#2019GantiPresiden, Makar atau Bukan?

Para peserta acara #2019GantiPresiden beberapa waktu lalu.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Fajar GM

VIVA – Kontroversi Gerakan #2019GantiPresiden terus menjadi topik hangat dalam ruang diskusi publik. Meskipun aksi persekusi tokoh-tokoh gerakan tersebut terjadi beberapa pekan lalu, nyatanya gerakan #2019GantiPresiden masih bergulir di beberapa daerah. Bersamaan dengan itu, penolakan dan pelarangan juga masif terjadi.

Viral Ucapan Gus Samsudin: Konten Tukar Pasangan Itu Dakwah, Saya Senang di Penjara

Teranyar adalah saat beberapa elemen masyarakat menolak deklarasi #2019GantiPresiden yang digelar di Banda Aceh pada Sabtu, 1 September 2018 lalu. Dalam video yang sudah viral di media sosial, tujuh pria bersebo yang belum diketahui identitas mereka itu juga mengancam jika deklarasi tersebut tetap digelar di Aceh.

Polisi dan Pemda setempat kabarnya tak mengizinkan, sehingga deklarasi #2019GantiPresiden di Banda Aceh 1 September 2018 lalu batal digelar. Panitia berdalih pelaksanaan deklarasi #2019GantiPresiden di Banda Aceh ditunda hingga 30 September 2018, yang kebetulan saat itu sudah masuk masa kampanye.

7 Pria Dieksekusi oleh Arab Saudi Gegara Tuduhan 2 Hal Mengerikan

Di Solo, deklarasi #2019GantiPresiden yang akan digelar pada Minggu, 9 September mendatang juga tak diizinkan pihak Kepolisian. Acara jalan sehat santai Hari Olahraga Nasional yang rencananya akan dihadiri Neno Warisman dan Ahmad Dhani itu tidak dikeluarkan izinnya oleh Kepolisian karena alasan keamanan.

Polda Jateng melarang acara jalan sehat Hari Olahraga Nasional itu karena diduga akan disisipi konten politik termasuk orasi yang menghadirkan tokoh serta artis. Namun sepertinya panitia kekeuh untuk tetap menggelar acara tersebut. Konsekuensinya pengamanan kegiatan tersebut dilakukan secara hati-hati, agar tidak terjadi kegaduhan.

Anies soal Pilpres 2024: Ini Bukan soal Ganti Presiden tapi Ganti Kebijakannya

Ketua Gerakan Pemuda Ansor Jawa Tengah Solahudin Aly menganggap wajar jika deklarasi #2019GantiPresiden banyak mendapatkan penolakan masyarakat, khususnya di Jawa Tengah. Penolakan itu karena dinsinyalir karena acara tersebut sarat muatan politik. Lagipula kegiatan itu masih absurd apakah dalam konteks pemilu atau bukan.

"Saya khawatirkan ditunggangi, ada penumpang gelap disana. Beberapa waktu ini Solo agak sensitif soal hal itu. Maka pertimbangan itu, polisi punya kewenangan untuk beri Izin atau tidak," kata Ketua GP Ansor Jawa Tengah, Solahudin Aly saat dikonfirmasi VIVA, Senin, 3 September 2018.

Dari Mabes Polri sendiri berdalih aksi #2019GantiPresiden tak masalah digelar sepanjang tak mendapatkan penolakan dari kelompok masyarakat yang lain. Namun, jika gerakan tersebut ditolak oleh kelompok lain, Polri berhak menengahi supaya tidak terjadi bentrokan. Karenanya, izin atas kegiatan tersebut perlu dievaluasi.

Jauh sebelum masifnya penolakan deklarasi #2019GantiPresiden di beberapa daerah, Tenaga Ahli Deputi IV Kantor Staf Presiden Ali Mochtar Ngabalin lebih dulu menyebut gerakan #2019GantiPresiden sebagai tindakan makar.

Arti makar untuk gerakan #2019GantiPresiden yang dimaksud Ngabalin, adalah bahwa kelompok tersebut akan mengganti presiden pada pukul 00.00 WIB, 1 Januari 2019. Karenanya, politikus Golkar asal Papua itu tak sungkan melabeli kelompok ganti presiden sebagai gerombolan pengacau keamanan yang tidak beradab.

Menurut Ngabalin, jelas gerakan #2019GantiPresiden adalah tindakan makar, sebab pergantian kekuasaan secara konstitusional adalah melalui pemilu, yang akan digelar 17 April 2019 mendatang.

Tak Melanggar Hukum

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD tidak sependapat dengan klaim Ali Mochtar Ngabalin yang menyebut gerakan #2019GantiPresiden sebagai makar. Kendati mengaku bukan bagian dari gerakan tersebut, Mahfud menegaskan tidak ada pelanggaran hukum dari gerakan tersebut.

Ia justru mempertanyakan pihak-pihak yang menyeret gerakan tersebut sebagai tindakan makar. Menurut dia, tagar tersebut hanya bentuk aspirasi dalam ruang demokratis yang tidak memunculkan unsur makar seperti yang dituduhkan selama ini.

"Saya bukan pengikut, tapi saya enggak setuju kalau itu dikatakan melanggar hukum. Coba ada yang dengan nekat mengatakan itu makar. Dimana makarnya?" kata Mahfud dalam diskusi Pergerakan Indonesia Maju dengan tema 'Membangun Demokrasi Beradab' di Jalan Brawijaya VIII, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis 6 September 2018.

Menurut Mahfud, istilah makar dalam hukum merupakan tindakan kudeta yang dilakukan oleh militer atau oleh kekuatan sipil. Dalam Pasal 104 sampai Pasal 129 KUHP, makar didefinisikan sebagai perbuatan menyandera, menahan, merampas kemerdekaan presiden dan wakil presiden, berkomplot atau berencana menggulingkan pemerintahan dan mengganti ideologi Pancasila. "Itu makar namanya," ujar Mahfud.

"Lalu 2019 ganti presiden mana makarnya? Enggak ada makar. Dia tidak menyandera presiden, dia juga tidak mengatakan mau mengganti Pancasila, tapi kan dia mau ikut pemilu, dimana makarnya?" imbuhnya.

Karenanya, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII) itu berpendapat sebaliknya dengan Ngabalin, bahwa gerakan #2019GantiPresiden tak terdapat unsur tindakan makar sebagaimana diatur dalam KUHP. Baginya, dalam kehidupan bernegara hukum dijadikan sebagai harmoni membangun harmoni.

"Saya bukan pengikutnya tetapi kita harus berhukum dengan benar kalau mau berkeadaban, restoratif justice juga. Perbedaan jangan dibenturkan melawan hukum, enggak boleh. Kita itu menjadikan hukum sebagai harmoni membangun harmoni," tegasnya.

Pengamat Hukum Tata Negara Refly Harun memastikan kebebasan berpendapat dan berkumpul merupakan hak konstitusional warga negara sepanjang tidak melanggar hukum atau undang-undang. Untuk kasus deklarasi #2019GantiPresiden yang dilakukan di beberapa daerah, Refly mengatakan deklarasi tagar tersebut apabila dikaitkan dengan pemilu, maka belum saatnya kampanye.

"Tapi kalau tidak dikaitkan dengan pemilu, hanya kebebasan berpendapat ansih, kita akan bertanya konten isinya, kalau konten ganti presiden tidak dikaitkan dengan presiden, maka tentu kita akan mengatakan itu inkonstitusional," kata Refly dalam perbincangan di tvOne beberapa waktu lalu.

Refly enggan berpolemik dengan pihak-pihak yang menyebutkan gerakan itu merupakan tindakan makar. Namun, karena konten gerakan tersebut itu merupakan ganti presiden, maka harus dikaitkan dengan pemilu agar gerakan tersebut tidak disebut ilegal atau inkonstitusional.

"Maka sesungguhnya ini kan tahapannya sudah pencalonan, nanti kan penetapan calon 20 September, setelah penetapan calon barulah kampanye. Makanya saya mengimbau dua pihak untuk menahan diri agar tidak mencuri start kampanye, nanti kampanye 23 September," ujarnya.

Biro Hukum #2019GantiPresiden, Mahendradatta mengatakan gerakan ini sudah dilakukan jauh hari sebelum pencalonan presiden. Gerakan ini merupakan wadah sebagian kecil masyarakat yang ingin punya presiden baru. Tidak ada upaya pelanggaran hukum.

"Kenapa ganti presiden 2019? Agar tidak salah kaprah ganti presidennya jadi inkonstitusional, itu di 2019. Setiap acara kan cuma deklrasi, cuma menyatakan pendapatnya. Itu mengatakan bahwa jelas mengawal pemilu yang jujur dan bersih, silahkan, semua tertulis, ada bukti tertulis begitu," tegasnya

Paling Disukai

Di tengah hiruk pikuk gerakan #2019GantiPresiden di 'darat'. Siapa sangka gerakan yang diinisiasi politikus PKS Mardani Ali Sera itu paling populer di kalangan pengguna media sosial. #2019GantiPresiden paling sering dibahas di dunia maya.

Berdasarkan hasil survei LSI Denny J.A, gerakan yang dinisiasi oleh Neno Warisman dan Mardani Ali Sera itu didukung sebanyak 63,2 persen responden.

"Tagline 2019 Ganti Presiden lebih banyak disukai oleh pengguna media sosial," kata Peneliti LSI Denny J.A Ardian Sopa saat menyampaikan keterangan pers di kantornya Jalan Pemuda, Jakarta, Rabu, 5 September 2018.

Sementara, lanjut Ardian, sebanyak 30 persen publik menyatakan ketidaksukaannya terhadap gerakan itu. Tapi di sisi lain terungkap kalau pengguna media sosial justru mengaku puas dengan pemerintahan Jokowi saat ini. "Pengguna media sosial yang puas terhadap Jokowi 67,9 persen. Sementara yang tidak puas 29,2 persen," katanya.

Ardi menambahkan, tingkat kepuasan terhadap Jokowi lebih banyak dari kalangan yang tidak menggunakan media sosial. Jokowi dalam klasifikasi ini disukai sebanyak 78,1 persen responden, sementara yang tidak suka 18,1 persen. "Sekitar 3,8 persen tidak menjawab," kata dia.

Survei ini dilakukan pada tanggal 12-19 Agustus 2018 dengan wawancara menggunakan kuesioner. Metode survei multistage random sampling (acak), dengan sampel sebanyak 1.200 responden dan mengklaim margin of error pada tingkat 2,9 persen.

Di sisi lain, survei terbaru lembaga riset Y-Publica mengatakan publik sudah kritis menilai gerakan #2019GantiPresiden sejak awal murni bermuatan politik. Gerakan #2019GantiPresiden dipandang bukan lagi murni gerakan protes akar rumput atau ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah.

"Sebanyak 32,1 persen responden menganggap gerakan ini menguntungkan kubu oposisi atau lawan politik Jokowi. Malah ada 24,9 persen yang menuding langsung pasangan Prabowo-Sandiaga Uno sebagai pihak yang diuntungkan," kata Direktur Eksekutif Y-Publica Rudi Hartono di kawasan Jakarta Pusat, Senin 3 September 2018.

Survei menyebut respons publik terhadap gerakan itu diketahui sebanyak 69,9 persen responden mengaku tidak setuju dengan gerakan tersebut. Sedangkan 23,8 persen menyatakan setuju dan 30,1 persen menjawab tidak tahu.

Sementara respons publik menyatakan, 25 persen tagar 'Ganti Presiden' dianggap kampanye politik sebelum pemilu dan 13,8 persen mengarah pada makar. Dan setelah deklarasi calon presiden dan calon wakil presiden, 75,6 persen responden menyebut gerakan ini bukan lagi ekpresi kebebasan berpendapat.

Adapun survei dilakukan terhadap 1.200 responden di 34 Provinsi pada 13-23 Agustus 2018. "Secara umum meskipun populer, tetapi sikap publik yang tidak setuju dengan dengan gerakan itu justru naik," ujarnya.

Ketua DPR Bambang Soesatyo berharap suasana menuju tahun politik 2019 harusnya tetap menyenangkan. Mengingat prosesi itu disebut pesta demokrasi. Sebagai mantan Ketua Komisi Hukum DPR, menurutnya tidak perlu bereaksi berlebihan atas deklarasi #2019GantiPresiden.

"Pun, ketika para pegiat deklarasi itu punya massa pendukung di beberapa tempat, juga tidak boleh dikecam. Bahkan semua pihak patut menerimanya sebagai fakta apa adanya," ujar Bambang, Selasa, 4 September 2018.

Namun, ketika pergerakan massa pendukung deklarasi dan penolaknya berpotensi menimbulkkan bentrok hingga mengganggu keamanan serta ketertiban masyarakat (kamtibmas), maka negara punya kewenangan untuk bertindak melalui aparat. "Aparat keamanan di setiap daerah wajib hadir untuk menengahi sekaligus mencegah gesekan," katanya.

Atas dasar itu, ia meminta masing-masing kelompok bisa menahan diri. "Semua pihak juga harus menghormati aparat keamanan di setiap daerah ketika mereka harus membuat keputusan terbaik untuk meminimalisir risiko sekecil apa pun," lanjut Bambang. (ren) 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya