Ojek Online 'Tersandung' di Mahkamah Konstitusi

Para mitra pengemudi (driver) ojek online saat unjuk rasa di Jakarta beberapa waktu lalu.
Sumber :
  • ANTARA Foto/Muhammad Adimaja

VIVA – Ojek online kembali mendapat batu sandungan. Layanan transportasi berbasis daring itu, yang sudah menjadi andalan dan kebutuhan masyarakat, tidak diakui secara hukum. Ini lantaran sidang Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak permohonan pelegalan ojek online sebagai alat transportasi umum. 

Sopir Taksi Online yang Todong Penumpang Wanita dan Minta Rp 100 Juta Ditangkap saat Tidur Pulas

Mahkamah tidak mengabulkan gugatan 54 pemohon yang memberikan kuasanya kepada Komite Aksi Transportasi Online (KATO) untuk uji materi Pasal 47 ayat (3) UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ). 

Para pemohon merasa Pasal 47 ayat (3), bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sehingga berlakunya pasal a quo menimbulkan kerugian hak konstitusional para pemohon.

Viral Curhat Penumpang Dipaksa Transfer Uang Rp100 Juta oleh Driver Taksi Online

Pasal tersebut digugat pemohon karena tidak mengatur ojek online sebagai angkutan umum. Padahal, jumlah ojek online semakin masif seiring dengan meningkatnya kebutuhan pengguna.

“Amar putusan mengadili, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman di Gedung MK Jakarta, Kamis 28 Juni 2018. 

GoTo Rugi Rp 90 Triliun pada 2023, Manajemen Ungkap Penyebabnya

Hakim konstitusi bulat menolak ojek online sebagai angkutan umum. Majelis yang memutus adalah Anwar Usman, Aswanto, Arief Hidayat, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, Maria Farida Indrati, Manahan Sitompul, I Dewa Gede Palguna, dan Saldi Isra.

Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Mahkamah berpendapat Pasal 47 ayat (3) UU LLAJ merupakan norma hukum yang berfungsi untuk melakukan rekayasa sosial agar warga negara menggunakan angkutan jalan yang mengutamakan keamanan dan keselamatan, baik kendaraan bermotor perseorangan, maupun kendaraan bermotor umum. 

Mahkamah menegaskan tak menutup mata adanya fenomena ojek, namun hal tersebut tak ada hubungannya dengan konstitusional atau tidak konstutusionalnya norma Pasal 47 ayat 3 tersebut. Sebab, menurut Mahkamah, ketika aplikasi ojek online belum tersedia seperti saat ini, ojek tetap berjalan tanpa terganggu dengan keberadaan pasal 47 ayat 3 tersebut. 

Setelah melakukan kajian, Mahkamah memutuskan ojek online bukan alat transportasi yang legal.

Putusan tersebut menjadi perhatian publik terutama para ojek online dan penyedia layanan seperti Gojek dan Grab. Menanggapi hal tersebut, Gojek dan Grab masih belum berkomentar banyak, mereka masih irit bicara. Mereka menghargai proses hukum tersebut dan sedang mempelajari putusan MK. 

"Sebagai warga usaha yang baik, kami menghargai dan menghormati keputusan pemerintah dalam hal ini Mahkamah Konstitusi (MK) terkait status hukum ojek online," jelas Wakil Presiden Corporate Communications Gojek, Michael Say kepada VIVA, Sabtu malam 30 Juni 2018.

Perusahaan berbagi tumpangan yang didirikan oleh Nadiem Makarim itu meyakini, sejatinya sentuhan teknologi bisa membuat perubahan bagi masyarakat. 

"Kami percaya, pemanfaatan teknologi merupakan cara yang paling cepat dan tepat untuk membantu masyarakat Indonesia meningkatkan kesejahteraannya," ujar Michael Say. 

Sedangkan Grab Indonesia, belum merespons putusan MK tersebut. Grab masih mengkaji putusan yang menolak ojek online sebagai angkutan umum. "Terkait putusan MK, kami tidak berkomentar karena baru mengetahuinya lewat media dan kami sedang mempelajarinya," kata perwakilan Grab Indonesia.

Aksi unjuk rasa ojek online

Ojek Online Tak Dilarang

Selain penyedia transportasi online, Kementerian Perhubungan mengakui ojek online untuk saat ini sudah menjadi sebuah keniscayaan. Untuk itu kementerian tersebut menyatakan tidak akan melarang ojek online namun bakal mengaturnya dengan formula yang menyesuaikan dengan putusan Mahkamah tersebut. 

Kemenhub berkomitmen tetap membuat ojek online eksis, namun kewenangan pengaturan ojek online diserahkan pemerintah daerah.

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi meyakini putusan MK sudah mempertimbangkan segala aspek dan Kemenhub mencermati apa yang ada dalam putusan tersebut.

"Diantaranya kami memberikan kewenangan kepada Pemda untuk mengelola ojek online. Jadi sekalipun tidak masuk (dalam UU LLAJ) itu kami akan melimpahkan itu kepada Pemda," kata Budi. 

Soal kemungkinan opsi untuk revisi UU LLAJ, Budi menilai langkah tersebut saat ini belum menjadi prioritas. Meski opsi revisi UU itu mungkin saja dilakukan, tapi Kemenhub belum memandang begitu perlu dan mendesak.

"Ya segala kemungkinan itu ada, tapi apakah perlu?. Saya tidak merasa itu urgent ya, cara yang kita lakukan di Pemda, itu lebih baik," tuturnya.

Lain halnya respons dari pemohon. KATO berpandangan putusan MK tersebut menciderai rasa keadilan terutama bagi pengemudi ojek online. 

Tak malah menyerah, KATO sudah menyiapkan langkah selanjutnya. Komite ini mengaku sedang menyiapkan materi untuk kembali menguju materi UU LLAJ. Namun nantinya penggugat serta pasal yang digugat, berbeda. 

Selain itu, KATO mengajukan guagatn citizen lawsuit ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. 

"Citizen lawsuit itu kita melawan pemerintah, menggugat pemerintah. Yang kita gugat hanya satu, pemerintah mengakui roda dua sebagai angkutan umum dan mempunyai status hubungan kerja antara para driver-nya dengan aplikator,” kata Ketua Presidium KATO, Said Iqbal dalam keterangannya di laman Facebook Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia. 

Selain itu, KATO akan melobi ke parlemen, menuntut agar segera dibentuk Pansus dan masuk dalam prolegnas. 

Kurangnya Angkutan Umum

Peneliti Laboratorium Transportasi dan pengajar Teknik Sipil Universitas Soegijapranata, Semarang, Djoko Setijowarno berpandangan, ojek online marak lantaran didorong tren digital dan minimnya transportasi umum massal aman.

Padahal UU LLAJ memerintahkan Pemda dan pemerintah untuk menyediakan transportasi angkutan umum massal dengan menggunakan mobil penumpang dan bus sesuai Pasal 139 dan 158.

Kurangnya angkutan umum, menurutnya, terjadi lantaran kepala daerah tak melirik pengembangan transportasi umum. Sehingga akhirnya muncullah sepeda motor sebagai pengganti angkutan umum. Makanya di mana-mana sudah ada ojek dan kini makin menjadi tren ojek online mengaspal di jalanan. 

sorot ojek online - transportasi online - unjukrasa aksi tolak.

Jika daerah punya sistem angkutan umum yang cukup, ojek tak tumbuh subur. Djoko membandingkan dengan komitmen pemerintah Bangkok Thailand dan Beijing China, yang mana ojek sepeda motor tak begitu laris manis seperti di tanah air. Alasannya, di dua kota tersebut angkutan umum sudah cukup mumpuni.

Isu seputar penggunaan sepeda motor sebagai angkutan maupun ojek, tak jauh dari persoalan keamanan. 

Hal ini sejatinya sudah diatur dalam UU LLAJ. Undang-undang tersebut mengamanatkan prinsip keamanan dalam transportasi atau angkutan umum. Sisi ini, menurut Djoko, kerap dilewatkan pada ojek online. Masyarakat kadung terbuai dengan tarif layanan murah namun tidak mengedepankan aspek keamanan bertransportasi. 

Praktik sepeda motor untuk mengangkut barang sudah berlangsung lama, namun ada syarat khusus bagi sepeda motor untuk angkut barang. Syarat ini menitikberatkan pada aspek keamanan dan keselamatan dalam bertransportasi. 

Syarat yang dimaksud, dalam PP Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan, Pasal 10 ayat 4, diatur kondisi lebar barang muatan tidak boleh melebihi setang kemudi, tingginya harus kurang dari 900 milimeter dari tempat duduk, dan muatan tersebut harus ditempatkan di belakang pengemudi.   

Menurutnya, dibanding ojek online, pilihan bajaj sebagai angkutan umum lingkungan lebih tepat dan cocok. Dari sisi kapasitas, bajaj lebih lega ruangnya dan terlindungi dari terik dan air hujan. 

"Untuk sementara waktu, penyelenggaraan ojek online adapat diatur oleh Pemda. Baik wilayah operasi maupun jam operasinya. Ciptakanlah layanan transportasi umum yang terintegrasi dan menggapai setiap kawasan pemukiman dan perumahan," katanya.

Sesuai Kebutuhan

Soal wacana memberikan kewenangan Pemda untuk mengatur ojek online, Djoko sepakat dengan hal itu. Dalam skema tersebut, pemerintah pusat akan menyerahkan ke masing-masing Pemda apakah membutuhkan ojek online atau tidak. Djoko meyakini tak semua Pemda membutuhkan ojek online, ada daerah yang lebih cocok menggunakan bajaj, becak atau bentor.

Jika suatu Pemda merasa tak membutuhkan ojek online juga silakan, sesuai kebutuhan masing-masing kebutuhan. Misalnya suatu Pemda hanya membutuhkan angkutan bajaj atau becak, maka tak perlu dipaksakan untuk menerima keberadaan ojek online. 

Pemda juga bisa membuat sistem transportasi online secara mandiri dan tak tergantung dengan penyedia layanan transportasi online seperti Gojek maupun Grab. 

"Kenapa Pemda tak buat (transportasi online) sendiri untuk kepentingan mereka. Buat masyarakat setempat, itu kalau mau lho ya. Sekarang jangan semua pemerintah pusat, katanya otonom daerah," jelasnya. 

Di tangan Pemda, transportasi online bisa diatur dari sisi waktu maupun jangkauan operasi layanan di wilayah Pemda yang bersangkutan. 

Djoko mengingatkan, pengaturan ojek online oleh Pemda ini jangan sampai melupakan tugas penting kepala daerah untuk membangun dan menghadirkan angkutan atau transportasi umum yang layak. 

"Jangan lupa kepada daerah bangun public transportation," ujarnya.

Pengendara Gojek, Grab dan Uber demo di Jalan Medan Merdeka, Senin, 15 Mei 2017.

Dirjen Perhubungan Darat Kemenhub, Budi Setiyadi mengatakan, pengaturan sepeda motor bisa diatur Pemda. Sesuai dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah daerah, pada Pasal 65 tertera kepala daerah punya wewenang untuk mengatur sepeda motor sepanjang untuk kepentigan ketertiban dan keamanan. 

Pengaturan sepeda motor ini, Budi menegaskan, bukan untuk mengatur masalah angkutan umum maupun transportasinya, tapi hanya aspek ketertiban saja, supaya tidak ada konflik dengan aturan kendaraan yang lain

"Jadi Pemda tentunya tidak akan mengatur masalah tarif, tidak akan mengatur masalah trayek, hanya kira-kira misalnya mengatur mungkin di dalam suatu kota ini yang boleh dilayani ini dimana, yang boleh ngetem dimana, atau jumlahnya berapa, gitu saja," jelas Budi. 

Budi mengatakan, ada beberapa daerah yang sudah menerapkan pengaturan transportasi kendaraan supaya ketertiban daerah terjaga. Dia mengatakan Pemda yang telah membuat aturan ini yakni Pemkot Depok, Pemkot Solo, Pemprov Gorontalo. 

Soal peluang revisi UU LLAJ untuk mengamodasi sepeda motor dan ojek online, Djoko menilai urusannya akan menjadi ribet. Jika pun nantinya sepeda motor dan ojek online diterima sebagai angkutan umum, pengurusannya akan menjadi makin rumit. 

Pengguna sepeda motor dan ojek online nantinya bakal direpotkan dengan pengurusan KIR, SIM sendiri dan belum lagi harus menyesiakan dengan aspek keselamatan yang menjadi prinsip angkutan umum. 

"Sementara banyak angka kecelakaan dari roda dua. Itu yang jadi pertimbangan," jelasnya. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya