Ketika E-Commerce Dipajaki

Ilustrasi e-commerce.
Sumber :
  • Entrepreneur

VIVA – Pemerintah meluncurkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik atau e-Commerce.

Migrasi TikTok Shop dan Tokopedia Dinilai Bikin E-Commerce Makin Dinamis, Ini Penjelasannya

Dalam PMK 210 tersebut Kementerian Keuangan mewajibkan penyedia platform marketplace memiliki identitas Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).

Namun, aturan yang akan berlaku pada 1 April 2019 itu tak mudah meluncur. Sebab, para pengelola marketplace merasa khawatir penerapan pajak ini akan membuat mitra penjualnya pindah ke media sosial yang lebih sulit diawasi.

Beda Penafsiran Permendag 31/2023 Jangan Bikin Rezeki UMKM Seret, Ini Penjelasannya

Dalam keterangannya, Kementerian Keuangan menjelaskan bahwa PMK 210 yang telah terbit tersebut penerapannya tidak mewajibkan para pedagang e-commerce untuk mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak.

Dengan demikian, NPWP wajib dimiliki oleh penyedia platform marketplace, yaitu pihak yang menyediakan sarana yang berfungsi sebagai pasar elektronik, di mana pedagang dan penyedia jasa pengguna platform dapat menawarkan barang dan jasa kepada calon pembeli.

Migrasi TikTok Shop ke Tokopedia Dikawal Ketat Kemendag, Ekonom: Dorong Digitalisasi UMKM

Kartu NPWP

Adapun penyedia platform marketplace yang dikenal di Indonesia antara lain Blibli, Bukalapak, Elevenia, Lazada, Shopee, dan Tokopedia. Selain itu, pelaku over-the-top atau OTT di bidang transportasi juga tergolong sebagai pihak penyedia platform marketplace.

Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan, Nufransa Wira Sakti, mengatakan, penegasan objek pajak disepakati setelah Kementerian Keuangan melakukan pertemuan dengan Indonesian E-commerce Association atau idEA, lantaran banyaknya kesalahan interpretasi terkait peraturan tersebut.

"Pertemuan itu menyepakati semangat utama dan substansi bahwa pedagang atau merchant tidak diwajibkan untuk ber-NPWP saat mendaftarkan diri di platform marketplace," kata Nufransa seperti dikutip dari keterangan resminya, Selasa 15 Januari 2019.

Dia menjabarkan, sebagaimana yang dijelaskan dalam PMK 210 itu, bagi merchant yang belum memiliki NPWP, dapat memilih untuk mendaftarkan diri demi memperoleh NPWP, atau memberitahukan Nomor Induk Kependudukan (NIK) kepada penyedia platform marketplace

"Bagi yang belum memiliki NPWP, dapat memberitahukan NIK kepada penyedia platform marketplace. NIK dimiliki oleh seluruh penduduk," tutur Nufransa.

Petakan Basis Data

Selain tak mewajibkan pedagang atau merchant memiliki NPWP, Kementerian Keuangan menerapkan PMK 210 adalah untuk menjangkau lebih banyak informasi membangun ekosistem dan database e-commerce yang komprehensif

Hal itu juga membantah isu bahwa peluncuran PMK 210 dilakukan untuk mengejar penerimaan pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 yang naik sebesar 15 persen dari tahun lalu yaitu sebesar Rp1.786,4 triliun.

Nufransa mengungkapkan, dibanding untuk mengejar target penerimaan pajak, Kementerian Keuangan cenderung lebih menitikberatkan penerbitan PMK 210 itu untuk menciptakan basis data e-commerce.

Data tersebut, lanjut dia, nantinya akan dianalisis untuk melihat perkembangan e-commerce di Indonesia sebagai dasar penentuan kebijakan pengembangan bisnis e-commerce di masa yang akan datang.

"Karena itu, aturan operasional dari PMK tersebut akan memastikan perlindungan terhadap UKM mikro dan kelompok masyarakat yang baru memulai bisnis e-commerce. Detail teknis perlindungan ini akan didiskusikan lebih lanjut dengan pelaku usaha," ujar Nufransa.

Ilustrasi e-commerce.

Di samping itu, lanjut Nufransa, dengan adanya pengaturan dan kepastian hukum yang lebih jelas dalam menjamin perlindungan konsumen melalui PMK 210, diharapkan konsumen beralih ke platform e-commerce ketimbang media sosial. 

"Melalui data penjual yang teridentifikasi, pembeli akan mendapatkan jaminan ketersediaan dan kesesuaian barang yang dipesan oleh pembeli. Peraturan ini, juga terdapat persamaan perlakuan pengusaha konvensional dan pengusaha yang memasarkan barang ataupun jasanya melalui e-commerce," ungkap dia.

Dari aspek kepabeanan, lanjut dia, PMK 210 memperkenalkan skema Delivery Duty Paid untuk impor barang kiriman dalam rangka memberikan kepastian dan transparansi proses impor barang kiriman dengan pemenuhan kewajiban perpajakan melalui fasilitas penyedia platform marketplace domestik. 

"Melalui skema ini, pembeli akan mendapatkan kepastian harga dan pedagang akan mendapatkan kemudahan dalam proses impor barangnya. Mekanisme baru kepabeanan ini sedang dalam tahap uji coba oleh beberapa pelaku usaha marketplace bersama DJBC (Direktorat Jenderal Bea dan Cukai)," kata dia.

Sempat Merasa Terancam

Sebelumnya, penerapan PMK 210 sempat mendapat tanggapan dari Asosiasi E-Commerce Indonesia atau idEA. Asosiasi mengimbau pemerintah untuk melakukan pendekatan kepada pelaku e-commerce sebelum aturan diterapkan.

Tanggapan tersebut, diberikan oleh idEA lantaran belum mengetahui secara menyeluruh isi dari PMK 210. Dan akibat hal itu, idEA merasa aturan itu dapat mengancam para pelapak atau pedagang e-commerce.

Ketua Umum idEA, Ignatius Untung, sebelumnya mengatakan, harus ada cara lain supaya seller atau pelapak bisa mengikuti aturan tersebut secara sadar dan tidak karena paksaan.

Menurutnya, berkaitan dengan PMK 210, para pelapak atau pedagang juga diharuskan menyetorkan NPWP. Hal ini, di mata Ignatius, memberikan semacam pendekatan yang lebih baik ketimbang memaksakan mereka memiliki NPWP.

Asosiasi E-Commerce Indonesia atau idEA, dikepalai Ignatius Untung (kiri).

Ignatius juga mengaku pasrah jika pemerintah akhirnya memberlakukan peraturan sesuai dengan rencana. Namun, ia mengingatkan ada ancaman serius dari pelaku industri.

"Mereka akan berguguran dan gulung tikar jika ini dilakukan. Pengusaha, kan, enggak bisa apa-apa. Karena tidak ada pilihan, ya, dijalanin. Tapi, ya, itu konsekuensinya. Ini bukan ancaman tapi faktanya ke sana," ujar Ignatius.
 
Tak hanya itu, Ignatius menyampaikan jika PMK ini tetap dijalankan, dikhawatirkan akan terjadi migrasi para pedagang. Artinya, pindah dari marketplace ke media sosial. 

"Para pemain e-commerce bakal lari ke medsos dan chat yang masih rentan terhadap perlindungan data konsumen," ungkap dia.

Tunda Pelaksanaan

Sementara itu, Ketua Bidang Ekonomi Digital idEA, Bima Laga mengungkapkan, pelaksanaan PMK 210 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik atau e-Commerce ditunda pelaksanaannya, yang direncanakan pada 1 April 2019.

Menurut dia, penerapan aturan tersebut sangat mendadak dilakukan sehingga baiknya ditunda pelaksanaannya sampai tahap edukasi dan sosialisasi dari seluruh anggota idEA selesai dilakukan.

Tak hanya itu, Bima mengakui, mekanisme pendaftaran NPWP dan mewajibkan pajak juga belum jelas sampai sekarang. Bahkan, akan ada peraturan turunan dari Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu yang bersangkutan mengenai hal tersebut.

Selain itu, idEA mendukung langkah pemerintah menerapkan aturan wajib pajak bagi artis media sosial atau selebgram, ketimbang untuk pedagang atau pelapak di platform marketplace dan e-commerce.

"Karena, kalau kita bicara kategori selebgram, rata-rata penghasilannya sudah bagus. Jadi, kalau mau diterapkan, ya, bisa-bisa aja," kata Ignatius di Jakarta, Senin, 14 Januari 2019.

Selebgram Awkarin endorse pembesar payudara

Kementerian Keuangan memang direncanakan juga akan menyasar wajib pajak dengan profesi selebgram. Upaya ini menyusul akan dijalankannya peraturan bagi platform marketplace dan e-commerce.

Ignatius menuturkan, jumlah selebgram di Indonesia tidak sebanyak pelapak yang berjualan di dunia maya. Ia telah menghitung kemungkinan pedagang yang ada khusus untuk marketplace sekitar 7-8 juta orang.

"Jika penerapan pajak untuk selebgram dibarengi dengan PMK 210, kami tidak mempermasalahkan. Tapi, yang kami inginkan PMK 210 jangan diberlakukan tanggal 1 April 2019 seperti keinginan pemerintah," tuturnya.

Alasannya, karena idEA harus melakukan edukasi dan sosialisasi terlebih dahulu. Ia menginginkan PMK 210 bisa berjalan paling cepat pada 2020. (art)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya