Indonesia Minim Sistem Canggih Pendeteksi Tsunami

Diler Kawasaki di Palu rusak diterjang tsunami.
Sumber :
  • Istimewa

VIVA – Gempa besar bermagnitude 7,5 SR mengguncang wilayah Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah, Jumat, 28 September 2018 pukul 17.02 WIB. Merujuk pada rilis Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), pusat gempa berada di 26 kilometer utara Donggala, pada kedalaman 11 kilometer.  
 
Gempa tersebut menyebabkan tsunami di beberapa wilayah di Palu dan Donggala, yang mengakibatkan hilangnya ratusan nyawa. Infrastruktur rusak, komunikasi lumpuh, dan padamnya aliran listrik menjadi paket lengkap situasi pasca bencana di Palu dan Donggala.  
 
Sejumlah ahli dari ITB, LIPI, dan BPPT melakukan analisis terhadap penyebab tsunami yang menerjang Jumat sore itu. Menurut mereka, di bagian Teluk Palu, ada longsoran sedimen dasar laut di kedalaman 200-300 meter.  
 
Sedimen dari sungai-sungai yang bermuara di teluk tersebut, belum berkonsolidasi kuat sehingga runtuh/longsor saat gempa, kemudian memicu tsunami. Indikasi yang menguatkan teori ini adalah naik turunnya gelombang dan air keruh.  
 
Ahli dari luar negeri juga tak ketinggalan menyoroti tsunami yang menghancurkan Palu dan Donggala. Dilaporkan New York Times, 1 Oktober 2018, para ilmuwan dunia bahkan terkejut pada ukuran gelombang tsunami.   
 
Menurut mereka, awalnya tak menyangka bahwa guncangan gempa berskala 7,4 SR membangkitkan ombak tsunami yang berdaya hancur.

Taiwan Kena Gempa, Audi Marissa Khawatirkan Keluarga Anthony Xie

Warga mencari korban gempa dan tsunami yang tewas di RS Bhayangkara, Palu, Sulawesi Tengah, Minggu, 30 September 2018.
 
"Kami menilai bisa saja terjadi tsunami, tapi tak sebesar itu," kata Jason Patton, ahli geofisika dari perusahaan konsultan Temblor, yang mengajar di Humboldt State University di California, dikutip dari New York Times, Senin, 1 Oktober 2018.
 
Patton menambahkan, “Ketika peristiwa seperti ini terjadi, kami justru menemukan hal-hal yang belum pernah kami amati sebelumnya.”
 
Tingginya jumlah korban jiwa, dikatakan para ahli, mencerminkan kurangnya sistem canggih di Indonesia untuk deteksi dini dan peringatan tsunami.  
 
Sementara itu, Kepala Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Tsunami BMKG,
Daryono membenarkan, banyaknya korban jiwa akibat tsunami disebabkan oleh ketiadaan alat deteksi yang memadai.  
 
“Nah, kalau saja BMKG punya alat pemantau tsunami di Teluk Palu, maka kejadian itu akan kita ketahui sehingga kita akan akhiri peringatan dini sampai sekitar 1 jam atau 2 jam,” katanya.
 
Seperti diwartakan sebelumnya, tak lama setelah gempa yang berlangsung pukul 17.02, BMKG mengeluarkan peringatan dini tsunami pada pukul 17.07.  

Suasana kawasan masjid Baiturrahman yang diterjang tsunami di wilayah Talise, Palu Barat, Sulawesi Tengah, Minggu, 30 September 2018.
 
Kemudian, tsunami tiba di Teluk Palu pukul 17.22 dengan ketinggian sekitar 53 centimeter. Karena BMKG tidak memiliki monitoring tsunami di Teluk Palu, maka pihaknya mencari referensi untuk mengonfirmasi keadaan muka laut, yang terletak di Mamuju.  
 
“Ternyata di Mamuju pada pukul 17.27, mencatat ada tsunami setinggi 6 cm. Operator kita menilai tsunaminya cuma 6 cm, sehingga itu berarti tidak signifikan,” kata Daryono.  
 
Sampai pukul 17.36, BMKG masih terus memantau situasi. Sebelum akhirnya mengakhiri peringatan dini pada 17.37. Namun, tak disangka, usai mengakhiri peringatan dini itu, air bah dari samudera menerjang daratan dengan ketinggian 6 meter dan menyebabkan meninggalnya ratusan nyawa.  
 
Meski begitu, BMKG mengklaim pihaknya telah berhasil menjalankan kewajiban sebagaimana mestinya. “Tugas BMKG adalah memberi informasi, dalam konteks ini sudah berhasil. Kita disebut gagal apabila tidak mampu mengeluarkan peringatan dini tsunami,” kata Daryono.  
 
Daryono menegaskan, diakhirinya peringatan dini tsunami sekitar 30 menit pasca diumumkan, karena menilai gelombang tsunami yang menimpa daratan tidak signifikan. Tujuannya, agar bantuan dan suplai logistik bisa segera masuk ke Palu. Hal tersebut merupakan standar operasional prosedur yang harus dilakukan.
 
Pendeteksi Rusak

Jepang Cabut Peringatan Tsunami Imbas Gempa Taiwan


 
Wilayah kepulauan Indonesia, merupakan salah satu daerah paling aktif secara seismik di muka Bumi. Selain memiliki banyak gunung berapi, Nusantara juga terletak di tengah-tengah daerah Cincin Api Pasifik, jalur gempa Sabuk Alpide, serta beberapa lempeng tektonik.  
 
Daerah tersebut diklaim sebagai sabuk gempa bumi terbesar oleh US Geological Survey (USGS). Cincin Api Pasifik merupakan daerah yang memiliki banyak sesar atau zona rekahan. Zona tersebut kadang bergerak atau bergeser sehingga menimbulkan goncangan gempa.  
 
Di antara gempa yang terjadi, jika pusatnya berasal dari bawah laut, perlu diwaspadai menyebabkan tsunami. Karenanya, setiap kali BMKG mengumumkan aktivitas gempa yang telah terjadi, selalu disertai dengan keterangan status serta peringatan potensi tsunami.  
 
Dengan kondisi geografis yang rawan gempa, sudah selayaknya Indonesia menjadi negara yang adaptif terhadap fenomena alam tersebut. Ibarat sedia payung sebelum hujan, langkah antisipatif dapat dilakukan, dengan harapan tidak ada nyawa yang menjadi korban, dan meminimalisir kerugian materi.  
 
Untuk kejadian tsunami di Palu, Daryono sempat menyebut, Indonesia sebenarnya telah memiliki 133 alat pendeteksi tsunami. Namanya Tide Gauge. Perangkat ini merupakan alat untuk mendeteksi pasang surutnya air laut pasca terjadinya gempa bumi.  
 
Dengan Tide Gauge, perubahan permukaan ait laut dapat diketahui, baik secara mekanik maupun otomatis. Lokasi pemasangannya, paling ideal di dekat titik lempeng di tengah laut yang tenang. Namun, pada kenyataannya, sering dipasang di zona laut yang tidak dekat dengan titik lempeng, karena biaya pemasangan yang mahal.

Tim Basarnas evakuasi korban tsunami di Pantai Talise Palu Sulawesi Tengah
 
Menurut Daryono, total 133 tide gauge yang dimiliki Indonesia masih jauh dari memadai. Titik potensi tsunami di negeri khatulistiwa ini banyak yang belum dikawal tide gauge.
 
Untuk kasus gempa dan tsunami di Palu, BMKG mengakui alat pendeksi tsunami, tide gauge, di Palu sempat mati paska gempa 7,4 Skala Richter. Padahal beberapa jam sebelumnya alat ini masih berfungsi.
 
Data BMG, tide gauge yang terpasang di dekat Pelabuhan Pantoloan, Palu, masih menyala dan terekam pada pukul 15.45 WIB, Jumat 28 September 2018.
 
"Tapi sebelum kejadian itu (tsunami) kondisinya off kondisi tidak normal," ujar Supervisor BMKG, Rudi Teguh kepada VIVA di kantornya, Kemayoran, Jakarta Pusat, Senin, 1 Oktober 2018.
 
Kemudian, alat deteksi tsunami itu berfungsi kembali pada pukul 03.00 WIB, 29 September 2018. Dan data itu terekam kembali. Namun hingga kini data yang masuk masih tidak normal.
 
Rudi tidak mengetahui secara pasti apa penyebab matinya tide gauge ketika gempa mengguncang wilayah Sulawesi Tengah dan sekitarnya. Karena, yang lebih tahu dan berwenang Badan Informasi Geospasial (BIG). "Kita tidak ada konfirmasi dari sana," ujarnya.

Gempa Bumi Taiwan Picu Tsunami, Bagaimana Dampaknya ke Indonesia

Peta Indonesia. 
 

Selain Tide Gauge, ada pula perangkat Buoy. Kepanjangan dari Deep-Ocean Tsunami Detection Buoys. Perangkat ini juga digunakan untuk mendeteksi perubahan permukaan air laut.
 
Namun sayangnya, Menurut Kepala Pusat Data dan Informasi Badan Penanggulangan Nasional, Sutopo Purwo Nugroho, Buoy itu rusak karena vandalisme dan hilang dicuri.
 
Kondisi tersebut memperlemah mitigasi atau upaya preventif pemerintah mencegah munculnya korban jiwa saat gelombang tsunami menerjang daratan.
 
Padahal, kata dia, alat deteksi tsunami berteknologi tinggi seharusnya dipasang di sepanjang kawasan pesisir Indonesia yang rawan bencana.
 
"Buoy tsunami tidak ada lagi di Indonesia, padahal itu diperlukan untuk memastikan tsunami sebagai sistem peringatan dini," ujar Sutopo di Jakarta, Minggu, 30 September kemarin.
 
Indonesia tadinya memiliki 21 Buoy. Sebanyak 10 unit pendeteksi itu diberikan pemerintah Jerman, sepaket dengan German Indonesian Tsunami Early Warning System (GITEWS).
 
Merujuk Duta Besar Jerman untuk Indonesia pada 2014, Georg Wistchel, paket Buoy itu berharga sekitar Rp610 miliar.
 
Sementara itu, tiga buoy lainnya didapat Indonesia dari Amerika Serikat dalam sistem Deep Ocean Assessment and Reporting Tsunamis (DART).
 
Seluruh alat deteksi tsunami tersebut kini tak lagi berfungsi. Anggaran yang terbatas diklaim sebagai salah satu pemicu persoalan itu.
 
Namun Kepala Pusat Gempa dan Tsunami BMKG, Rahmat Triyono, menyebut buoy yang pernah terpasang di Indonesia tidak dikelola institusinya, melainkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
 
Rahmat berkata, ketiadaan buoy mengharuskan BMKG memprediksi potensi tsunami pasca gempa berdasarkan metode pemodelan. Artinya, perkiraan tsunami itu dihitung dalam perangkat lunak, berdasarkan pusat kedalaman dan magnitude gempa.
 
"Dulu skenarionya, data Buoy mendukung BMKG. Kalau data itu ada, maka level peringatan tsunami kami akan semakin tegas."
 
"Misalnya ada gempa di selatan Jawa. Sebelum tsunami sampai ke pantai, data gelombang akan tercatat di sensor Buoy yang dipasang di dasar laut," ujar Rahmat saat dihubungi via telepon.
 
"Bisa saja ternyata Buoy mencatat tsunami setinggi empat meter, sehingga akhirnya kami harus ubah peringatan yang tadinya prediksi tiga meter.
 
"Atau sebaliknya, kami dapat mengakhiri peringatan karena buoy tidak mencatat gelombang tsunami," kata Rahmat menambahkan.
 
Rahmat mengatakan, metode penghitungan potensi tsunami yang kini diterapkan BMKG tak selalu presisi. Ia mengklaim, membeli alat deteksi berteknologi terkini terhambat anggaran.
 
"Di tempat rawan tsunami, kejadian bencana berulang-ulang, tapi alat kami sangat kurang untuk memberikan peringatan."
 
Tambahan perangkat diakuinya berarti tambahan anggaran. Padahal dari 170 sensor gempa milik BMKG, anggaran pemeliharaan hanya ada untuk 70 sensor.
 
"Bagaimana alat bertambah, untuk mempertahankan yang sudah ada saja sudah sangat terbatas," tutur Rahmat.
 
Sebelumnya, BPPT menyebut gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah sepatutnya mendorong pemerintah berinvestasi teknologi agar risiko bencana dapat semakin berkurang.
 
"Selama ini kita melulu disibukkan upaya penanganan pasca gempa, sementara antisipasi masih sangat minim, bahkan belum menjadi fokus perhatian," kata Deputi Teknologi Pengembangan Sumberdaya Alam BPPT, Hammam Riza.
 
Dalam data BNPB hingga 30 September 2018, pukul 13.00 WIB, jumlah korban meninggal dunia bencana di Sulawesi Tengah berjumlah 832 orang. Sebanyak 821 korban ditemukan di Palu dan 11 berada di Donggala.
 
BNPB menduga jumlah itu akan terus bertambah seiring pencarian dan identifikasi korban yang masih terus berjalan.

Ilustrasi - Seismograf mencatat getaran gempa.

Gempa Magnitudo 6 Guncang Jepang, Tak Ada Peringatan Tsunami

Gempa bumi dengan kekuatan awal magnitudo 6,0, mengguncang timur laut Jepang, pada Kamis siang, 4 April 2024. Hal tersebut disampaikan oleh badan cuaca negara itu.

img_title
VIVA.co.id
4 April 2024