Ancaman Candu Pornografi dari Gadget

Remaja bermain gawai atau gadget (Foto Ilustrasi)
Sumber :
  • REUTERS

VIVA – “Ibu, aku mau pinjam handphone,” teriak Arman suatu sore, saat Vania baru tiba di rumah sepulang dari kantor. Bocah 5 tahun itu menggelayut manja di kaki Vania. Ujung rok hitam yang membungkus perut hingga lutut wanita 35 tahun itu digoyang-goyangkan Arman dengan tangan mungilnya. Tanda bahwa ia ingin permintaannya segera dituruti.  
 
Wajah Vania datar. Perempuan yang bekerja sebagai public relation di sebuah agency ternama di Jakarta itu tak menggubris permintaan semata wayangnya. Vania pura-pura sibuk meletakkan tas dan merapikan berkas-berkas dari kantor. “Arman sudah makan?” tanya Vania mencoba mengalihkan perhatian.  
 
“Aku mau pinjam hape. Pinjam hape. Pinjam. Pinjam hape,” kali ini Arman berteriak, menyadari permintaannya diabaikan. Mimik muka Vania berubah. Alisnya terangkat, disertai desahan napas berat. Ekspresi ketidaksetujuan tampak jelas di wajah perempuan itu.
 
Sementara Arman terus menjerit, suaranya melengking, menyebar hingga seluruh ruangan, “Hapeeee.... Pinjaaaaammm.” Sejurus kemudian Vania menyerah. Diulurkannya benda persegi panjang berwarna hitam pada Arman. Sepersekian detik berlalu, wajah bulat Arman terlihat cerah. Ia meraih ponsel pintar ibunya, membuka kunci layar yang telah ia hapal, lalu menuju aplikasi nonton video kegemarannya, YouTube.

Pamer Kemaluan ke Tetangga, Seorang Lansia di Lampung Timur Ditangkap Polisi

Ilustrasi anak main gadget atau smartphone.
 
Vania tertegun menatap Arman yang tengah asyik dengan gadget, di dalam batin terjadi pergolakan. Nalurinya ingin melarang Arman menyentuh gadget, tapi di sisi lain, Vania sendiri yang mengenalkan anaknya itu pada gawai sejak usia 1 tahun.

Alasannya, dulu Arman sering rewel. Gawai adalah penolong Vania menenangkan kerewelan Arman. Kini, Arman selalu meminta benda itu tiap ibunya pulang kerja. Dan begitu gawai itu di tangan Arman, ia akan menangis jika diminta. 

Gugatan Praperadilan Ditolak, Siskaeee Tetap Jadi Tersangka Pornografi

Ancaman Pornografi

PN Jaksel Bakal Putuskan Gugatan Praperadilan Siskaeee Besok

Bercermin dari kasus Vania dan Arman, Anda mungkin saja bertanya-tanya, “Memangnya apa yang salah dengan anak bermain gawai? Toh, ia bisa mengakses konten-konten khusus anak. Di internet juga banyak edukasi anak,” Atau mungkin juga begini, “Sekarang ini kan memang sudah era digital, kalau anak dilarang menggunakan gawai, nanti ketinggalan dong sama teman-temannya. Hello..., apa kata dunia?”
 
Jika bukan demikian, Anda mungkin orangtua yang telah sadar tentang dampak buruk internet yang mengintai anak. Sehingga, Anda memosisikan diri seperti Vania yang cenderung protektif dan melarang anak mengakses internet.  
 
Ya, benar bahwa gawai dan internet ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, beragam kemudahan ia tawarkan untuk memenuhi kebutuhan hidup di era modern. Tapi di sisi lain, kita tak dapat memandang sebelah mata efek negatif yang membersamai kehadiran gawai dan internet.  
 
Telah banyak konten dan artikel yang membahas bahaya maupun dampak buruk internet. Nah, kali ini mari kita menyoroti dari sudut pandang pornografi. Hasil survei yang dilakukan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) bekerjasama dengan Katapedia, terdapat paparan pornografi sebanyak 63.066 melalui Google, Instagram dan situs online lainnya.

Ilustrasi pornografi. 
 
Dari angka tersebut, dapatkah kita berasumsi atau memastikan tidak kecolongan konten porno saat anak mengakses internet? Jika Arman di contoh kasus ini berusia 5 tahun, ada berapa banyak ‘Arman’ lain di luar sana yang usianya lebih tua? Sedangkan berdasarkan survei yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika pada 2017, sebesar 65,34 persen anak usia 9 sampai dengan 19 tahun telah memiliki ponsel pintar. Mereka memiliki, bukan sekadar meminjam, ya.  
 
Begitu pula jika Anda adalah orangtua yang menerapkan fitur penyaringan (filter) di internet yang membatasi anak dari mengakses konten dewasa, yakinkah itu efektif? Menurut penelitian dari University of Oxford di Inggris, penggunaan fitur filter internet telah banyak ditanamkan di media sosial, tetapi belum ada bukti konklusif pada efektivitas mereka sampai sekarang.
 
Fakta lainnya, data dari unit Cybercrime Bareskrim POLRI pada 2017, ada 435.944 ip address yang mengunggah dan mengunduh konten pornografi anak. Selain itu, Asisten Deputi Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi Kementerian PPPA, Valentina Ginting menyampaikan, “Dari data dan fakta yang ada, tidak ada lagi daerah yang bebas atau steril dari isu kejahatan terhadap anak, baik yang disebabkan oleh pornografi online, prostitusi online, ataupun cyber crime,” ujarnya dalam pesan tertulis Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), bekerjasama dengan Google Indonesia dan ECPAT (End Child Prostitution, Child Pornography & Trafficking Of Children For Sexual Purposes).
 
Dari data dan fakta tersebut, masuk akal rasanya jika Vania merasa khawatir setiap Arman meminta gawai untuk dimainkan. Kalaupun Vania berusaha memantau, ia tetap waswas. Dengan sebaran konten porno sebanyak itu, ditambah fitur filter yang tidak efektif, bisakah ia memastikan tidak kecolongan?
 
Ini baru Vania yang melek teknologi, kemudian secara sadar menempatkan kekhawatiran, melakukan pemantauan, meski belum sampai pada tahap solutif menghentikan Arman untuk tidak merengek meminta gadget. Bagaimana dengan orangtua yang masih gagap teknologi, dan parahnya tidak menyadari potensi bahaya dari konten porno di internet?  
 
Lebih jahat dari Narkoba

World Health Organisation menyatakan bahwa adiksi atau kecanduan pada hal tertentu, bisa berdampak bahaya. Salah satu adiksi yang bisa memberi efek buruk, yaitu pornografi. 

Ditegaskan Direktur Kesehatan Keluarga Kementerian Kesehatan RI, Eni Gustina, MPH., bentuk adiksi pornografi rentan mengintai anak-anak maupun generasi muda Tanah Air. Namun, adiksi pada hal ini masih belum diperhitungkan dibanding dengan adiksi pada obat-obatan terlarang.

"Padahal dampak dari adiksi pornografi bisa lebih jahat dari narkoba. Narkoba merusak diri sendiri saja, kalau pornografi dia merusak orang lain karena keinginan seksualnya," tutur Eni.
 
Psikolog anak Dr. Rose Mini M.Psi., yang akrab disapa Bunda Romi membenarkan hal tersebut. “Kalau kecanduan narkoba, arahnya kan ke dia sendiri, tapi kalau pornografi, bisa menyangkut atau mengajak orang lain. Narkoba juga tidak menutup kemungkinan itu, tapi dia utamanya adalah dirinya sendiri,” ujarnya pada VIVA, Selasa, 31 Juli 2018.  

Ilustrasi membuka aplikasi di gadget atau gawai.
 
Ungkapan ‘bisa karena biasa’ juga berlaku untuk kasus kecanduan pornografi. Ditegaskan Bunda Romi, kecanduan pornografi dapat berakar dari menonton, mencoba, kemudian berkembang menjadi kebiasaan. “Awalnya anak-anak atau siapa pun yang menggunakan itu coba-coba. Trus lama-lama waktu dia lihat film-film yang tidak baik itu, kemudian ia coba melakukannya,” ujar Bunda Romi.  
 
Untuk berada dalam tahap kecanduan, ada serangkaian mekanisme yang melibatkan mata dan kinerja otak. Paparan visual konten porno yang ditangkap mata anak, diserap oleh otak. Ketika otak sudah menyerap, kemudian anak mencobanya dan memperoleh sensasi kenikmatan. Dari situlah cikal bakal timbul suatu kebiasaan. “Apapun yang memberikan kenyamanan atau kepuasan itu cenderung untuk diulang dan jadi kebiasaan,” kata Bunda Romi menambahkan.  
 
Pada tahap kecanduan, seseorang bisa saja lepas rem atau tidak memiliki kendali untuk mengontrol keinginannya. Tak peduli situasi dan kondisi apa pun yang ia hadapi, ia harus memperoleh sesuatu yang ia candui.

Komunikasi dan pendidikan seks
Persoalan sebaran konten dewasa di internet, serta kecanduan konten pornografi pada anak seharusnya dipandang sebagai masalah yang serius. Mengingat anak-anak adalah generasi harapan bangsa.  
 
Dijelaskan Bunda Romi, peran dari pemerintah, guru, dan orangtua mutlak diperlukan dalam upaya pencegahan konten pornografi pada anak. Terutama pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) yang memiliki wewenang untuk melakukan blokir pada situs-situs pornografi yang berpotensi merusak moral anak.  
 
Selain itu, orangtua juga diharapkan dapat melakukan pemantauan serta jalur-jalur komunikasi secara terbuka, termasuk memberikan pendidikan seks pada anak. Seperti dikatakan psikolog dan pendidik Najelaa Shihab, edukasi seks dari orangtua tidak boleh kalah cepat dengan para penjaja materi porno yang marak di dunia maya.

Ilustrasi orangtua dan anak.
 
"Enggak ada anak yang punya akses internet yang enggak ingin tahu tentang pornografi. Jadi percakapan itu harus dibuka duluan sama orang tuanya. Tentang pacaran, hubungan, bahkan tentang pendidikan seksualitas," kata Ela saat ditemui di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Sabtu 21 Juli 2018.
 
Orangtua juga harus lebih peka terhadap kebutuhan anak. Jika anak tidak diperbolehkan mengakses internet, maka perlu disediakan alternatif kegiatan yang menarik dan mengalihkan perhatiannya.
 
“Perkenalkan pada anak-anak kita ada hal lain. Misalnya, seseorang merasa berminat pada satu hal, kalau mau memberhentikan minatnya itu, kita harus kasih tahu hal lain yang punya kekuatan atau daya tarik yang sama,” kata Bunda Romi.  
 
“Makanya jadi orangtua jangan hanya marah-marah-in anak, ajak anak untuk bikin sesuatu yang luar biasa. Karena di kita ini banyak anak-anak yang potensinya luar biasa, tapi arahannya enggak ada. Jangan hanya disibukkan dengan les saja, tapi kasih hal lain yang memancing eksplorasinya supaya lebih positif,” pesan Bunda Romi. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya