Imunisasi Rubella Terganjal Sertifikasi Halal

Ilustrasi vaksin.
Sumber :
  • Pixabay/Ann_San

VIVA – Pelaksanaan imunisasi campak atau Measles dan Rubella (MR) periode kedua yang diinisiasi Kementerian Kesehatan RI kembali memicu polemik. Program yang digelar selama dua periode sejak Agustus 2017 itu kembali memunculkan perdebatan tentang pro dan kontra vaksinasi.

Wapres Ma’ruf Amin Bukan Sekadar ‘Ban Serep’ Presiden Jokowi

Baru beberapa hari periode kedua berjalan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan edaran yang meminta Kementerian Kesehatan menunda pelaksanaan imunisasi, karena vaksin yang digunakan belum mendapatkan sertifikasi halal.

Bukan hanya soal halal haram, pelaksanaan imunisasi MR juga memicu perdebatan masyarakat soal kandungan vaksin. Bahkan pada periode pertama 2017, masyarakat juga mempersalahkan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI).

Program imunisasi MR ini berawal dari kekhawatiran akan tingginya angka kematian ibu dan bayi akibat Campak dan Rubella. Pada 2017, Menteri Kesehatan Nila Moeloek menargetkan sebanyak 34.964.384 anak wajib mendapatkan imunisasi Measles Rubella (MR). 

Imunisasi Vaksin Difteri

Mereka yang ditargetkan adalah anak usia sembilan bulan sampai dengan kurang dari 15 tahun. Target tersebut diwujudkan dengan menyelenggarakan imunisasi MR massal di seluruh Indonesia yang terbagi dalam dua fase per tahun (2017 dan 2018).

“Target itu dimaksudkan agar eliminasi Campak dan pengendalian Rubella dapat terwujud pada 2020,” kata Nila dalam keterangan tertulisnya Agustus 2017.

Nila menjelaskan, fase pertama dilaksanakan pada Agustus hingga September 2017 di seluruh wilayah di Pulau Jawa. Sementara itu, fase kedua akan dilakukan pada Agustus hingga September 2018 di seluruh provinsi di luar Pulau Jawa. Ia menjelaskan, imunisasi MR ditargetkan mencapai cakupan minimal 95 persen. 

Target tersebut tercapai di 2017. Nila menyebut pada waktu itu target imunisasi di Pulau Jawa adalah enam provinsi, 119 kabupaten dan kota, dan diselenggarakan di 3.579 puskesmas. Sebanyak 34.964.384 anak akan diberi imunisasi MR.

Ilustrasi pemberian vaksinasi

Berdasarkan data dari Pusdatin, sejak 1 Agustus hingga 27 September 2017 cakupan imunisasi mencapai 33.574.010 anak, atau sebanyak 96,02 persen anak telah diimunisasi MR. Butuh perjuangan besar kala itu, akhirnya tak cuma puskesmas, namun menkes juga menyasar sekolah-sekolah.

Setelah fase pertama sukses, kini pelaksanaan imunisasi MR fase kedua telah berlangsung sejak 1 Agustus 2018. Pada fase ini, menkes menargetkan sasaran yang dicapai dalam kampanye tahun introduksi MR kali ini sebanyak 31.963.154 anak di 28 provinsi, 395 kabupaten, juga 6.369 puskesmas yang tersebar di 52.482 desa dan kelurahan seluruh Indonesia, kecuali Pulau Jawa.


 
Tak sekadar lindungi dari penyakit

Berdasarkan capaian dan target tersebut, menkes berharap dapat mengendalikan kedua jenis penyakit tersebut (Campak dan Rubella).

''Strategi tersebut bertujuan mengendalikan kedua penyakit itu (Campak dan Rubella) yang kemudian diikuti peralihan pemakaian vaksin Campak menjadi vaksin MR ke dalam program imunisasi,'' ujarnya.

Vaksin MR diberikan bertujuan untuk melindungi anak dari penyakit kelainan bawaan. Misalnya gangguan pendengaran, penglihatan, kelainan jantung dan gangguan mental yang disebabkan adanya infeksi Rubella pada saat kehamilan.

Betapa ganas kedua jenis penyakit ini (MR), karenanya jauh lebih efektif untuk mencegah ketimbang mengobati, sehingga memberi perlindungan (kekebalan spesifik) lewat vaksin sangat penting dilakukan.

“Campak bisa berdampak hingga kematian. Masih banyak daerah di Indonesia yang melaporkan kasus Campak," tutur menkes kepada VIVA, Kamis, di Jakarta, Kamis 2 Agustus 2018.

Ia memaparkan bahwa Data Kementerian Kesehatan selama 2010-2017 mencatat sejumlah 27.834 kasus Campak dilaporkan. Tak hanya itu, publik bahkan sempat dibuat geger dengan temuan kejadian luar biasa (KLB) di Suku Asmat Papua yang mengakibatkan ratusan anak meninggal akibat terserang Campak.

Menurut menkes, gejala Campak masih dapat jelas terlihat, misalnya mengalami demam tinggi, matanya merah dan timbul infeksi, sehingga melekat dan tidak terbuka (kelopaknya) lagi.

Anak demam.

Anak itu dapat mengalami gangguan penglihatan bahkan menjadi buta bila selamat. Namun, yang lebih ditakutkan adalah perburukan bahkan hingga kematian.

Sementara itu, penyakit Rubella dikatakan juga memiliki keganasan yang serupa. Bedanya, Rubella adalah penyakit akut dan ringan yang sering menginfeksi anak dan dewasa muda yang rentan.

Data Kementerian Kesehatan pada 2013-2017 mencatat sejumlah 31.449 kasus Rubella telah dilaporkan. "Rubella bisa menyebabkan kelainan pada anak dan tidak bisa kita obati. Kita tidak bisa matikan virus yang sudah masuk ke dalam tubuh," ungkap menkes.

Pada kesempatan tersebut, Menkes Nila Moeloek meluruskan anggapan salah di masyarakat yang menyatakan bahwa anak laki-laki tidak akan terinfeksi. Rubella bisa menyerang siapa saja dengan gejala yang tidak spesifik (tidak jelas). “Itu salah besar. Baik anak laki-laki maupun perempuan bisa terkena Rubella," katanya.

Penyakit Rubella mudah menular, akan tetapi yang menjadi perhatian dalam kesehatan masyarakat adalah efek teratogenik, apabila rubella ini menyerang pada wanita hamil terutama pada masa awal kehamilan. 

Wanita hamil migrain.

Infeksi Rubella pada ibu hamil dapat menyebabkan keguguran atau kecacatan permanen pada bayi yang dilahirkan atau dikenal dengan Congenital Rubella Syndrome (CRS).

“Kalau kebetulan anak yang sakit Rubella ini dekat dengan ibu hamil, apalagi terkenanya di trimester pertama atau saat janin terbentuk, gejalanya juga tidak spesifik. Mungkin hanya demam ringan, padahal itu Rubella, anak yang dikandungnya bisa terlahir dengan kecacatan,” tuturnya.

Kelainan akibat Rubella disebut dapat berupa ketulian, gangguan penglihatan bahkan kebutaan, hingga kelainan jantung. Dalam hal bayi lahir dengan katarak misalnya, Nila menerangkan bahwa operasi mengangkat katarak bisa dilakukan tetapi mengatasi gangguan penglihatannya sangat sulit.

“Dampak dari Rubella ini sangat luar biasa. Saya kira kita harus memikirkan dampak dan akibat yang terkena apabila kita menolak imunisasi," ujar menkes.


 
Pertentangan masyarakat

Meski baik, program Kemenkes tak berjalan mulus. Banyak pro dan kontra terkait peraturan imunisasi MR. Beberapa yang paling menyorot adalah soal halal haram yang menjadi pemicu munculnya gerakan antivaksin di masyarakat. 

Antivaksin adalah gerakan penolakan vaksin yang dilakukan oleh para orangtua karena berbagai alasan. Di negara barat misalnya, para orangtua menolak vaksin karena takut menyebabkan autisme. Sementara itu, di Indonesia argumen yang beredar adalah vaksin disebut mengandung babi dan terkait dengan peraturan agama.

Di lain sisi, Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan edaran yang meminta Kemenkes menunda pelaksanaan imunisasi karena vaksin yang digunakan belum mendapatkan sertifikasi halal. Hal itu tentunya juga turut menghambat program pemerintah. 

MUI Provinsi Kepulauan Riau yang pertama kali bersikap resisten pada awal pelaksanaan imunisasi serentak fase kedua yang dilakukan di area luar Pulau Jawa. MUI Kepulauan Riau bersikeras menolak program kampanye imunisasi MR. Hal ini lantaran vaksin tersebut belum mendapat sertifikasi halal dari MUI pusat.

Sorot Difteri - imunisasi - vaksin DPT Difteri Tetanus Pertusis

Dalam surat edaran yang dikeluarkan MUI Kepulauan Riau ini disebut bahwa mereka meminta dinas kesehatan menunda penyuntikan vaksin sampai fatwa halal dari MUI pusat terbit. Ketua MUI Kepulauan Riau juga menyebut bahwa MUI tidak antiprogram vaksin, melainkan hanya ingin memastikan isi dari bahan baku vaksin tersebut.

Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan MUI, KH Cholil Nafis, mengatakan, MUI ingin agar Kemenkes melakukan sertifikasi halal terlebih dahulu sebelum melakukan vaksin.

"Jadi kami minta kepada Kemenkes agar dilakukan sertifikasi halal, karena memang di masyarakat ada permintaan itu. Jadi mungkin untuk memenuhi hak masyarakat muslim, ya dipenuhilah dulu untuk sertifikasi halalnya," kata Cholil saat dikonfirmasi, Rabu sore, 1 Agustus 2018.

Di Indonesia, tidak hanya Kepulauan Riau yang menolak vaksin dengan dalil agama. Pada 2016, di Kampung Cijanggot, Desa Cisaladah, Kecamatan Purwakarta, Kabupaten Purwakarta menolak imunisasi karena menganggapnya haram. Satu kampung tersebut terdiri atas dua RT, dengan capaian imunisasi hanya 66 persen. Keberhasilan KB di kampung itu pun rendah.

Ada juga delapan sekolah berbasis keagamaan di Yogyakarta menolak imunisasi MR juga dengan alasan sama. Padahal, program Kementerian Kesehatan yang digelar Agustus dan September 2017 bertujuan mencegah masyarakat dari penyakit Campak dan Rubella. 

Sementara itu, tahun lalu, lebih dari 300 anak di Provinsi Jawa Tengah tidak akan menerima vaksin MR, sebab orangtua menolak vaksinasi karena dianggap bertentangan dengan keyakinan agama.

Menanggapi hal itu, menkes menjelaskan, dalam Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2016 disebutkan bahwa imunisasi pada dasarnya dibolehkan (mubah). 

Sebab, hal itu sebagai bentuk upaya untuk mewujudkan kekebalan tubuh dan mencegah terjadinya suatu penyakit tertentu. Imunisasi bisa menjadi wajib ketika seseorang yang tidak diimunisasi akan mengakibatkan kematian, penyakit berat, atau kecacatan permanen yang mengancam jiwa.

Berasal dari India

Sementara itu, menkes juga menjamin vaksin yang digunakan sangat aman dan sudah banyak digunakan oleh banyak negara muslim.

Produsen utama vaksin yang diberikan tersebut berasal dari negara India. PT Bio Farma menjamin produk pilihannya sudah sesuai prosedur. Dikatakan Direktur Bio Farma, Sri Harsi Teteki, awalnya terdapat dua produsen vaksin yang dibidik (seleksi) yaitu dari China dan India. Namun, hanya vaksin asal India yang lolos seleksi.

Pekerja menunjukkan vaksin yang mengandung komponen difteri sebelum didistribusikan, di Bandung, Jawa Barat, Senin (18/12).

"Credential dari India sudah dipakai di 114 negara termasuk negara Islam. Vaksinnya juga memenuhi syarat dari WHO dan sesuai dengan Badan POM," ujar Sri, ditemui di kawasan Kuningan, Jakarta.

Sri melanjutkan, Biofarma sudah berkoordinasi dengan MUI dan sedang berjalannya proses menuju kehalalan. Apalagi, vaksin dari produsen di India itu sudah banyak dipakai oleh negara-negara Islam.

"Concern kita membantu proses halal tersebut, kita upayakan secara optimal. Apalagi, vaksin sudah dipakai di negara-negara Islam yang sudah terjamin keamanan dan efikasinya," kata dia.

Proses halal yang dipertanyakan MUI dalam surat edarannya ternyata tak mudah dilakukan. Apalagi di Indonesia, baru dua vaksin yang telah mendapatkan label halal dari MUI, yakni flu dan meningitis. 

Sekretaris Perusahaan Bio Farma, Bambang Heriyanto menyebut bahwa untuk mendapatkan sertifikasi halal, produk vaksin tersebut harus melalui proses yang cukup panjang.

"Sertifikasi halal vaksin ini kewajiban dari manufaktur. Manufaktur di sini adalah produsen vaksin dan sumber produksi vaksin dari India. Kami ini hanya distributor," kata Bambang dalam konferensi pers imunisasi MR di Kementerian Kesehatan, Jakarta.

Industri manufaktur vaksin MR di India harus melakukan proses registrasi daring (online) melalui sistem Sertifikasi Online. Demi kelancaran proses sertifikasi online, Bio Farma bertanggung jawab mendorong manufaktur untuk membuat sertifikasi halal.

"Kami sudah ke India dan melihat langsung produksi vaksin MR pada tahun 2017. Kami juga mempresentasikan bagaimana standar kehalalan vaksin. Ya, menjelaskan, ini lho standar sertifikasi halal," ujar Bambang.

Kekhawatiran vaksin yang mengandung babi memang masih menyeruak. Vaksin yang selama ini dimaksud adalah kandungan tripsin dan gelatin di dalamnya.

Spesialis anak konsultan penyakit tropikal dan infeksi, Dr. dr. Hinky Hindra Sataro, Sp. A (K), M. TropPaed mengatakan bahwa tripsin dan gelatin sudah dicuci bersih melalui ribuan proses agar DNA babi menghilang.

"Protein itu awalnya pakai tripsin. Kemudian dipecah dan dicuci, jadi tripsin sudah enggak ada. Beribu kali proses, maka bersihlah dari tripsin. Vaksin yang sudah dicuci itu, akhirnya dites, tidak mengandung DNA babi sama sekali," ujarnya kepada VIVA.

Sama halnya dengan kandungan gelatin. Di mana awalnya vaksin digabung dengan tulang rawan babi untuk membasmi para virus. Tapi, seiring perkembangan teknologi, gelatin sudah diubah rumusan kimianya agar terhindar dari kandungan babi.

"Dari tulang babi, diproses lagi, jadi rumus kimianya sudah enggak sama dengan babi. Meski gelatin tetap ada, DNA babi sudah tidak ada," paparnya.

Hinky menegaskan agar tidak adanya kesalahpahaman pada masyarakat terkait halal haramnya vaksin. Sebab, dengan proses dan teknologi yang semakin baik, kandungan babi tersebut telah dihilangkan.

"Jadi, vaksin-vaksin itu dites sudah enggak ada lagi yang mengandung babi. Sekarang vaksin sudah enggak ada DNA babi lagi. Sudah dibersihkan dan diproses, jadi sudah bebas dari najis," ujarnya.

Namun, ia mengatakan, untuk sampai pada proses sertifikasi halal tentu tidak mudah. Ia berujar akan memakan waktu sangat lama, sedangkan pelaksanaan pencegahan MR ini sudah mencapai taraf urgensi.

Sementara itu, Cholil menambahkan, imunisasi merupakan bagian dari upaya pengobatan yang diwajibkan oleh agama Islam. Tetapi, dalam praktiknya Islam juga mewajibkan obat-obatan yang digunakan harus halal. Untuk itu, MUI siap membantu Kementerian Kesehatan menyukseskan program imunisasi tersebut.

"MUI menyatakan kesiapan untuk membantu Kementerian Kesehatan mencari solusi demi suksesnya pelaksanaan Gerakan Nasional Imunisasi MR yang bersesuaian dengan ketentuan ajaran Islam," ujarnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya