cukup mengklik titik tiga pada bagian kanan atas jika ingin melaporkan konten, video, akun maupun foto.

"Sedikit berbeda, jika ingin melaporkan komentar. Anda cukup menekan komentar tersebut sampai keluar beberapa pilihan. Anda, lalu masukkan kategorinya. Itu tergantung pada jenis pelanggaran," jelas Ruben. 

Sedangkan Public Policy Google Indonesia, Danny Ardianto menegaskan, mereka siap bekerja 24 jam tujuh hari untuk membabat konten radikalisme dan terorisme.

Danny mengimbau, apabila pengguna menemukan konten radikal pada YouTube, maka bisa dengan mudah melaporkan video tersebut.

Caranya, kata dia, dengan meng-klik titik tiga yang berada di bagian atas sebelah kanan, lalu klik laporkan (berlogo bendera). Setelah itu, akan muncul banyak pilihan. 

"Anda bisa meng-klik pilihan 'mendukung terorisme'," paparnya.

Aplikasi Whatsapp dan Facebook Messenger di iPhone

Jangan cuma blokir

Dalam bersih-bersih terorisme di internet, Onno berpandangan, harus bekerja sama dengan penegak hukum dan lembaga pemerintah mulai dari Polri, TNI, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Kementerian Pertahanan dan lainnya. 

Lembaga tersebut menurutnya punya bagian dan tugas dalam bersih-bersih konten terorisme, yakni mencegah munculnya akun dan situs provokatif berbau terorisme. 

Soal mesin sensor internet, Onno meminta Kominfo jangan hanya mengandalkan sistem tersebut untuk bersih-bersih terorisme. 

"Mesin pengais (mesin sensor) hanya bisa mendeteksi," katanya. 

Hal lebih penting dalam tumpas habis terorisme di internet yakni membekuk dan menindak pelaku atau pembuat konten terorisme, yang mana masuk pada ranah penegak hukum. 

Menurutnya, langkah ideal untuk bersih-bersih konten radikalisme dan terorisme bukan cuma langkah penapisan dari dunia maya.

"Tangkap orang jahatnya, proses sesuai hukum. Jangan blokir. Percuma, kalau diblokir orang yang jahat tersebut masih gentayangan. Saran saya, tangkap dan proses saja," tegasnya.

Bersih-bersih terorisme di internet, Kominfo seharusnya tak hanya menyisir bagian permukaan saja. Sebab bisa saja pelaku atau pembuat konten terorisme punya cara mengelabui patroli mesin sensor Kominfo. 

Pakar keamanan siber Pratama Persadha mengingatkan, banyaknya tool di internet yang membuat produsen konten maupun pelaku teror ini bisa melewati blokir yang dilakukan oleh Kominfo.

Pratama meminta Kominfo dan penegak hukum tak lupa memelototi bagian tersembunyi alias bawah tanah dari internet. yakni deep web atau dark web.  

Pada internet bawah tanah ini, ada banyak kegiatan ilegal, seperti transaksi narkoba, perdagangan manusia, termasuk juga komunikasi jaringan terorisme. 

"Bukan sembarang orang bisa masuk ke dalamnya. Aparat hukum harus mulai menelusuri aktivitas terorisme yang tersebar di dunia deep web dan dark web,” jelas chairman lembaga riset keamanan siber Communication and Information System Security Research Center (CISSReC) ini. 

Senada, Onno W Purbo menilai jika sudah masuk pada internet bawah tanah, butuh kerja keras membongkarnya. 

"Deep web lebih sudah. Bisa di-trace sih cuma enggak gampang," ujar pria yang akrab disapa Kang Onno. 

Naskah UU ITE hasil revisi

Pratama mengatakan langkah preventif perlu dilakukan dengan menelusuri potensi bibit terorisme yang bisa dilacak dari aktivitas digital. Hal ini sebagai antisipasi penyebaran paham radikalisme melalui internet, terutama lewat media sosial.

Selain itu, aparat juga dituntut untuk segera memetakan jaringan kelompok terorisme berdasarkan informasi hasil penangkapan tersangka. Pratama menjelaskan, sekali pun aksi teror dilakukan secara tunggal, tentu sudah ada komunikasi dan koordinasi dengan jaringan utamanya.

“Media sosial juga perlu steril dari paham radikalisme. Akun-akun yang sudah jelas aktif menyebarkan paham radikalisme harus segera ditindak dan ditutup. Termasuk juga situs web, pemerintah bisa berkoordinasi dengan penyedia hosting untuk menutup situs-situs web yang meresahkan masyarakat,” terang pria asal Cepu, Jawa Tengah ini.

Masyarakat turun tangan 

Selain bekerja sama dengan penegak hukum, Rudiantara berharap partisipasi masyarakat untuk melaporkan segera apabila menemukan konten negatif yang melanggar Undang-Undang misalnya konten terkait terorisme, radikalisme, provokasi, hoaks, ujaran kebencian atau SARA.

Pratama mendukung partisipasi masyarakat untuk menutup gerak konten terorisme makin menyebar luas. 

Seharusnya, ujar pakar siber itu, dengan tingkat penetrasi internet yang cukup merata di semua wilayah, pelaporan tanda-tanda terorisme bisa dilakukan dengan mudah, seperti melalui online chatting, aplikasi berbasis Android dan iOS, atau hotline yang siap sedia 24 jam. 

"Pemerintah harus bisa memfasilitasi itu,” terangnya.

Di samping itu, guna meminimalisir konten berbau terorisme di media sosial, Pratama mengusulkan agar pemerintah lebih merangkul para tokoh lintas agama untuk mempromosikan ajakan perdamaian. Bahwa tidak ada satu agama pun yang mengajarkan paham terorisme.

Dia menilai, selama ini disadari atau tidak, berkembangnya paham radikalisme banyak dipengaruhi oleh konten-konten di media sosial. Terorisme berkembang bukan hanya dilatarbelakangi oleh kemiskinan dan pendidikan semata, namun adanya narasi-narasi ekstrim yang menawarkan kehidupan lebih bermakna dengan jalan kekerasan dan penderitaan. 

"Narasi ini tentu sangat berbahaya. Dengan membanjiri media sosial tentang ajakan damai, tentu secara perlahan akan menenggelamkan konten-konten yang berbau terorisme,” jelas Pratama.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya