Baiq Nuril, Bela Diri Terancam Bui

Baiq Nuril, mantan pegawai honorer di Mataram, saat menceritakan kasus yang menimpanya.
Sumber :
  • VIVA/Satria Zulfikar

VIVA – “Kepada 
Bapak Jokowi
Jangan Suruh Ibu 
Saya Sekolah Lagi”

Soal Kasus Pencemaran Nama Baik yang Dilaporkan Pengelola ABC Ancol, Ini Kata Polisi

Tulisan itu digoreskan seorang bocah tujuh tahun dari Mataram, Nusa Tenggara Barat. Di atas selembar kertas dari buku tulis, anak Baiq Nuril Maknun tersebut ,menuliskan sepucuk surat untuk Presiden RI Joko Widodo. Dia meminta Jokowi membantunya, agar sang ibu tak “sekolah” lagi.

“Sekolah” yang dimaksud bukan sekolah sebenarnya, melainkan penjara. Anak Nuril tak mau ibunya masuk bui kembali. Nuril, mantan staf honorer SMAN 7 Mataram, sempat ditahan di lembaga pemasyarakatan (lapas) setempat pada akhir Maret 2017. Dia mendekam di balik jeruji besi selama lebih dari dua bulan. Namun, kemudian dia dilepaskan dan menjadi tahanan kota. 

Viral Video Dishub Ngotot Periksa Surat Kendaraan, Bagaimana Aturannya?

Nuril ditahan, lantaran terjerat kasus dugaan pelanggaran pasal 27 ayat 1 Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Ia disangka menyebarkan rekaman berisi percakapan mesum Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram saat itu berinisial M. 

Saat akan ditahan, Nuril mengatakan, dia pergi bersekolah kepada anaknya. Bahasa tersebut, kerap digunakan Nuril, saat masih bekerja di sekolah tersebut.

Viral Sopir Taksi Online Rekam Penumpang Wanita dan Disebar ke Grup WA: Buat Bahan

Kini, Nuril kembali terancam di penjara atas kasus yang sama. Dia pun menyebutkan akan bersekolah, alias mendekam di sel tahanan lagi kepada anaknya. "Saya bilang pada anak saya, kalau nanti ibu mau sekolah. Sekolah agak lama. Jangan nakal di rumah ya," ujar Nuril, Kamis 15 November 2018.

Surat dari anak Baiq Nuril, Rafi, kepada Presiden Jokowi.

Kasus yang membelit Nuril bermula pada 2014 lalu. Dia merasa jengah dengan sikap M yang kerap menggodanya. Menurut Nuril, M sering berbicara soal hubungan seks kepada dia. Tak tahan diperlakukan seperti itu, Nuril lantas merekam percakapan saat M menelepon dia dan bercerita pengalaman bercintanya.

Tindakan itu dilakukan Nuril, untuk mempertahankan diri dari pelecehan secara verbal tersebut. Juga, guna membuktikan bahwa dia tidak ada hubungan dengan M. Sebab, rekan-rekan di sekolah itu sempat menuduh Nuril memiliki hubungan mesra dengan M. 

Meski telah memiliki rekaman, Nuril tak melaporkan rekaman itu ke pihak berwenang. Dia hanya mengungkapkan soal rekaman tersebut kepada rekannya, Imam Mudawin. Namun, kemudian rekaman itu beredar di kalangan guru-guru hingga siswa di sekolah itu. 

Atas beredarnya rekaman itu, M kemudian melaporkan Nuril ke Polres Mataram dengan tuduhan melanggar Pasal 27 ayat (1) UU ITE tersebut. Tak hanya itu, Nuril juga dipecat secara halus dari sekolah tempatnya bekerja. Dalam Surat Keputusan (SK) honorer tidak ada lagi nama Baiq Nuril di sana.

Laporan polisi itu terus diproses hingga sampai ke pengadilan. Saat persidangan di Pengadilan Negeri Mataram, terungkap bahwa Nuril tidak pernah mendistribusikan atau mentransmisikan atau membuat dapat diaksesnya rekaman percakapan mesum tersebut.

Rekaman tersebut dikirim oleh rekan Nuril bernama Imam Mudawin tanpa sepengetahuan Nuril. Hal ini diperkuat dengan pengakuan Imam yang dihadirkan sebagai saksi meringankan bagi Nuril.

Guru honorer Baiq Nuril yang dikriminalisasi

Atas fakta persidangan tersebut, hakim ketua yang memimpin sidan, Albertus Usada memutus bebas ibu tiga anak ini. "Mengadili, menyatakan terdakwa Baiq Nuril Maknun tersebut di atas, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak  pidana sebagaimana didakwa penuntut umum," ujar Albertus membacakan putusan, Rabu silam, 26 Juli 2017.

Namun, jaksa penuntut umum tak terima dengan putusan itu. Jaksa lantas mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Hingga akhirnya, MA memutus Nuril bersalah melanggar Pasal 27 Ayat 1 UU ITE, karena dianggap menyebarkan informasi elektronik yang mengandung muatan asusila. Nuril dijatuhi hukuman enam bulan penjara dan denda Rp500 juta atau pidana tiga bulan apabila tidak membayar denda.

Nuril mendengar putusan kasasi itu pada 9 November 2018. Menyikapi putusan itu, berbagai upaya dilakukan Nuril. Di antaranya, dia berusaha bersurat kepada Presiden Jokowi untuk menolongnya bebas dari jeratan hukum. "Saya sudah mengirim surat pada Bapak Presiden. Semoga, saya enggak ditahan. Kasihan anak-anak saya, siapa lagi yang jaga mereka," ujarnya sembari menangis.

Wakil Ketua Paguyuban Korban Undang-undang ITE, Rudi Lombok akan mengirimkan surat tersebut kepada Jokowi, dalam waktu dekat. Dia berharap, Jokowi dapat membantu, agar Nuril dapat dibebaskan. "Suratnya telah kami terima dan segera akan kami kirim ke Istana," katanya.

Tak hanya itu. Tim kuasa hukum Nuril juga berencana mengajukan peninjauan kembali (PK) terhadap putusan MA tersebut. Saat ini, tim pengacara masih menanti salinan putusan MA. 

Menurut Yan Mangandar Putra, salah satu kuasa hukum Nuril, syarat PK tidak mesti ada bukti baru (novum). Kekeliruan hakim juga dapat menjadi alasan mengajukan upaya hukum luar biasa tersebut. "Tidak mesti ada novum. Kami mengupayakan PK, dengan alasan putusan hakim MA memperlihatkan kekhilafan atau kekeliruan yang  mencolok," katanya, Rabu 14 November 2018.

Berikutnya, respons kasus>>>

Respons kasus

Kasus yang menimpa Baiq Nuril ini mendapat respons dari sejumlah kalangan. Komisi Nasional Perempuan, misalnya. Ketua Komnas Perempuan, Azriana R Manalu menyesalkan putusan MA yang menyatakan Baiq Nuril bersalah, karena merekam perilaku mesum Kepala SMAN 7 Mataram saat itu. Komnas Perempuan menyebut putusan MA itu tidak sejalan dengan Peraturan MA Nomor 3 Tahun 2017.

Ketua Komnas Perempuan Azriana RM

Tindakan Nuril merekam percakapan itu, merupakan upaya untuk membuktikan kejadian pelecehan seksual yang dia alami. Tindakan itu juga untuk menunjukkan Nuril tidak memiliki hubungan khusus dengan pelaku.

"Pandangan Hakim Kasasi terhadap BN melanggar Pasal 27 ayat 1 UU ITE, di mana tindakan BN secara hukum dianggap memenuhi unsur sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, telah melanggar filosofi UU ITE," kata Azriana di Kantor LBH Pers, Kalibata, Jakarta Selatan, Jumat, 16 November 2018.

Ketua Fraksi Gerindra, DPR RI, Edhy Prabowo juga prihatin dengan kasus yang menimpa Baiq Nuril. Edhy mendesak MA, agar jernih memutuskan kasus ini. Sebab, dalam kasus ini, Baiq Nuril dianggapnya sebagai korban yang mesti dilindungi.  

"Kami mendesak kepada Mahkamah Agung, agar dapat menggunakan nurani dalam memutus kasus hukum. Bagaimana bisa seorang korban pelecehan yang seharusnya dilindungi, justru malah dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman," kata Edhy kepada wartawan, Jumat 16 November 2018.

Menurut dia, Nuril bukan hanya harus dibebaskan, tetapi juga diberi penghargaan. Sebab, berani melawan tindakan asusila yang dilakukan oleh mantan atasannya.

Fahri Hamzah

Sementara itu, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mempertanyakan MA yang menjatuhkan hukuman kepada Baiq Nuril, karena merekam perilaku mesum atasannya.

Fahri menilai, penegak hukum atau MA harus melihat sisi pelecehan seksual yang dilakukan oleh kepala sekolah itu lebih duu. Dia mengaku tak bisa memahami logika MA yang melewatkan sisi pelecehan tersebut.

Jika kepala sekolah itu terbukti melakukan pelecehan, maka delik kedua, yakni penyebaran percakapan mesum itu seharusnya batal. Hal itu sebagai rasa keadilan bagi masyarakat. “Kita tidak boleh membiarkan hukum ini lompat, sehingga yang kecil, yang tidak punya backing yang disalahkan. Padahal, dia adalah korban," kata Fahri di Jakarta, Kamis 15 November 2018.

Hingga Jumat sore, 16 November 2018, VIVA belum berhasil mendapatkan pernyataan dari MA terkait kasus ini. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya