Pilpres 2019, 'Rematch' Prabowo Vs Jokowi

Joko Widodo dan Prabowo Subianto.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf

VIVA – Pemilu Presiden 2019 dipastikan hanya diisi dua pasangan calon presiden dan wakil presiden. Masing-masing pasangan calon, didampingi partai pengusung sudah mendaftarkan pencalonannya ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jumat, 10 Agustus 2018. Hari itu, memang batas waktu terakhir pencalonan capres-cawapres.

Survei PWS: Kepuasan Rakyat Terhadap Kinerja Jokowi-Maruf Turun

Publik kembali dihadapkan pada pilihan politik yang nyaris sama dengan Pilpres 2014. Prabowo Subianto kembali menantang Joko Widodo (Jokowi) selaku calon petahana. Ibaratnya, Pilpres 2019 ini merupakan rematch atau pertandingan ulang antara Prabowo Vs Jokowi.

Bedanya, kalau 2014 lalu Jokowi berpasangan dengan Jusuf Kalla, kini Jokowi menggandeng ulama karismatik, Rais Aam PBNU sekaligus Ketua MUI KH Ma'ruf Amin. Sedangkan kubu sebelah, Prabowo menggandeng kadernya di Gerindra, yang kini menjabat Wakil Gubernur DKI Jakarta, Sandiaga Salahuddin Uno.

Survei SMRC: Kepuasan Terhadap Kinerja Jokowi Turun Jadi 68,5 Persen

Munculnya nama Jokowi dan Prabowo sebagai capres 2019 memang tak terlalu mengejutkan. Dua tokoh politik ini setahun belakangan memang sudah diprediksi bakal rematch di Pilpres 2019. Bahkan, hasil riset banyak lembaga survei, menempatkan Jokowi dan Prabowo sebagai tokoh yang paling potensial maju di pilpres dibanding tokoh lainnya.

Selain memiliki modal elektabilitas yang tinggi, baik Prabowo dan Jokowi juga dinilai memiliki basis massa yang kuat serta punya dukungan partai-partai koalisi. Justru, sorotan publik tertuju pada sosok cawapres masing-masing. KH Ma'ruf Amin sebagai cawapres Jokowi, dan Sandiaga Uno sebagai cawapres Prabowo Subianto.

Buka Bersama, Sekjen Parpol Pendukung Jokowi-Maruf Harap Makin Solid

Munculnya nama KH Ma'ruf Amin sebagai cawapres Jokowi memang sedikit mengecoh publik. Dengan inisial M yang sebelumnya disebut elite partai koalisi Jokowi sebagai cawapres Jokowi, publik sempat mengira cawapres Jokowi adalah Mahfud MD. Mantan Ketua MK itu bahkan sempat berada tak jauh dari lokasi deklarasi cawapres Jokowi di Plataran, Menteng.

Apa mau dikata, di menit-menit terakhir deklarasi, Jokowi bersama sembilan partai pendukung justru sepakat memilih Ketua MUI KH Ma'ruf Amin sebagai cawapresnya. Koalisi Indonesia Kerja itu gerak cepat dengan langsung mendaftarkan pasangan capres-cawapresnya di KPU Jumat pagi, untuk diverifikasi KPU.

"Surat pencalonan kami nyatakan lengkap. Dan selanjutnya kami verifikasi dokumen lanjutan. Untuk pemeriksaan kesehatan pada Minggu, 12 Agustus 2018, di RSPAD," kata salah satu pejabat KPU yang menerima dokumen persyaratan," kata salah satu pejabat KPU yang menerima dokumen persyaratan, Jumat, 10 Agustus 2018.

Dalam pidatonya, Jokowi mengajak seluruh rakyat Indonesia bersama-sama menjadikan Pemilu 2019 sebagai perayaan kegembiraan dalam berdemokrasi, bukan perang apalagi permusuhan. Ia menegaskan pemilu merupakan ajang mengadu gagasan, ide, rekam jejak dan ajang mengadu prestasi.

"Jangan sampai karena perbedaan pilihan politik kita menjadi bermusuhan antar tetangga, tidak saling menyapa antar kampung sehingga kita kehilangan tali persaudaraan," kata Jokowi di kantor KPU Jakarta.

Di kubu sebelah, nama Sandiaga Uno sebagai cawapres Prabowo Subianto juga sempat menimbulkan polemik. Munculnya nama Sandi membuat merah kuping 'teman baru' koalisi Gerindra, yakni Partai Demokrat. Andi Arief, wasekjen Partai Demokrat itu sempat berkicau di Twitter dengan sebutan 'Jenderal Kardus'.

Istilah 'Jenderal Kardus' merujuk pada sikap Prabowo yang akhirnya lebih memilih Sandiaga Uno berdasarkan mahar uang yang diberikan ke PKS dan PAN. Andi Arief menuding mental Prabowo sebagai pensiunan Jenderal ambruk lantaran duit Sandiaga Uno. Meski belum bisa dibuktikan, tudingan Andi Arief itupun reda seiring deklarasi Prabowo-Sandiaga, Jumat malam.

Ditambah lagi, partai besutan SBY itu akhirnya memutuskan untuk mendukung Prabowo-Sandiaga Uno. SBY memang tak ikut mengantarkan Prabowo-Sandi mendaftar ke KPU, namun SBY mengutus dua putranya, Agus Harimurti Yudhoyono dan Edhie Baskoro Yudhoyono mendampingi Prabowo-Sandi ke KPU.

"Ada kejadian unik hari ini. Kita kehadiran putri Proklamator, putri Presiden kedua, dan dua putra Presiden keenam," kata Prabowo dalam pidatonya sesaat setelah bersama Sandiaga mendaftar di kantor KPU, Jakarta, pada Jumat, 10 Agustus 2018.

Prabowo merasa mendapat kehormatan atas kehadiran anak-anak ketiga mantan presiden itu. Namun dia sekaligus memperingatkan kepada KPU sebagai penyelenggara pemilu agar benar-benar bekerja profesional. Sebab hasil pemilu adalah bentuk kedaulatan rakyat dalam negara demokrasi.

Jokowi Masih Unggul

Bagaimanapun, kemenangan Jokowi atas Prabowo di Pilpres 2014 lalu tidak lantas jadi tolak ukur, bahwa calon petahana itu akan dengan mudah menjungkalkan kembali Prabowo Subianto. Walaupun dalam beberapa survei Jokowi masih yang teratas, peluang Prabowo menyalip Jokowi masih terbuka dengan komposisi cawapres yang ada.

Dalam survei teranyar yang dirilis lembaga Alvara Research Center yang dilakukan pada 20-28 Juli 2018, elektabilitas Jokowi masih mengungguli Prabowo Subianto dengan 48,4 persen, naik dari survei sebelumnya pada bulan Mei yakni 46,8 persen atau meningkat 1,6 persen.

Meskipun masih berada di bawah Jokowi, elektabilitas Prabowo meningkat cukup tinggi. Dari bulan Mei 27,2 persen naik menjadi 32,2 persen atau meningkat 5 persen.

"Jokowi akan bertarung ketat ketika berhadapan dengan Prabowo dibandingkan rival lainnya," kata Chief Research Officer Alvara, Harry Nugroho dalam pemaparan hasil survei di Menteng, Jakarta Pusat, Jumat, 3 Agustus 2018.

Survei ini menggunakan multistage random sampling dengan melibatkan 1.142 responden berusia 17 tahun ke atas. Rentang margin of error sebesar 2,95 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.

Sementara itu, Indo Barometer pada survei yang dilakukan 15-22 April 2018, dengan melibatkan 1.200 responden, menunjukkan elektabilitas Jokowi sebagai capres masih unggul jauh dibandingkan para pesaingnya, yaitu Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo.

Berdasarkan pertanyaan terbuka calon Presiden, top of mind pemilih terhadap calon presiden Joko Widodo 40,7 persen, Prabowo Subianto 19,7 persen, Gatot Nurmantyo 2,7 persen, Anies Baswedan sebesar 2.7 persen, Agus Harimurti Yudhoyono 2 persen, Jusuf Kalla 1,2 persen, Zainul Majdi 1 persen, Hary Tanoesoedibjo 1 persen dan Ridwan Kamil 1 persen.

Tak jauh berbeda, survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA yang dirilis Mei 2018 lalu, elektabilitas Jokowi sebagai capres masih tertinggi dibanding calon lainnya, termasuk Prabowo Subianto. Jokowi unggul dengan 46 persen dibanding Prabowo dan 12 nama lain.

Namun demikian, tingginya elektabilitas Jokowi menurut LSI Denny JA, tidak lantas di posisi aman, bahkan berpotensi goyah seiring masifnya isu serangan dari partai oposisi.

Terakhir, survei terkait Pilpres 2019 yang dirilis PolMark Indonesia, elektabilitas Jokowi juga masih mengungguli Prabowo. Survei ini diambil di dua wilayah pemilihan, yakni Jawa dan Sumatera.

Survei yang dirilis PolMark merupakan hasil olahan data dari 71 survei polmark research center-polmark Indonesia di tingkat Provinsi, kabupaten dan kota dalam waktu 15 Januari 2016 sampai 11 Juni 2018. Dengan melibatkan 1.200 responden dengan margin of error 2.9 persen.

Berdasarkan hasil survei elektabilitas Jokowi tertinggi di provinsi Jawa terdapat pada Provinsi Jawa tengah dengan persentase 60.9 persen. Sedangkan elektabilitas terendah Jokowi terdapat pada Provinsi Banten dengan persentase 16.7 persen.

Sedangkan untuk elektabilitas Prabowo di Jawa tertinggi terdapat di Jawa Barat 32.9 persen, dan terendah terdapat di Jawa Tengah 6.6 persen.

Pada Wilayah Sumatera elektabilitas Jokowi tertinggi terdapat pada Provinisi Sumatera Utara 49.9 persen. Adapun elektabilitas Prabowo di wilayah Sumatera tertinggi terdapat pada provinsi Riau dengan persentase 33.6 persen.

Plus Minus

Terlepas dari hasil survei soal elektabilitas capres sebelum pendaftaran di KPU, tentu akan situasinya akan berbeda ketika sudah dipasangkan dengan cawapres. Begitu kedua calon memilih siapa yang menjadi cawapresnya, maka elektabilitas calon akan berubah, seiring dengan potensi yang dimiliki masing-masing cawapres.

Merujuk dua pasang capres-cawapres 2019, Jokowi-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, banyak aspek yang perlu dilihat dari siapa pasangan capres tersebut. Jokowi-Ma’ruf yang diusung 9 partai politik, sedangkan Prabowo-Sandiaga dengan 4 partai politik.

Dari sisi KH Ma'ruf Amin, cawapres Jokowi, Pengamat Politik dari Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah Adi Prayitno menilai Ma'ruf punya banyak kelebihan antara lain, merepresentasikan tokoh ulama Islam, yang memiliki warna Islam yang cukup kentara.

"Sisi lemah yang tidak dimiliki Jokowi," kata Adi saat dihubungi VIVA, Jumat, 10 Agustus 2018.

Selain itu, Adi melihat Ma'ruf juga punya pengalaman politik yang cukup panjang, dari anggota DPRD, DPR, sampai MPR. Pernah aktif di Partai Persatuan Pembangunan, dan juga Partai Kebangkitan Bangsa. Partai koalisi Jokowi nyaris tak ada friksi ketika nama Ma'ruf Amin yang dipilih.

Sedangkan kelebihan Jokowi tentu saja adalah posisinya yang merupakan calon presiden petahana. Sementara, Adi melihat Ma'ruf memiliki setidaknya dua kelemahan yaitu elektabilitas dan usia yang sudah sepuh.

Elektabilitas rendah lantaran tidak banyak lembaga survei yang menyertakan nama KH Ma'ruf Amin sebagai kandidat cawapres Jokowi. Nama KH Ma'ruf Amin tidak masuk dalam radar survei Pilpres 2019, walaupun Ketua MUI itu berkali-kali menyatakan kesiapannya jika dipilih sebagai cawapres Jokowi.  

Menurut Adi, pemilihan Ma'ruf itu bagian dari upaya kubu Jokowi dalam mengantsipasi menguatnya politik identitas. Kubu Jokowi nampaknya tidak melihat sisi elektabilitas, dan berharap masalah elektabilitas ini akan mampu diatasi dengan memanfaatkan momentum kampanye. "Tapi tetap itu bukan perkara gampang," kata dia.

Kedua adalah umur. Adi mengatakan slogan yang disampaikan Jokowi adalah soal kerja dan citra yang dibangun adalah Indonesia kerja. Di tengah upayanya melanjutkan kabinet kerja jilid dua, dipilihnya Ma'ruf memiliki kendala umur.

"Ini kendala alamiah. Siapapun, bukan hanya Kiai Ma'ruf. Apalagi Pak Jokowi suka blusukan butuh stamina. Jadi cukup mengkhawatirkan," ujarnya.

Di kubu seberang, Adi melihat pasangan Prabowo-Sandi memiliki banyak kelemahan. Pertama, basis massa yang sama karena keduanya berasal dari Gerindra. Itu sebabnya Demokrat, PKS dan PAN tidak nyaman meskipun akhirnya menerima.

"Ada sesuatu yang belum selesai. Persepsi publik hambar karena capres dan cawapresnya berasal dari parpol yang sama. Padahal mereka butuh figur alternatif," kata dia.

Kelemahan kedua adalah elektabilitas Sandi. Selama ini, nama Wakil Gubernur DKI Jakarta itu tidak pernah muncul dalam berbagai survei terkait kansnya sebagai calon wakil presiden.

Selain itu, dipilihnya Sandi akan mengundang kecurigaan publik bahwa pemilihan Sandi memang tidak berdasarkan aspek elektabilitas tapi logistik. Opini itu dengan sendirinya seolah mengonfirmasi tudingan politisi Partai Demokrat Andi Arief soal jenderal kardus.

"Meskipun sudah dibantah, ada aroma tidak sedap. Kinerja dia di Jakarta juga jadi sorotan," lanjutnya.

Ketiga, Adi berpendapat Sandi tidak memiliki warna keislaman seperti Ma'ruf Amin. Meskipun belakangan, Sandi diklaim sebagai santri post Islamisme. Meskipun demikian, Adi tak memungkiri bila Sandi tetap memiliki kelebihan. Salah satu yang paling menonjol adalah pengetahuan dan pengalamannya di bidang ekonomi.

Dia melihat hal itu sebagai situasi yang positif. Apalagi, dalam pidato saat deklarasi Sandi dan para tokoh pendukungnya tidak menjadikan isu agama sebagai bahan jualan.

"Mereka lebih membicarakan soal sisi lemah ekonomi pemerintahan. Telur mahal, beras mahal, impor cabe, itu yang mereka kapitalisasi. Sandi lekat dengan program OK Oce, DP rumah nol rupiah," katanya.

Selain itu, kubu Prabowo juga menyoroti soal penegakan hukum. Misalnya saat menyinggung soal kasus Novel Baswedan. Dengan demikian, Adi yakin kontestasi pada Pemilu 2019 ini tidak akan sekeras 2014 dan 2017 saat Pilkada DKI Jakarta. "Mereka sudah meninggalkan jargon-jargon Islam," kata Adi.

Direktur Eksekutif Indikator Indonesia Burhanuddin Muhtadi memprediksi pertarungan politik di Pilpres 2019 mendatang, akan meninggalkan isu-isu politik identitas yang selama ini kerap digunakan untuk menjatuhkan lawan politiknya.

Harapan itu muncul seiring dipilihnya sosok KH Ma'ruf Amin sebagai cawapres Jokowi, di sisi lain kubu Prabowo tidak memaksakan memilih cawapres dari kalangan ulama, tapi justru sosok Sandiaga Uno yang akhirnya disepakati oleh partai koalisi.

"Masuknya KH Ma'ruf Amin akan memberikan kesan segan lawan untuk menembak Jokowi dari isu SARA. Sebaliknya di kubu seberang juga tidak memaksakan cawapres ulama karena akan terjadi gesekan di umat Islam," ujar Burhanuddin Muhtadi dalam perbincangan di tvOne, Juat, 10 Agustus 2018.

"Saya punya ekspektasi isu politik SARA, isu abad pertengahan itu akan dibuang, diganti dengan isu-isu yang lebih rasional," imbuhnya. Semoga saja.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya