Gaduh Medsos, Berisik Dunia Politik

Ilustrasi media sosial.
Sumber :
  • REUTERS/Dado Ruvic

VIVA – Pemanasan menjelang Pemilihan Presiden 2019 ternyata tak menunggu lama. Sehari setelah kedua pasangan capres dan cawapres mendeklarasikan diri, kisruh politik di jagad media sosial segera menggelegak.

Ketua DPD PSI Jakbar Mundur, DPW PSI Jakarta: Kami Tidak Mentolerir Kekerasan Seksual

Deklarasi kedua paslon seperti bahan bakar yang memberi amunisi baru dalam kekisruhan jelang pilpres di media sosial. Sejak terpilihnya Jokowi pada 2014 lalu, media sosial nyaris tak bisa hening. Selama lima tahun, media sosial terus dipenuhi informasi tentang keburukan Jokowi, kegagalannya mengelola pemerintah, hutang negara yang mencapai ribuan triliun, kedekatan dengan China, keturunan PKI, tenaga kerja asing, hingga silsilah keluarga Jokowi yang dianggap tak jelas.

Kekisruhan bahkan tak juga mereda meski kepolisian sudah meringkus kelompok penyebar hoax dan fitnah, Saracen dan Muslim Cyber Army. Meski dua kelompok tersebut, yang menurut Polri adalah penyebar berita yang dibayar (buzzer), sudah ditangkap dan dipenjara, tapi perang di media sosial tak pernah benar-benar berhenti. Setahun terakhir, pertarungan kembali hangat setelah Politisi PKS Mardani Ali Sera dan Neno Warisman menggagas gerakan #2019GantiPresiden. Aksi ini disambut kubu pendukung Jokowi dengan meluncurkan tagar tandingan #Jokowi2Periode dan #2019TetapJokowi. 

5 Cara Detoks Pikiran untuk Mencegah Stres Makin Parah, Salah Satunya Meditasi

Pakar media sosial Ismail Fahmi menyampaikan kekisruhan media sosial tersebut saat menjadi narasumber di acara Indonesia Lawyers Club atau ILC di tvOne pada Selasa, 21 Agustus 2018. Ismail Fahmi, yang juga pendiri dan pencipta Drone Emprit, yaitu sebuah sistem untuk memonitor dan menganalisa media sosial dan media online berbasis big data, memperingatkan publik bahwa perang kampanye Pemilu Presiden tahun 2019 melalui media sosial sudah dimulai. 

Ia mengatakan kedua kubu pasangan calon presiden dan wakil presiden sudah saling serang dengan berbagai cara dan metode. Metode yang paling lazim, kata Ismail, ialah menyebar aneka pesan dengan tanda pagar atau tagar tertentu hingga menjadi perhatian publik luas atau trending topic. "Misalnya, tagar #2019GantiPresidden, yang mengampanyekan hal positif pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno namun sekalian menyerang kubu lawan. Pola yang sama juga dilakukan oleh petahana dengan menyebar pesan yang menjadi trending topic melalui tagar #Jokowi2Periode dan #2019TetapJokowi untuk menyerang kubu lawan," ujar Ismail.

Menteri PPPA Bantah Tudingan soal Kasus Perundungan di Pesantren Meningkat

Perang Media Sosial Membahayakan?

Ismail Fahmi melihat, perang media sosial yang sekarang terjadi akan berpotensi meningkat eskalasinya saat hari pemilihan makin mendekat. Dia memperingatkan, pola-pola perang kampanye melalui media sosial itu akan lebih dahsyat di masa mendatang, bahkan sampai Pemilu Presiden selesai. Semua kubu akan lebih giat memproduksi konten-konten kampanye hal positif calon jagoannya dan sekaligus konten-konten negatif untuk kubu lawan.

Masalahnya, kata dia, tak semua konten yang diproduksi itu bersifat positif. Sebab hal yang sering terjadi justru hanya caci-maki atau sumpah serapah maupun semacam kampanye negatif (black campaign). Bahkan, sebagian besar pengguna media sosial hanya melihat judul yang provokatif tanpa membaca atau menyimak substansi pesannya.

“Itu pembodohan. Orang hanya melihat judul, isi artikel tidak peduli lagi. Ini berbahaya, kita harus melakukan sesuatu. Publik tidak murni terpecah menjadi dua, ada yang di tengah. Nah, yang di tengah itulah yang bisa diharapkan sebagai juru penengah,” ujarnya. 

Selain menggunakan tagar, pola lain yang sering digunakan sebagai amunisi dalam perang media sosial adalah mention, retweet, meme, video, dan artikel. Bahkan, ujar Ismail, biasanya "key maker" dari masing-masing kubu akan saling mem-follow. Tapi tujuannya bukan untuk me-retweet, tapi untuk saling melakukan mention. Untuk retweet sering kali akun yang me-retweet adalah akun anonim atau akun yang menggunakan nama palsu. "Dan itu dilakukan untuk mencari pembenaran, bukan mencari kebenaran," ujarnya menambahkan. 

Tapi kecemasan Ismail Fahmi ditanggapi santai oleh politisi Partai Solidaritas Indonesia Guntur Romli. Menurut Guntur, perang media sosial justru lebih baik ketimbang perang di dunia nyata. "Kalau perang mulut dan gontok-gontokan itu di dunia nyata justru lebih berbahaya. Kalau di media sosial kan kita saling mention dengan keriuhannya tapi itu hanya di dunia maya, yang tidak melibatkan hal yang fisik," ujar Guntur saat memberikan pernyataannya di ILC, Selasa, 21 Agustus 2018.

Menurut Guntur, media sosial sangat tergantung pada pemilik akun, jadi pengelolaannya akan tergantung pemikiran pemilik akun tersebut. "Terkait medsos siapa yang menggunakan siapa pelakunya, jadi secanggih apa pun senjatanya tetap tergantung manusianya. Kalau manusianya ingin menggunakan hal yang positif produknya akan positif, nah sisi positif dari medsos dalam konteks demokrasi kita sangat menyehatkan," ujar Guntur.


Robot Buzzer, Robot Polling, dan Bayaran Tinggi

Menurut Ismail, kegaduhan di media sosial juga tak alami. Kecanggihan teknologi memungkinkan buzzer yang sebelumnya manual, kini mulai tergantikan oleh robot. 

Dalam analisis percakapan media sosial dengan menggunakan tool Drone Emprit, Ismail menemukan keterlibatan  robot buzzer yang turut bermain dalam meramaikan media sosial. Menariknya, dua kubu politik itu sama-sama mengerahkan robot buzzer. Ia menambahkan, dalam pemantauan media sosial periode 7 Agustus sampai 14 Agustus 2018, Drone Emprit melihat robot buzzer terpisah dari jemaah masing-masing. 

Menggunakan robot buzzer itu dapat menjamin satu tagar menjadi trending topic dengan mudah meski berbiaya. “Biayanya antara sepuluh juta sampai lima belas juta rupiah per lima jam untuk bisa trending topic. Publik sebenarnya tidak melihat pesannya, tapi hanya hashtag-nya,” kata Ismail.
 
Wujud lainnya perang media sosial dalam Pilpres 2019 yakni munculnya robot polling. Ismail mengatakan robot polling bertujuan memenangkan polling di media sosial sesuai pesanan, dan memang ada penyedia jasanya.  Ismail juga membongkar bagaimana jasa robot polling bekerja. Dia menjelaskan, pasukan robot polling  akan dikerahkan untuk mendongkrak suara tertentu, terutama menjelang akhir masa polling. 

"Cara kerjanya, si buzzer di dalam peternakannya sudah memiliki puluhan ribu hingga ratusan ribu akun robot. Pada saat sebuah polling Twitter dilakukan, mereka melihat posisi target. Pada saat yang tepat ribuan atau puluhan akun digunakan untuk 'ngevote' salah satu target," tulis Ismail di akun Facebooknya yang dikutip pada Selasa, 21 Agustus 2018.

Perang percakapan di media sosial Twitter

Robot polling ini akan makin masif menjelang masa kritis, yakni menjelang voting berakhir. Penyedia jasa robot polling mengerahkan sisa kekuatan untuk mendapatkan hasil vote tertinggi.  "Kubu yang tidak siap dengan robot, dan hanya mengandalkan user natural, pasti tidak akan bisa ngejar dalam waktu hanya beberapa menit saja. Akhirnya yang pakai robot akan menang," tuturnya. 

Kekhawatiran merebaknya isu karena penggunaan robot buzzer menjadi salah satu aspek negatif dari meluasnya penggunaan media sosial. Hal tersebut disadari oleh Partai Keadilan Sosial. Sebagai bagian dari bentuk dan upaya pencegahan agar tak terjadi penyebaran berita hoax atau fitnah, politisi PKS Mardani Ali Sera mengatakan partainya sudah siap menyusun fikih sosmed. 

Gagasan dasar fikih media sosial ialah bahwa hukum yang jelas dalam agama Islam tentang memfitnah atau menyebarkan fitnah. Namun sekarang kian berkembang tren memfitnah dan menyebarkannya hingga lebih luas melalui media sosial. Fikih media sosial itu, menurut PKS, mencegah penyebaran rumor atau hoax dan ujaran kebencian, terutama menjelang dan saat kampanye Pemilu Presiden tahun 2019. Sebab sekarang sudah dimulai kampanye maupun provokasi yang belakangan sering disebut sebagai perang media sosial.

“PKS membikin fikih socmed (social media/media sosial). Fitnah jelas berdosa, tapi kalau fitnah atau hoax disebar melalui media sosial, itu berat sekali dampaknya,” kata Ketua Dewan Pimpinan Pusat PKS, Mardani Ali Sera, dalam program Indonesia Lawyers Club tvOne pada Rabu malam, 21 Agustus 2018.

Media Sosial.

Fitnah atau hoax yang bisa merajalela juga menjadi perhatian Guntur Romli.  "Salah satu aspek negatif terkadang orang yang belum tahu tapi akhirnya mentang-mentang karena ada di media sosial dianggap sebagai kebenaran. Nah, ini yang harus kita lawan," katanya.

"Hoax jadi persoalan yang harus dilawan. Kalau melanggar, ya, harus bersiap menghadapi polisi karena di situ ada UU ITE. Persoalan lain adalah demokrasi harus kita jaga, bahwa kebebasan harus dirawat bersama-sama. Kita boleh bertukar gagasan tapi dengan data jangan dengan isu sara isu hoax,” ujarnya.

Aktivis media sosial Permadi Arya, atau yang terkenal dengan nama Abu Janda juga mengakui kekuatan media sosial sebagai penyebar informasi. Ia tak memungkiri bahwa kedua pihak, pendukung pemerintah Jokowi dan oposisi, banyak menebar hoax di media sosial selama empat tahun terakhir. Ia mengatakan, seharusnya polisi bertindak tegas, apalagi saat ini sudah memasuki tahap Pilpres yang makin parah penyebaran hoax di media sosial.

Perang media sosial jelang Pilpres dipastikan akan memanas. Sayangnya, selain UU ITE, hingga hari ini pihak berwenang belum memiliki aturan yang jelas soal menggunakan media sosial sebagai sarana kampanye. Keberadaan media sosial yang sering diklaim sebagai ranah privat pemilik akun selayaknya bisa dibarengi dengan kampanye agar pengguna media sosial lebih bijak menyuarakan opini mereka. Perang media sosial yang tak terkendali tetap memiliki potensi memecah belah persatuan antar warga. 

Sebelum kasus pemutusan hubungan pertemanan dan persaudaraan karena beda pendapat di media sosial makin meluas dan menajam, ada baiknya para pemangku kepentingan duduk bersama menimbang untung rugi untuk membuat aturan agar publik bisa menggunakan sosmed dengan bijak. Tujuannya jelas, agar Pilpres mendatang akan menjadi sarana edukasi tentang demokrasi, dan bukan menjadi media pemecah belah persatuan.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya