Demam Berdarah Hantui Kita

Petugas saat melakukan pengasapan (fogging) di Surabaya, Jatim untuk cegah DBD
Sumber :
  • ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat

VIVA – Demam Berdarah menjadi salah satu penyakit yang mewabah di musim penghujan. Biasa disebut Demam Berdarah Dengue atau DBD, penyakit ini disebabkan oleh gigitan nyamuk.

Mendadak Demam Tinggi, Anak Inul Daratista Dilarikan ke Rumah Sakit

Gejalanya sangat khas, yaitu suhu tubuh tinggi atau panas sekaligus nyeri sendi, sakit kepala, otot, tulang, dan sakit area belakang mata. Komplikasi dari demam dengue (dengue fever) ini bisa memburuk, jika tak segera ditangani, bahkan bisa menyebabkan kematian. 

Virus dengue menyerang seseorang melalui perantara nyamuk Aedes eegypti dan Aedes albopictus. Ciri-ciri nyamuk yang menyebarkan virus dengue ini adalah berwarna hitam, dengan belang-belang putih di tubuhnya.

Jangan Abai, Pakai Baju Warna Ini Rentan Digigit Nyamuk DBD

Kedua jenis serangga ini banyak ditemui dan berkembang biak di wilayah iklim tropis, termasuk Indonesia, dan negara-negara Afrika. Setiap musim penghujan tiba, kasus demam berdarah mengalami peningkatan di berbagai wilayah. Meski upaya pencegahan sudah dilakukan, namun kasus demam berdarah masih terus terjadi.

Gigitan nyamuk.

Awas! Wabah DBD Saat Omicron Meningkat, Segera Lakukan 6 Hal Ini

Indonesia sendiri, menjadi salah satu negara dengan angka penderita tertinggi. Jadi, penyakit tahunan. DBD yang terjadi di Indonesia, ternyata cukup fluktuatif. Pada 2013, jumlah kasus mencapai 112.511 orang dan sebanyak 871 orang meninggal pada waktu itu.

Kemudian, angkanya melonjak drastis pada 2018, puncak kasus demam berdarah mencapai 204 ribu. Karenanya, Indonesia ditetapkan sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi kedua setelah Brasil.

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, per 31 Januari 2019, jumlah kasus sesuai laporan dari 34 provinsi, tercatat ada 15.132 kasus DBD dan dilaporkan 145 orang meninggal dunia.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kemenkes, dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid, mengatakan bahwa peningkatan kasus demam berdarah yang cepat disebabkan faktor nyamuk. Aedes aegypti yang membawa virus dengue, memiliki sifat yang bisa bertahan tanpa air hingga enam bulan.

Itu sebabnya, meski kemarau, telur yang tidak menetas akan mengering dan saat musim hujan tiba, terkena air sedikit saja telur itu bisa menetas. Apalagi, nyamuk ini memiliki siklus hidup yang cepat. Dalam sehari, aedes aegypti bisa bertelur sebanyak 30-150 telur. Dalam 14-28 hari, telur sudah berubah menjadi larva, pupa, kemudian nyamuk dewasa.

Tak hanya itu, nyamuk ini suka menggigit pada waktu pagi dan siang, ia juga punya kemampuan terbang hingga 100 meter (jarak yang cukup jauh bagi nyamuk dengan ukuran kecil).

Berikutnya, pasien kurang pasokan darah

Pasien kurang pasokan darah hingga tidur di lorong

Penyebaran wabah DBD tak cuma di Jakarta, namun dilaporkan terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, drg. Widyawati MKM, mengatakan bahwa beberapa provinsi yang mempunyai tren kasus yang cukup tinggi adalah Jawa Timur, Jawa barat, Jawa tengah Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Lampung, dan DKI Jakarta. 

Sementara itu, empat daerah di antaranya Kabupaten Kupang, Kabupaten Manggarai Barat, Kabupaten Ponorogo, dan Provinsi Sulawesi Utara telah menetapkan Kejadian Luar Biasa (KLB) Demam Berdarah (DB).

Di Ponorogo Pacitan Jawa Timur, tepatnya di Rumah Sakit Dr. Harjono, belasan pasien terpaksa dirawat di lorong rumah sakit. Beberapa di antaranya, hanya bisa menunggu di kursi roda yang disediakan pihak RS. Hal itu terjadi, karena ruang rawat inap hingga Instalasi Gawat Darurat (IGD) telah penuh oleh pasien DBD. 

Direktur RSUD Dr Harjono Ponorogo, dr. Made Jeren menyebut bahwa sejak Januari 2019, pasien DBD yang dirawat berjumlah 300 pasien yang pernah dirawat dan didominasi anak-anak. Selain itu, ada tujuh korban meninggal dunia. 

Petugas Palang Merah Indonesia (PMI) memeriksa kantong darah di laboratorium Kantor PMI Kota Bandung, Jawa Barat

Membludaknya pasien DBD di RS tersebut, akibat banyaknya pasien rujukan, dari wilayah Ponorogo bagian Selatan dan Kota. Di Jawa Timur, diketahui ada 17 Kecamatan yang dinyatakan pemerintah sebagai daerah endemi DBD.

"Sejak seminggu terakhir, kami menerima pasien DB. Kalau yang di ruangan sudah diperbolehkan keluar, kami bawa yang di lorong untuk masuk ruang kamar. Jadi, bergantian terus tidak ada yang kosong kamarnya," ujar Made kepada tvOne, Kamis 31 Januari 2019.

Meski berada di lorong, Made mengatakan bahwa pihaknya bakal tetap melakukan pelayanan sebaik mungkin. Terutama, nasib para pasien supaya tercukupi kebutuhannya.

Tak hanya berjubel di lorong, pasien DBD juga menghadapi sulitnya mendapatkan pasokan darah. Di Mojokerto Jawa Tengah, permintaan sel darah Trombosit di Unit Donor Darah Palang Merah Indonesia Kota Mojokerto, naik hingga dua kali lipat pada awal tahun ini. Hal itu terjadi, karena meningkatnya pasien Demam Berdarah Dengue atau DBD di daerah tersebut. 

Dikutip dari laporan tvOne, Rabu 30 Januari 2019, Staf Pelayanan Medis PMI Kota Mojokerto, Yanuar mengungkapkan, pada Januari ini permintaan Trombosit naik dari sebelumnya 250 kantong menjadi 500 kantong darah Trombosit. 

Untuk mengantisipasi lonjakan permintaan itu, Yanuar mengatakan, pihaknya menggandeng pendonor darah dari berbagai instansi pemerintahan maupun swasta untuk mencukupi kebutuhan tersebut.

Berdasarkan data PMI Kota Mojokerto, permintaan Trombosit sudah naik sejak November hingga Desember 2018. Pada periode tersebut, permintaan naik dari 207 kantong menjadi 327 kantong darah. 

Selanjutnya, pemerintah belum tetapkan darurat DBD

Pemerintah belum tetapkan darurat DBD

Meski terbilang tinggi di tahun ini, namun kasus demam berdarah ini belum dikategorikan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB).

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kemenkes, dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid, mengatakan bahwa angka ini masih lebih rendah dibandingkan dengan kasus di tahun lalu, 2018.

"Kota atau kabupatennya berpindah-pindah, jumlahnya merupakan kontribusi lebih dari satu provinsi," ujar Nadia, saat temu media di Gedung Kementerian Kesehatan, Jakarta, Rabu 30 Januari 2019.

Sementara itu, ia menjelaskan sebuah penyakit bisa ditetapkan menjadi wabah, jika peningkatan jumlah penyakitnya dalam satu kurun waktu melonjak drastis. Misalnya, hari ini 100 orang, besok 100 ribu, dan besoknya bisa mencapai satu juta penderita.

Kemenkes

Penetapan sebuah penyakit disebut wabah nasional diputuskan oleh Menteri Kesehatan yang apabila mengganggu keamanan dan ekonomi, bahkan hingga mencemaskan masyarakat.

“Kalau wabah itu mengganggu keamanan, ekonomi, membuat kecemasan masyarakat ada faktor di luar peningkatan kasus,” ujarnya.

Sedangkan penetapan KLB, juga ditetapkan apabila mengganggu keamanan dan menimbulkan kecemasan. Namun, ditetapkannya bertingkat, mulai dari kota, provinsi baru kemudian bisa ditetapkan di tingkat nasional.

“Kalau meluas hingga satu provinsi makin banyak baru gubernur berhak menentukan KlB provinsi, kalau seluruh provinsi terkena makin banyak nanti baru ditetapkan KLB nasional sebelum ke wabah.”

Namun, pemerintah berusaha untuk tidak menetapkan sebagai KLB nasional ataupun menjadi wabah, karena dapat menimbulkan travel warning atau larangan berpergian dari negara lain.

“Karena, enggak mudah menyatakan wabah dan KLB. Konsuekensinya pada global kan, travel warning kan kita merasa masih bisa kendalikan, sebelum menjadi wabah kalau terjadi peningkatan kasus.”

Berikutnya, Fogging bukan solusi utama, pemerintah sarankan Jumantik

Fogging bukan solusi utama, pemerintah sarankan Jumantik

Mengatasi DBD, imbauan yang sering digaungkan, tentunya menghilangkan atau membersihkan benda-benda yang berpotensi menampung air, menabur bubuk abate, hingga fogging. Namun, dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid mengatakan bahwa hal itu bukan solusi utama.

"Selain kebersihan lingkungan, upaya pencegahan lain yang efektif adalah menyemprot menggunakan obat serangga, menggunakan losion anti nyamuk, atau memakai kelambu. Tetapi, perlu diingat bahwa fogging hanya membasmi nyamuk dewasa sementara jentik nyamuk masih bisa tumbuh," ujarnya.

Walaupun bisa mengurangi populasi nyamuk dewasa, tapi upaya fogging terbatas karena fogging termasuk insektisida yang digunakan pada kadar tertentu atau tidak digunakan berlebihan.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan RI, drg. Oscar Primadi, MPH, menyarankan masyarakat untuk kembali menerapkan program Juru Pemantau Jentik (Jumantik). Menurutnya, hal itu cukup efektif dilakukan.

Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, drg. Oscar Primadi

“Jumantik itu merupakan upaya gerakan yang sangat efektif. Setiap rumah itu ada satu juru pemantau jentik. Kemudian, satu rumah itu harus ada agent of change untuk mengubah perilaku, lalu terapkan gerakan Mengubur, Menguras, Menutup, dan Melipat baju-baju yang digantung (sarang nyamuk) atau 3M+,” kata Oscar lewat siaran pers yang diterima VIVA, Rabu 30 Januari 2019.

Selain bertugas memantau jentik nyamuk yang ada di sekeliling tempat tinggal, tugas Jumantik lainnya adalah melakukan 3M+, dan Pemberantas Sarang Nyamuk (PSN) dengan cara menutup semua tampungan air atau sumber air, menguras bak mandi, dan mendaur ulang barang bekas.

Oscar melanjutkan bahwa Jumantik juga bertindak sebagai agen perubahan dalam hal perilaku hidup bersih dan sehat, sehingga ada pelopor untuk mencontohkan dan mengingatkan upaya-upaya pencegahan DBD.

“Apapun bisa dilakukan masyarakat untuk membunuh nyamuk dan mematikan lingkungannya. Untuk memutus mata rantai jentik, menguras, mengubur, kemudian menanam atau mengoleskan serai. Itu langkah yang bagus untuk menghindarkan diri dari gigitan nyamuk,” ujar Oscar.

Petugas melakukan fogging atau pengasapan di kawasan Duren Tiga, Pancoran, Jakarta

Ia juga mengingatkan bahwa DBD tidak hanya menyerang pada musim hujan, pada musim kemarau pun potensi seseorang terserang DBD masih ada, belum lagi Indonesia adalah negara endemis DBD. Hal itu bisa terjadi, ketika seseorang tidak melakukan perilaku hidup sehat, seperti jarang bersih-bersih dan terbiasa menggantungkan pakaian bekas pakai.

“Kalau sudah sampai pada tahapan KLB, tahapan di mana terjadi banyaknya kasus DBD itu bukan persoalan mudah, karena banyak upaya yang harus dilakukan mulai dari pemberantasan sarang nyamuk, pengobatan pasien, hingga sosialisasi pencegahan DBD,” kata Oscar.

DBD memang sangat mengkhawatirkan, namun menjaga lingkungan dan melakukan berbagai upaya pencegahan yang dimulai dari diri sendiri dan keluarga bisa jadi cara jitu pertolongan pertama DBD. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya