Polemik Pajak Rokok untuk BPJS Kesehatan

Ilustrasi BPJS Kesehatan
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya

VIVA – Polemik defisit anggaran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan, terus bergulir. Meskipun saat ini, Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Peraturan Presiden untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Ini Cara Bea Cukai Jaga Kesesuaian Harga Rokok di Pasaran

Bahkan, Presiden Jokowi ingin memanfaatkan pajak rokok yang selama ini menjadi pendapatan daerah, dapat digunakan menutupi defisit yang dialami BPJS Kesehatan.

Menurut Jokowi, kebijakan itu diputuskan dengan mengacu pada ketentuan yang tertera dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Bea Cukai Bandar Lampung Blusukan ke Warung Sosialisasikan Ketentuan Cukai

Khususnya, lanjut dia, Pasal 31 dari undang-undang itu yang mengatur penerimaan pajak rokok dialokasikan paling sedikit 50 persen untuk mendanai pelayanan kesehatan.

Mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut menyebutkan, pelaksanaan kebijakan itu sudah memperoleh persetujuan dari pemerintah daerah. Sehingga, pemda tidak akan merasa dirugikan, karena adanya penetapan ketentuan baru ini.

Libatkan Pelajar, Bea Cukai Bahas Aturan Kepabeanan dan Cukai

"Itu yang terima (manfaat) juga daerah kok, untuk pelayanan kesehatan di daerah. Kan, bukan pelayanan di pusat," ujar Jokowi.

Seperti diketahui, BPJS Kesehatan mengalami defisit Rp9,75 triliun pada 2017. Sementara itu, defisit pada akhir 2018, berdasarkan audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) diperkirakan membengkak menjadi Rp11,2 triliun.

Adapun untuk menutup kekurangan dari defisit tersebut, pemerintah juga akan mengucurkan dana dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2018, sebesar Rp4,9 triliun.

Wakil Menteri Keuangan, Mardiasmo menjelaskan, pencairan dana tersebut dipastikan bakal langsung diberikan sejumlah nominal yang diminta BPJS Kesehatan, tanpa ada pencairan secara bertahap.

Sementara itu, untuk landasan hukum pencairan dana tersebut ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 113/PMK.02/2018 tentang Tata Cara Penyediaan, Pencairan, Dan Pertanggungjawaban Dana Cadangan Program Jaminan Kesehatan Nasional.

"Insya Allah Senin (24 September 2018), yang Rp4,9 triliun itu. Langsung senilai itu, enggak bertahap. Sesuai dengan permintaan dari BPJS. Itu kan, ada peruntukannya semuanya. PMK 113 sudah proses administrasi dan Insya Allah semua administrasi selesai hari ini dan besok ke KPPN (Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara) Senin cair," kata dia, saat ditemui di kantornya, Jumat lalu, 21 September 2018.

Berikutnya, tak rasional>>>

Tak rasional

Sementara itu, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengkritik keras penggunaan pajak rokok oleh pemerintah untuk menutupi defisit anggaran yang dialami Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Pemanfaatan pajak rokok yang selama ini menjadi pendapatan daerah dan akan digunakan untuk menutupi defisit BPJS Kesehatan sekitar Rp11,2 triliun itu dianggap tidak efektif.

Pemanfaatan pajak rokok yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 yang baru ditandatangani Presiden Joko Widodo, dinilai tak akan cukup menutupi seluruh defisit BPJS Kesehatan.

"Harus ada pengaturan tersendiri (untuk membuat penggunaan pajak rokok menjadi efektif)," ujar Ketua Umum Pengurus Besar (PB) IDI, Ilham Oetama Marsis di Istana Negara, Senin 24 September 2018.

Ilham menyampaikan, sebagai produk konsumsi yang jelas memberi kerugian kepada kesehatan, rokok sebenarnya memberi kontribusi terhadap masalah kesehatan yang diderita masyarakat. Dengan demikian, keluhan kesehatan harus dibiayai BPJS Kesehatan, penanganannya akan terus ada.

"(Anggaran BPJS Kesehatan) itu dimanfaatkan oleh mereka yang juga korban dari rokok," ujar Ilham.

Hal senada juga disampaikan oleh, Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati, di mana dana pajak rokok sejatinya digunakan untuk pengendalian konsumsi rokok di masyarakat.

Untuk itu, akan menjadi agak irasional ketika mekanisme BPJS kesehatan berasal dari pajak rokok yang merupakan pajak daerah atau dana bagi hasil cukai yang seharusnya untuk menjaga kesehatan masyarakat.

"Begini, dana bagi hasil, selama ini kenapa cukai ada, itu karena untuk pengendalian. Kalau diharapkan memenuhi untuk BPJS, otomatis formulanya kan gimana bisa dikendalikan," jelas Enny kepada VIVA.

Untuk itu, seharusnya untuk menambal defisit BPJS Kesehatan, mekanismenya ada di Kementerian Keuangan. Namun, bukan berarti menggunakan dana bagi hasil cukai untuk pengendalian.

"Omongan sederhananya, katanya rokok menyebabkan tidak sehat. Ini kenapa diharapkan orang sehat dari hasil cukai rokok. Kan enggak ketemu, logikanya jungkir balik. Itu yang harus dijadikan formula," ujarnya.

Selanjutnya, tak akan cukup>>>

Tak akan mencukupi

Wakil Menteri Keuangan, Mardiasmo menjelaskan, sebenarnya pemotongan pajak rokok yang tertuang dalam Perpres, hanya berlaku untuk pemerintah daerah yang tak tertib membayar iuran peserta yang didaftarkan melalui program Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda).

Adapun pemotongannya maksimal, yaitu sebesar 75 persen dari 50 persen alokasi penerimaan pajak rokok daerah. Artinya, pemotongan pajak rokok di setiap daerah akan berbeda-beda.

"Jadi, nanti beda-beda setiap daerahnya, Maksimumnya 37,5 persen dari 50 persen alokasi dikali 75 persen dari pajak rokok, yang akan dibagikan ke masing-masing daerah," jelas Mardiasmo, di kantornya, Jumat lalu, 21 September 2018.

Adapun potensi pajak rokok yang bakal dipakai untuk BPJS Kesehatan, lanjut Mardiasmo, mencapai Rp1,1 triliun. Hitungan itu berasal dari lima bulan pajak dibagi satu tahun, dikalikan jumlah pajak rokok yang akan dibagi kepada daerah.

"Kita sesuaikan dengan jumlah tunggakan Pemda. Lima bulan dari Agustus, sampai Desember. Jadi, lima dibagi 12 bulan dikalikan Rp5,51 triliun, yang akan kita potong (untuk BPJS) Rp1,1 triliun,” ucapnya.

Sedangkan bila dana tersebut tak tercukupi untuk pembayaran defisit BPJS Kesehatan, Mardiasmo menuturkan, pihaknya akan melakukan sejumlah bauran kebijakan.

Direktur INDEF, Enny Sri Hartati mengungkapkan, dalam menyelesaikan defisit dari BPJS Kesehatan, sebaiknya pemerintah selesaikan dulu masalah tekornya perusahaan tersebut. Sebab, ini tidak terjadi tahun ini saja.

Hal itu, kata Enny, sangat penting dilakukan, karena bila tak segera diselesaikan tahun ini, tekor anggaran BPJS bisa terjadi lagi atau bahkan bisa lebih besar lagi di tahun-tahun selanjutnya.

"Ini harus ada penyelesaian, ya itu nanti mekanisme pemerintah mau diambil bagaimana, itu tergantung pemerintah, Kementerian Keuangan," jelasnya kepada VIVA.

Ia menambahkan, pentingnya penyelesaian masalah defisit BPJS Kesehatan ini tentu sangat ditunggu publik. Sehingga, harus ada audit dan evaluasi menyeluruh alasan peningkatan defisit dari badan jaminan kesehatan itu. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya