Hoax Kini Dianggap Teror

Ilustrasi/Kabar hoax
Sumber :
  • PeopleOnline

VIVA - Peredaran berita hoax atau kabar bohong makin meresahkan masyarakat di tanah air. Apalagi ditambah dengan situasi pemilu seperti sekarang ini.

Raffi Ahmad Geram Dituduh Lakukan Pencucian Uang, Begini Responnya

Masih jelas diingatan publik saat aktivis perempuan, Ratna Sarumpaet, mengaku dipukuli, dan dianaiaya orang di Bandung. Berita itu sukses membuat heboh masyarakat. Padahal saat itu, seluruh anak bangsa tengah mengalami duka yang mendalam akibat bencana gempa bumi dan tanah longsor di Palu.

Tapi, ternyata, berita bohong tidak berhenti di kasus Ratna (yang kini sudah bergulir di pengadilan). Seiring berjalannya waktu, mendekati hari H pemungutan suara, muncul kabar-kabar bohong yang lain misalnya adanya tujuh kontainer surat suara yang sudah dicoblos di Tanjung Priok.

Tanggapi Berita Hoax, Depe: Setiap yang Viral, di Situ Ada Dewi Perssik!

Kasus itu juga tidak kalah hebohnya. Ketua dan para komisioner Komisi Pemilihan Umum sampai melaporkan kasus itu ke Bareskrim Polri. Belakangan, polisi sudah menetapkan tersangka dalam perkara tersebut.

Dalam situasi pemilu seperti saat ini, masalah berita bohong jelas merugikan tidak hanya para kontestan tetapi secara luas, seluruh rakyat Indonesia. Dikhawatirkan, maraknya berita tidak jelas, fitnah itu bisa mengganggu stabilitas keamanan nasional.

Dikabarkan Meninggal Dunia, Gilang Dirga Tak Marah, Kenapa?

Melihat kondisi tersebut, pemerintah tidak tinggal diam. Terbaru, melalui Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto, mereka memberikan 'definisi' baru terhadap berita hoax.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto (tengah)

Menurut mantan Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia itu, hoax adalah teror, karena sudah meneror psikologi masyarakat. Oleh karena itu, harus dihadapi sebagai ancaman teror.

"Segera kita atasi dengan cara-cara tegas, tapi bertumpu kepada hukum," kata Wiranto dalam konferensi video dengan aparat keamanan dan pertahanan seluruh Indonesia di Kemenko Polhukam, Jakarta, Rabu, 20 Maret 2019.

Wiranto menilai hoax sendiri terbilang ancaman yang baru muncul di sejumlah pemilu terakhir. Sebab, pada pemilu-pemilu sebelumnya justru tidak ada. Dia menegaskan bahwa ancaman itu berbahaya karena bisa lebih mudah mengubah sikap masyarakat semata-mata untuk kepentingan politik.

"Kita tahu bahwa saat ini, cukup marak hoax. Kita menghadapi ancaman baru yang pada pemilu-pemilu lalu tidak ada," tutur Wiranto.

Macam-macam Tangkap

Lebih lanjut, Wiranto meminta seluruh jajaran keamanan untuk tak ragu-ragu menindak setiap upaya yang terindikasi dapat membuat Pemilu 2019 kacau. Pemerintah menjamin cara apapun yang diperlukan untuk membuat pemilu berjalan lancar.

"Pokoknya, ada yang macam-macam, tangkap," kata dia.

Wiranto menyampaikan ancaman keamanan yang harus ditindak termasuk ancaman siber seperti upaya meretas infrastruktur internet KPU. Kemudian pengamanan jaringan dan instrumen-instrumen lain dalam pemilu. Dia menegaskan pemerintah memiliki komitmen penuh supaya mekanisme demokrasi lima tahunan berlangsung lancar.

"Semuanya bersatu, tetapi koordinasi di Kemenko Polhukam. Kita dari dulu diangkat, otomatis sudah memberi jaminan dengan kerja keras kami. Kami, aparat keamanan, bekerja sama dengan penyelenggara Pemilu, KPU, berkolaborasi, berusaha semaksimal mungkin agar Pemilu aman," ujar Wiranto.

Pakai UU Terorisme

Tidak cukup di sana, Wiranto menegaskan mereka yang menyebarkan berita bohong menjelang pemungutan suara akan dijerat Undang-Undang Terorisme. Alasannya, hoax bisa menimbulkan ketakutan di masyarakat sama dengan tindak pidana terorisme.

"Kalau masyarakat diancam dengan hoax untuk kemudian mereka takut ke TPS, itu sudah terorisme. Maka tentu kita gunakan Undang-Undang Terorisme," ujar Wiranto.

Menurut Wiranto, terorisme ada yang bersifat fisik, ada yang non fisik. Dia pun meminta aparat pertahanan dan keamanan di seluruh Indonesia menggunakan cara berpikir seperti itu dalam menyelesaikan persoalan hoax jelang pemilu. Karena pemerintah ingin memastikan hajatan demokrasi lima tahunan yang akan digelar kurang dari satu bulan lagi itu lancar.

Sementara itu, di luar konteks pemilu, ancaman pidana terhadap para pembuat dan penyebar hoax juga ada di Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Personel Brimob dan Densus 88.

Atas pernyataan Wiranto tersebut, Wakil Ketua Komisi I DPR yang juga membidangi komunikasi dan informatika, Satya Widya Yudha, sependapat bahwa masalah hoax menjadi ancaman serius. Terlebih bila isu yang diangkat bisa memecah belah bangsa.

Karena itu, politisi Partai Golkar itu meminta penanganan yang serius terhadap ancaman hoax kepada Menteri Komunikasi dan Informatika, Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Polri dan jika perlu TNI.

"Hoax bisa (lebih) dahsyat dari teroris untuk aktivitas non fisiknya," kata Satya kepada VIVA, Rabu, 20 Maret 2019.

Dia juga sependapat dengan pandangan Wiranto bahwa pelaku hoax bisa dijerat UU Terorisme. "Bisa, sesuai UU anti teroris, barang siapa menyebar informasi yang memicu keresahan dan memecah belah bangsa maka bisa dimasukan dalam kategori teroris," tegas dia.

Sementara itu, Pengamat Politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia mengatakan jika dilihat dari dampaknya, hoax sama berbahayanya dengan ancaman teror. Sama-sama berbahaya dan sama-sama harus diperangi. Bahkan hoax bisa menghancurkan bangsa dan memecah belah persatuan.

Menurut Ujang, hoax juga merupakan salah satu bentuk ancaman di era modern. Karena isinya konten yang menghancurkan yang bukan merupakan kebenaran.

"Dalam hoax ada kebohongan, fitnah, adu domba, dekonstruktif dan lain-lain," kata Ujang kepada VIVA, Rabu, 20 Maret 2019.

Ujang melanjutkan jika terorisme mengancam dengan senjata dan sejenisnya sedangkan hoax terornya melalui media. Terutama media sosial. Namun dampaknya sama-sama membahayakan.

"Karena sama-sama membahayakan, makanya harus diperangi," katanya.

Cukup UU ITE

Terkait dengan pemakaian UU Terorisme, Guru Besar Hukum Universitas Krisnadwipayana, Indrianto Seno Adji, tidak sependapat dengan Wiranto. Dia menjelaskan bahwa hukum pidana memang berkembang sesuai ruang, tempat dan waktu tapi tetap hukum pidana hanya perangkat sarana akhir dari penegakan hukum (ultimum remidium).

Dengan demikian, lanjutnya, hukum pidana menghindari dan tidak dilakukan dengan cara-cara emosional dan tidak menimbulkan kesan adanya over criminalization (kriminalisasi yang berlebihan).

Ilustrasi internet hoax.

Indrianto menuturkan bahwa penyebar hoax dalam pilpres sebaiknya tetap berbasis pada mainstream action-nya pada penyebaran berita bohong dan lain-lain, dan bukan tindakan terorisme. Walau secara hukum tindakannya memenuhi rumusan terorisme.

"Karena itu dari sisi efektifitas sosiologis, sudah cukup diterapkan UU ITE maupun KUHPidana dibandingkan UU Terorisme," kata Indrianto yang pernah menjadi salah satu pimpinan KPK tersebut.

Terlalu Berbahaya

Senada dengan Indrianto, Pengamat Komunikasi dan Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi, menilai penggunaan UU Terorisme dalam kasus berita bohong terlalu berlebihan, dan berbahaya. Dia menjelaskan terorisme juga merujuk pada menghilangkan nyawa orang lain dan pelakunya bisa saja ditembak oleh aparat. Bila ini diteraplan dalam persoalan hoax maka menjadi berbahaya.

"Kalau dianggap perbuatan teror itu kabur (tidak jelas), maka bisa ditembak. Kan berbahaya," kata Heru kepada VIVA, Rabu, 20 Maret 2019.

Heru mengatakan pembuat teror yang sebenarnya itu menghilangkan nyawa orang. Menurutnya, tidak akan bisa disamakan dengan kasus hoax.

Dalam kasus hoax, Heru berpendapat penegak hukum bisa menerapkan pasal 27 ayat 3 UU ITE, dan juga pasal 28 undang-undang yang sama. Dia menjelaskan apabila hoax itu merugikan orang lain maka bisa digunakan pasal 27 ayat 3, sanksinya maksimal 4 tahun sehingga terduga pelaku tidak bisa langsung ditahan.

Ilustrasi hoax.

Sedangkan, pasal 28 itu bicara dua hal yaitu kabar bohong atau hoaks, dan ujaran kebencian. Di ayat satunya kabar bohong, menyangkut transaksi elektronik, misalnya jualan online yang ada kerugian konsumen. Kemudian, ayat duanya, tentang hate speech.

"Kenapa banyak yang pakai Pasal 28 UU ITE, karena ancamannya 6 tahun dan bisa ditahan," kata Heru.

Heru mengatakan jika UU Terorisme tetap dipakai dalam menangani kasus hoax maka dampak yang ditimbulkan adalah masyarakat menjadi takut. Dia pun menyarankan agar pemerintah, khususnya penegak hukum untuk hati-hati dalam menerapkan pasal.

Alasannya, Indonesia malah bisa jadi dianggap gudang teroris di dunia internasional karena penyebar hoax yang dianggap teror. Heru mengingatkan siapapun berpotensi membuat hoax, baik kalangan atas, bawah, orang yang tidak berpendidikan, orang berpendidikan, pemerintah.

"Dan kalau itu dianggap teror, nanti kita dianggap gudang teror," tuturnya. (hd)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya