Ketika Gelombang Cuaca Panas Melanda Dunia

Cuaca panas membuat wanita ini gerah.
Sumber :
  • REUTERS/Edgar Su

VIVA – Tiga negara di kawasan Asia Timur terdampak sengatan cuaca panas. Ketiganya adalah Jepang, Korea Selatan, dan Korea Utara.

Suhu Laut Mendatang Bakal Meningkat, Diperkirakan Akan Ada Badai Hebat dan Cuaca Ekstrem

Sudah sepekan, tepatnya sejak Senin, 23 Juli 2018, rata-rata suhu yang melanda ketiga negara ini antara 35-41,1 derajat Celsius.

Rinciannya, seperti dikutip dari Express dan Korea Herald, adalah suhu panas yang mencapai 41,1 derajat Celsius (106 derajat Fahrenheit) terjadi di Kumagaya.

2023 Dinobatkan Jadi Tahun Paling Panas Karena Suhu Bumi Terus Naik, Dampaknya Bikin Nangis!

Kumagaya merupakan sebuah kota di prefektur Saitama yang berjarak sekitar 65 kilometer (40 mil) barat laut Tokyo, ibu kota Jepang. Akibatnya, sebanyak 77 orang telah meninggal dunia dan 30 ribu orang harus dirawat di rumah sakit.

Beberapa orang di antara mereka adalah warga lanjut usia yang berusia antara 72 hingga 95 tahun. Sementara itu, 10 orang tewas dan sekitar 1.040 orang jatuh sakit di Korea Selatan akibat gelombang cuaca panas sejak 20 Mei hingga 21 Juli 2018.

Cuaca Panas Indonesia Jadi Tantangan Timnas Spanyol U-17 di Piala Dunia

Suhu pagi terendah di negeri Ginseng ini tercatat di ibu kota Seoul yang mencapai 29,2 derajat Celsius, dan kota Gangneung, dengan suhu mencapai 31 derajat Celsius (88 derajat Fahrenheit) pada pukul 06.45 waktu setempat.

Disusul kota Incheon 34 derajat Celsius, Suwon dengan 35 derajat Celsius, serta kota Daegu yang suhunya mencapai 37 derajat Celsius. Sementara itu, suhu terpanas mencapai 39,9 derajat Celsius (103,8 derajat Fahrenheit) di kota tenggara Hayang.

Adapun suhu di Korea Utara pada tahun ini termasuk yang tertinggi dari yang pernah tercatat dengan kisaran hampir 40 derajat Celsius di sejumlah kota di negeri Kim Jong-un tersebut.

Kepala Sub Bidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, Siswanto menjelaskan terkait gelombang panas atau heat wave selama sepekan terakhir itu.

Hal ini karena keadaan suhu di atas rata-rata suhu panas yang berlangsung beberapa hari dan waktunya lebih panjang.

"Heat wave ini sudah melampaui batas atas (threshold) suhu panas rata-rata. Kalau area di lintang tinggi maka suhu panas di atas 35 derajat Celsius terjadi berturut-turut selama lima hari. Maka itu sudah masuk gelombang panas," kata Siswanto kepada VIVA.

Ia mengungkapkan, Indonesia sebenarnya tidak masuk ke dalam threshold. Sebab, suhu rata-ratanya tidak lebih dari 35 derajat Celsius dan tidak berlangsung sampai lima hari berturut-turut.

"Efek panas yang dialami masyarakat sekarang memang hanya efek dari terik Matahari musim kemarau. Jadi, saat kemarau itu awan di atmosfer berkurang, sehingga radiasi diterima langsung ke permukanan Bumi," jelas dia.

Karena itu, Siswanto melanjutkan, tanpa terserap awan menimbulkan panas yang menyengat di permukaan Bumi. Radiasi Matahari yang diterima permukaan Bumi berupa gelombang pendek.

Kalau efeknya ke kulit berlebihan akan berbahaya akibat pancaran sinar ultraviolet yang merupakan bagian dari radiasi Matahari.

"Ciri-ciri musim kemarau itu terik Matahari maksimum di siang hari dan begitu dingin ketika malam tiba. Kenapa bisa begitu, sebab, panas diterima radiasi langsung tanpa terhalang awan," ungkap Siswanto.

Selanjutnya, pada malam hari proses pelepasan panas dari permukaan Bumi juga tak dihambat awan, di mana radiasi panas permukaan Bumi ke atmosfer lebih besar ketika tidak ada awan yang memantulkan, sehingga dampaknya cuaca menjadi dingin.

Berdampak ke Indonesia?

Lantas, apakah gelombang panas di Jepang dan Korea berdampak pada kemarau di Indonesia?

Siswanto menegaskan tidak saling berdampak. Saat ini wilayah Jepang dan Eropa sedang musim panas, di mana terdapat kondisi suhunya melebihi batas statistik threshold yang paling tinggi.

Gelombang panas di Jepang beberapa hari terakhir disebabkan oleh dua sistem tekanan tinggi berlapis di atmosfer yang mendominasi sebagian besar Jepang, diperkirakan sedikit mereda dalam beberapa hari tetapi suhu diprediksi bertahan sekitar 33 derajat Celsius.

Ketika udara panas berhari-hari disertai dengan kelembapan udara yang terus minim, maka efeknya menjadi kering. Bagi tubuh juga biasanya gelombang panas diperparah dengan kelembapan tanah yang berkurang drastis.

"Makanya, penyebab orang meninggal di sana (Eropa dan Jepang) bukan efek panas suhu di permukaan tapi karena dehidrasi," tegas dia.

Siswanto juga menjelaskan tidak pernah ada kasus orang meninggal karena cuaca panas di Indonesia.

Menurutnya, kelembapan udara di Indonesia pada musim kemarau umunya 70 persen. Kalau musim hujan bisa mencapai 90 persen.

Artinya, dengan kondisi seperti itu tubuh tidak terlalu dehidrasi dengan air minum yang cukup meskipun tubuh menghasilkan keringat.

"Saya di Eropa enam tahun. Saya sangat merasakan musim panas di sana keringnya luar biasa. Sunblock jadi wajib. Nah, mereka (orang Eropa dan Jepang) pada saat musim panas seperti itu kelembapan udara bisa di bawah 50 persen. Tubuh cepat sekali mengalami dehidrasi meski banyak minum. Inilah penyebab utama dehidrasi," kata Siswanto.

Sebelumnya, isu soal Indonesia dalam ancaman gelombang panas yang mematikan telah dibantah BMKG. Hal ini diungkapkanya pada situs bmkg.go.id.

Ancaman gelombang panas di Indonesia belum terbukti secara ilmiah. BMKG menegaskan di dalam makalah ilmiah karya Camilo Mora et al, dari Universitas Hawaii, Amerika Serikat, yang berjudul "Global risk of deadly heat", tidak menyebut secara khusus nama Indonesia.

Mora mengkaji data dari peristiwa gelombang panas yang terjadi di Eropa dan Amerika Utara, sebagian kecil India, China, dan Australia.

BMKG menjelaskan Indonesia juga tidak dimasukkan oleh Mora dalam melakukan kajian data peristiwa gelombang panas mematikan yang terjadi antara tahun 1980-2014.

Selain itu, BMKG menginformasikan bahwa gelombang panas yang berujung kematian belum pernah terjadi di Indonesia.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya