Setelah RUU Permusikan Dibatalkan

Komunitas musisi jalanan melakukan aksi unjuk rasa menolak RUU Permusikan di Tepas Lawang Salapan, Kota Bogor, Jawa Barat
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Arif Firmansyah

VIVA – Gaduh Rancangan Undang-undang (RUU) Permusikan dalam beberapa pekan ini berakhir di atas meja Potlot pada Kamis, 14 Februari 2019. Kelompok pro dan kontra isu ini sepakat untuk membatalkan RUU Permusikan tersebut.

Kisah Spiritual 6 Artis Indonesia yang Memutuskan Mualaf, Dian Sastro Usai Bom Bali

Pertemuan yang dinamakan Konferensi Meja Potlot itu merupakan gagasan Slank dan manajemen yang mempertemukan inisiator RUU, Anang Hermansyah, anggota DPR RI Fraksi PAN Komisi X; Glenn Fredly yang mewakili Kami Musik Indonesia (KAMI), sebuah gerakan yang menjadi penghubung dengan perwakilan stakeholder ekosistem musik untuk Rapat Dengar Pendapat Umum dengan DPR RI; serta Koalisi Nasional Tolak (KNTL) RUU Permusikan.

Dari KNTL, tampak hadir antara lain Edy Khemod, Endah Widiastuti, Ricky Siahaan, Ramondo Gascaro, Wendi Putranto, Che Cupumanik, Nadia Yustina, M. Asranur hingga Soleh Solihun. Personel Slank sendiri yang hadir yakni, Bimbim, Ridho Hafiedz, Ivanka, Kaka, dan manajernya Denny BDN. Hanya Abdee, sang gitaris, yang tak tampak di sana.

Kelompok Musik Anak-Anak The Minions Gelar Konser Amal Peduli Pendidikan di Lombok Utara

Dikutip dari situs resmi tolakruupermusikan.com, berikut tiga poin yang disepakati dalam Konferensi Meja Potlot tersebut.

1. Mendesak DPR agar dengan segera melakukan pembatalan RUU Permusikan beserta seluruh proses yang tengah dijalankan di parlemen pada saat ini, sembari menunggu dilaksanakannya Musyawarah Musik Indonesia.

The Sounds Project 7: Siap Hadirkan Kembali Keajaiban Musik Dengan 45 Lineup Pertama!

2. Menggelar Musyawarah Musik Indonesia yang dihadiri para pemangku kepentingan dari Sabang sampai Merauke dengan agenda utama di antaranya menyerap aspirasi sekaligus menyepakati atau tidak menyepakati dibentuknya aturan tertulis yang akan mengatur tata kelola industri musik Indonesia.

3. Melakukan pemetaan ulang permasalahan yang sedang terjadi saat ini di industri musik Indonesia sebagai salah satu cara untuk mencari solusi terbaiknya.

“Saya menangkap aspirasi dari teman-teman musisi terkait dengan RUU Permusikan ini untuk tidak dilanjutkan proses pembahasannya. Sebagai wakil rakyat, aspirasi ini tentu akan saya bawa ke Parlemen,” kata Anang Hermansyah terkait pembatalan ini.

Mengapa menolak, bukan merevisi?

Dalam wawancara Anji di saluran YouTube-nya, dunia MANJI, yang dirilis pada 14 Februari 2019, Arian dan Marcell Siahaan yang mewakili KNTL RUU ini menjelaskan alasan penolakan mereka. 

"Yang menarik adalah ketika kita bilang tolak dan revisi, itu dua definisi yang nanti ujungnya berbeda," ujar Marcell dalam video tersebut.

Dia menjelaskan, revisi dan tolak di ranah hukum bisa punya definisi yang berbeda. Menurutnya, dari sisi hukum sebuah rancangan undang-undang itu harus didasarkan pada naskah akademik. Pasal 5 dalam Undang-undang nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menjadi dasar bagaimana undang-undang seharusnya dibentuk. 

"Di pasal 5 dikasih tahu bahwa setiap peraturan perundangan yang mau dibuat itu harus mengandung tujuan yang jelas, pejabat yang berwenang siapa, harus berdaya guna, mengacu pada kebutuhan yang ada di masyarakat, dan aspek keterbukaan," Marcell menjelaskan.

Sementara RUU Permusikan ini memiliki naskah akademik yang tidak berasal dari sumber yang kredibel, yakni dari tugas siswa SMK di blognya. Tanpa mendiskreditkan karya tersebut, namun untuk dijadikan sebagai naskah akademik rujukan RUU ini, dianggap tidak kredibel.

"Itu banyak hal yang tidak terpenuhi. Tanpa harus membedah pasal per pasal pun itu sudah menjadi syarat untuk kita tolak, bukan lagi revisi," katanya.

RUU Permusikan memang memiliki banyak pasal cacat, seperti dianggap bisa mengekang kebebasan berekspresi, kewajiban sertifikasi, kompetensi, dan berbagai masalah lainnya. KNTL menemukan, dari 54 pasal yang ada, ternyata 50 pasal bermasalah. 

"Ini kalau direvisi, sama aja bikin baru. Jadi lebih baik kita tolak, kita batalkan RUU ini. Kalau memang ada kebutuhannya, kita bikin lagi, kumpul bareng enggak hanya musisi tapi praktisi-praktisi musik dari Sabang sampai Merauke," Arian menjelaskan.

Tompi, musisi yang juga ikut hadir ke DPR bersama KAMI dalam rangka mengawal RUU Permusikan pada Senin, 28 Januari 2019 lalu pun setuju bahwa naskah akademik yang menjadi rujukan, tidak bisa jadi landasan RUU. Tompi (juga Glenn Fredly) sepakat untuk membatalkan RUU kontroversial ini.

"Ya, karena masih banyak yang harus dibenerin, emang harus bikin baru. Ternyata dari naskah akademiknya masih ngaco, dari tim-tim yang terlibatnya aja ngaco, jadi memang saya rasa harus diulang dari awal," ujar Tompi saat dihubungi VIVA, 20 Februari 2019.

“Saya pribadi setuju untuk memohon mendrop semua proses RUU Permusikan inisiatif DPR ini, agar kita semua bisa mulai lagi dari awal dengan melibatkan semua komponen ekosistem musik dan bermusyawarah mencari bentuk kebijakan apa yang terbaik bagi kepentingan industri musik maupun non industri musik Indonesia nantinya,” ujar Glenn Fredly mewakili Kami Musik Indonesia, dalam siaran pers KNTL RUU Permusikan.

Apa Selanjutnya?

Saat berbincang dengan Tompi, musisi ini juga mengutarakan harapannya agar hak-hak para musisi tak berhenti diperjuangkan, usai RUU Permusikan ini dibatalkan. Banyak masalah-masalah penting yang harus diselesaikan segera.

"Sekarang dibatalin, tapi prosesnya akan dilanjutin lagi. Maksudnya bukan dibatalin terus dilupain, jadi harus dibangun ulang. Kita perlu Undang-undang untuk mengatur bagaimana royalti, nah nanti kan akan merembet ke perpajakan dan itu penting banget," tuturnya.

Pengamat musik Bens Leo pun setuju, meski masih merasa istilah dibatalkan tidak tepat untuk menggambarkan situasi ini. Menurutnya, RUU ini akan lanjut suatu saat nanti. Yang pasti, Bens tetap merasa RUU ini penting untuk melengkapi undang-undang lainnya.

"Tetap penting untuk melengkapi UU hak cipta, UU penguatan kebudayaan tahun 2012, dan UU tentang cetak rekamnya. UU hak cipta enggak cukup dengan itu aja karena ini urusan musik, agak beda, kan," ujar Bens kepada VIVA, Rabu, 20 Februari 2019. 

Dalam poin kedua kesepakatan Konferensi Meja Potlot, semua pihak sepakat untuk menggelar Musyawarah Musik Indonesia yang akan dihadiri semua pemangku kepentingan. Agendanya bukan hanya menyerap aspirasi semua pihak, tetapi juga untuk mencari kata sepakat perlu atau tidaknya dibentuk aturan tertulis yang akan mengatur tata kelola industri musik Indonesia, tidak harus undang-undang.

Menurut Marcell, semua pihak harus mau membuka kemungkinan bahwa ujungnya tidak harus dibuatkan undang-undang. Arian menambahkan, semua pihak harus menyadari juga bahwa sudah ada sejumlah peraturan yang memayungi keinginan para praktisi musik dan bisa mengacu pada peraturan-peraturan tersebut.

"Kalau memang hasil diskusi-diskusi ini ternyata enggak harus bikin undang-undang, itu harus dibuka kemungkinanan ke sana. Kalau ternyata enggak butuh undang-undang, ya udah," kata Marcell. 

Namun tentu saja, perjuangan tidak berhenti di sana. Undang-undang atau peraturan-peraturan yang sudah ada bisa diteliti lagi untuk kemudian direvisi dan disempurnakan. Misalnya, jika sudah ada Undang-undang yang mengatur tentang suatu hal, tetapi masih ada kekurangan, bisa didesak untuk dibuatkan peraturan pemerintah.

"Misalnya, kayak upah minimum musisi itu sudah ada di tenaga kerja. Kita gas ke situ, enggak perlu bikin undang-undang. Minta venue, udah ada di (UU) Pemajuan Kebudayaan pasal 44. Memang luas, tapi gimana caranya kita minta dibuatkan peraturan pelaksana, peraturan pemerintah yang lebih dasar lagi, turunannya mungkin ke daerah-daerah, pemda," jelas Arian dan Marcell.

KNTL pun sepakat untuk duduk bersama lagi oleh semua elemen yang terlibat dalam ekosistem musik ini. Tidak hanya musisi-musisi populer, tapi juga tradisional, jalanan, promotor, dan banyak lagi. Prosesnya pun tidak boleh buru-buru dan harus mendalam.

Masih dalam siaran pers hasil Konferensi Meja Potlot, Anang Hermansyah mengatakan akan mengajukan surat penarikan usulan RUU ini ke pimpinan DPR agar bisa diproses. Dia juga akan melakukan audiensi ke pimpinan DPR bersama ekosistem musik terkait masalah ini. Terkait Musyawarah Musik Indonesia, Anang pun akan meminta DPR untuk memfasilitasinya.

“DPR bersama pemerintah dapat memfasilitasi musyawarah ekosistem musik ini. Langkah ini sebagai bentuk respons atas aspirasi yang berkembang di ekosistem musik Indonesia,” kata Anang.

Bens Leo pun mengingatkan agar ke depannya, peraturan-peraturan yang dibuat tidak mengurusi hal-hal yang sifatnya teknis saja, seperti teknis pencipta lagu. Fokus aturan itu sebaiknya pada hal-hal nonteknis, seperti pelanggaran hak cipta yang tidak terakomodasi secara jelas dalam undang-undang. Semua komponen pekerja musik pun harus terlibat, termasuk indie, pop, tradisional, dan lainnya.

"Saya berharap ini enggak sampai periode DPR tahun 2019-2024, mudah-mudahan ini bisa dibahas. Dan saya berdoa sekali di DPR 2019 mendatang banyak musisi yang concern terhadap musik Indonesia seperti halnya perjuangan Anang," ujar mengakhiri wawancara. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya