Adu Kuat Enggar dan Buwas, Perlukah Impor Beras?

Pekerja mengangkut beras impor dari Thailand di gudang Bulog Divre Jatim
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Umarul Faruq

VIVA – Perselisihan kebijakan impor beras antara Direktur Utama Perum Bulog, Budi Waseso dan Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita, telah menciptakan kegaduhan dalam pemerintahan. Hal ini pun menjadi sorotan publik dan menunjukkan tidak solidnya pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam mengambil kebijakan pangan. 

Impor Beras RI Januari-Februari Tembus 881 Ribu Ton, Paling Banyak dari Thailand

Diketahui perseteruan ini muncul setelah Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag, Oke Nurwan, menyebutkan Badan Urusan Logistik (Bulog) meminta perpanjangan perizinan impor beras sebanyak 440 ribu ton. Perpanjangan izin impor tersebut diminta karena negara pengekspor, yaitu India dan Pakistan tengah menghadapi cuaca buruk sehingga mengganggu pengapalan beras. 

Permintaan impor ini ditandatangani Direktur Utama Bulog, Budi Waseso, tertanggal 18 Juli 2018, dengan nomor B 932/II/DU000/07/2018. Keputusan untuk impor beras ini juga berdasarkan rapat koordinasi pada Agustus 2018. 

300 Ribu Ton Beras Impor dari Thailand dan Pakistan OTW RI Jelang Ramadhan

Namun, Budi Waseso membantah mengajukan izin impor beras ke Kementerian Perdagangan. Ia menegaskan impor beras tidak perlu dilakukan karena produksi petani lokal mampu memenuhi kebutuhan nasional. 

"Tapi faktanya tidak ada impor baru, saya tidak pernah minta izin impor baru. Saya hanya memperpanjang karena surat itu sudah kedaluwarsa," ucap Buwas, panggilan akrab Budi Waseso, di Kantor Bulog, Jakarta Selatan, Rabu, 19 September 2018.

Impor Beras dengan Alasan dampak El Nino Aneh, Menurut Peneliti BRIN

Dia juga memastikan tidak akan ada impor beras hingga akhir 2018, karena menurutnya stok beras di Bulog saat ini masih lebih dari cukup untuk konsumsi dalam negeri.

"Hari ini ada yang menyampaikan kalau Bulog itu harus impor, dia tidak mengerti. Ironisnya, ini mantan orang Bulog. Jangan jadi pengkhianat bangsa ini, darimana perhitungan itu?" ujarnya. 

Merespons sikap Buwas yang menolak impor beras, Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita, kembali menegaskan bahwa kebijakan impor beras berdasarkan hasil rapat koordinasi. Namun, ia tidak mempermasalahkan jika Buwas menolak kebijakan tersebut. 

"Iya enggak apa-apa (tidak impor), jangan diperpanjang izinnya. Loh ya terserah, yang pasti rapat kordinasi memutuskan jumlah total itu 2 juta, itu keputusan rakor bukan keputusan saya, Bulog juga ada di situ," ujar Enggartiasto saat kunjungan ke Gudang Gakoptindo di Jakarta Barat, Rabu 19 September 2018.

Ia menjelaskan bahwa keputusan impor beras berdasarkan undang-Undang (UU) pangan dan Peraturan Presiden (PP) yang diputuskan dalam rapat koordinasi (rakor). Sehingga pihaknya mengeluarkan surat tugas impor kuota 2 juta ton kepada Bulog. Keputusan melakukan impor beras ini karena pemerintah menilai produksi nasional kurang.

Rinciannya impor 500 ton yang diputuskan Januari 2018, selanjutnya 500 ton ditetapkan pada Maret 2018 dan 1 juta ton pada April 2018. 

"(Impor beras) kita sebenarnya sampai dengan Juli. Tapi surat Bulog meminta agar izin impor diperpanjang. Kita keluarkan setuju perpanjangan pertama dan kedua, karena belum sampai dalam perjalanan, akibat cuaca agar izin itu diperpanjang," ujarnya. 

Perlukah impor?

Dirut Perum Bulog, Budi Waseso

Buwas menjelaskan, pihaknya telah menghitung jumlah stok persediaan beras Bulog. Ia memperkirakan jika jumlah stok beras mencapai 3 juta ton akan cukup hingga akhir tahun 2018. Bahkan pemerintah tidak perlu melakukan impor beras hingga Juni 2019. 

"Stok akhir Desember jumlahnya hampir 3 juta ton, makanya untuk menghadapi tahun 2019 Maret-Juni sudah kami hitung. Faktanya hingga Juni 2019 tidak perlu impor, dimungkinkan beras impor tidak akan keluar sampai bulan itu," kata Budi. 

Senada dengan sikap Bulog, Menteri Pertanian, Amran Sulaiman, juga menjadi salah satu pihak yang  menolak impor.

Dalam berbagai kesempatan, Amran terus mengatakan produksi padi nasional mencukupi kebutuhan beras masyarakat. Kementerian Pertanian menargetkan produksi beras sebesar 49,4 juta ton sepanjang tahun ini, dengan proyeksi kebutuhan masyarakat diperkirakan 30,3 juta ton. 

Alhasil, menurutnya ada surplus beras mencapai 19,1 juta ton. Target tersebut yang kemudian menjadi pertimbangan Amran menyebut bahwa komoditas beras dalam negeri sudah mencapai target swasembada. 

Meski Mentan mengatakan Indonesia surplus beras, namun kenyataannya pemerintah telah mengimpor beras sebanyak 1,4 juta ton pada tahun ini. Bulog di bawah kepemimpinan Buwas telah dua kali meminta perpanjangan impor beras, di mana surat perpanjangan itu diajukan pada 13 Juli 2018 dan 23 Agustus 2018.

Setelah permohonan izin diperpanjang, Kemendag memberikan waktu tambahan hingga 31 Oktober 2018 bagi Bulog untuk mengimpor.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, menyatakan kebijakan impor beras ini diambil untuk memenuhi kebutuhan permintaan beras domestik, yang setiap bulannya mencapai 2,4 juta ton. 

Sedangkan, cadangan beras Bulog sebelum masuknya impor tersebut diperkirakan hanya sebesar 800 ribu ton, sehingga berpotensi tidak bisa memenuhi permintaan domestik, dan menimbulkan kenaikkan harga yang melebihi patokan harga eceran tertinggi atau HET.

"Saya agak heran juga bahwa yang diributkan impor, dihubungkan dengan gudang penuh. Itu penuh karena impor, kalau enggak ada impor isinya 800 ribu ton. Kalau tidak ada impor itu, repot kita," katanya saat ditemui di kantornya, Jakarta, Rabu malam, 19 September 2018.

Darmin mengatakan, sebelum diputuskan untuk menambah pengadaan impor beras pada 28 Maret 2018 sebesar satu juta ton, harga beras sudah merangkak naik di kisaran Rp11.036 per kilogram untuk kualitas medium. Sedangkan HET-nya adalah sebesar Rp9.450 per kilogram.

Perspektif masyarakat

Gudang Bulog

Kisruh antara Bulog dan Kemendag terkait impor beras mencerminkan tidak solidnya Pemerintah Presiden Joko Widodo. Hal itu tentu saja memengaruhi persepsi masyarakat terhadap kepemimpinan Jokowi, menjelang pemilihan presiden 2019. 

"Dampaknya memperlihatkan kabinet kerja kabinetnya Pak Jokowi ini enggak solid. Takutnya kedua akan memengaruhi perspektif masyarakat terhadap kinerja ekonomi di akhir tahun ini," kata Ekonom Institute for Development of Economics and Finance, Rusli Abdullah, kepada VIVA, Kamis 20 September 2018. 

Dia pun memperingatkan, agar polemik  tidak terus berlanjut tanpa ada keputusan yang ideal. Apalagi sampai merugikan masyarakat.  

"Jangan sampai kita terlambat penuhi pasokan beras karena di bulan  Oktober, November, Desember itu bulan paceklik, gak ada panen. Entah mau imporlah apalah, tapi ini jangan sampai terlewatkan karena perseteruan," ujarnya. 

Dia menjelaskan, konsumsi nasional mencapai 2,5-3 juta ton per bulan. Idealnya Bulog memiliki cadangan 1,25 juta ton untuk berjaga-jaga bila pasokan dari petani tidak sesuai target.  

"Masalahnya sekarang pasokannya 2,5 juta ton, cadangannya berarti tinggal dua bulan. Oktober, November mampunya, Desembernya dari mana?" tanya Rusli.

Rusli menuturkan, meski Bulog diyakini akan menyerap beras petani, kenyataan di lapangan Bulog mengalami banyak kendala dalam penyerapan beras petani, seperti terkait kualitas beras. Setiap tahun, Bulog bahkan tidak mampu memenuhi target penyerapan beras karena tidak memenuhi kualifikasi.

"Takutnya misalnya enggak jadi impor, dan mengandalkan pasokan dalam negeri, tapi serapannya tidak sesuai kualifikasi. Kalau dipaksakan bisa masuk pidana," ujarnya.  
 
Rusli meyakini pemerintah akan mengimpor beras untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, dan menjaga harga beras tidak melebihi harga eceran tertinggi. 

"Saya yakin pemerintah tidak akan biarkan inflasi terjadi, karena ini tahun politik. Kalau beras naik bisa berabe pemerintah 2019," katanya. 
 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya