Dilema Kesehatan Gigi dan Mulut

Ilustrasi periksa ke dokter gigi
Sumber :
  • Pixabay/pexels

VIVA – Masalah gigi berlubang sering kali disepelekan. Padahal kesehatan gigi dan mulut sangat penting dijaga karena terkait dengan masalah kesehatan fisik hingga mental anak.

5 Dampak Buruk Jarang Scaling Gigi: Bisa Picu Penyakit Jantung hingga Diabetes

Berdasarkan riset kesehatan dasar 2018, gigi berlubang masih menjadi masalah serius di Indonesia. Sebanyak 90,2 persen anak Indonesia di atas usia lima tahun memiliki masalah gigi berlubang.

Ketua Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Dr. drg. R.M Sri Hananto Seno, Sp.BM(K)., MM mengatakan, saat ini secara nyata gigi berlubang masih menjadi masalah besar bagi kesehatan gigi dan mulut anak Indonesia. 

Jarang Dapat Perhatian, 40 Teman Tuli Diberikan Pemeriksaan dan Perawatan Gigi Gratis

Sebuah survei global yang dilakukan Pepsodent, Unilever mengungkap fakta terbaru mengenai korelasi antara gigi sehat dan masa depan anak. 

Survei tersebut dilakukan pada 2018 di delapan negara yaitu Chili, Mesir, Prancis, Italia, Indonesia, Amerika Serikat, Ghana, dan Vietnam. Survei melibatkan 4.094 responden (jumlah populasi survei global) anak berusia 6-17 tahun beserta orangtua mereka.

Tingginya Konsumsi Gula di Indonesia Picu Masalah Kesehatan Gigi dan Mulut

Di Indonesia, survei dilakukan pada 506 anak. Hasilnya, banyak anak Indonesia mengalami keluhan sakit gigi selama satu tahun terakhir, sebanyak 64 persen. Hal ini membuat anak mengalami kesulitan di sekolah.

Hal itu diungkapkan drg. Ratu Mirah Afifah, GCClinDent., MDSc., Division Head for Health & Wellbeing and Professional Institutions Yayasan Unilever Indonesia. Menurutnya, hal itu menyebabkan anak sulit meraih prestasi akademis maupun bersosialisasi. 

"Akibat sakit gigi, 37 persen anak mengaku harus absen dari sekolah. Rasa sakit juga sebabkan anak alami gangguan tidur sehingga mereka ke sekolah dalam keadaan mengantuk, sulit berkonsentrasi hingga tidak aktif dalam kegiatan sekolah. Sehingga kemampuan mereka menyerap materi pelajaran jadi terganggu," ungkapnya ditemui di lokasi yang sama.

Tak hanya itu, dr. Mirah menyebut, anak-anak yang bermasalah dengan gigi dan mulut cenderung akan dua kali lebih rentan alami krisis kepercayaan diri hingga kesulitan bersosialisasi. 

Momok mengerikan gigi berlubang

Ilustrasi gigi berlubang.

Ketika mengalami kerusakan gigi, ternyata yang dialami anak bukan hanya rasa sakit semata, Survei menunjukkan bahwa 64 persen anak Indonesia mengalami sakit gigi dengan tingkat sakit dari sedang hingga berat.

"Ada hidden impact yang tidak disadari oleh orangtua, anak, dokter gigi, juga para pemangku kepentingan, bahwa ada impact yang lebih dari kesehatan gigi dan mulut juga tubuh secara general," ujar Mirah.

Mirah menjelaskan bahwa selain rasa sakit ada hal dampak lain yang tak kalah serius, yaitu mental anak hingga yang terburuk kematian.

"Apa dampaknya? Pertama yang utama pasti rasa sakit, hilangnya self esteem (rasa percaya diri) terkait mental anak tentunya misalnya anak mengalami kendala di sekolah, sampai yang terburuk beberapa kasus menyebut ada kaitannya dengan jantung dan stroke," ujarnya.

Terkait hal itu, psikolog anak dan keluarga, Ayoe Sutomo mengatakan hal yang serupa. Menurutnya, rasa kepercayaan diri yang rendah mencerminkan bagaimana ia menentukan dirinya kelak.

"Korelasi sakit gigi dan self esteem adalah cerminan bagaimana individu melakukan evaluasi terhadap dirinya maupun itu positif negatif yang memunculkan penghargaan diri dan perasaan yakin,” tuturnya.

Awal pembentukan self esteem adalah pada masa anak-anak, dan salah satu faktor pembentuknya adalah kondisi fisik termasuk kesehatan giginya. Banyak filsuf yang juga berpendapat bahwa anak yang nyaman terhadap bentuk fisiknya itu akan memengaruhi self esteem-nya. 

"Jika kesehatan gigi anak-anak baik, dan kondisi fisiknya baik, ia akan lebih siap menghadapi tantangan dan tugas-tugas yang diberikan padanya," kata dia.

Proses tersebut kelak akan terbawa hingga ia dewasa. Korelasinya sangat kuat antara kesehatan gigi dan mulut dengan kesuksesan anak di masa depan, terutama sangat baik bagi anak menghadapi tumbuh kembangnya.

"Orang yang self esteem-nya rendah cenderung menjadi individu yang pesimis, sehingga mereka tidak berani menghadapi berbagai macam tantangan," dia melanjutkan.

Padahal, ujarnya, sikap optimistis itu sangat penting untuk berani menghadapi tantangan. Itu sangat dibutuhkan untuk maju, untuk kemudian mengambil kesempatan-kesempatan yang mungkin datang kepada dia yang kemudian membuktikan bahwa dirinya bisa dan kembali meningkatkan self esteem-nya.

Sakit gigi juga bisa menyebabkan penyakit serius hingga kematian

Sakit gigi.

Meski terdengar sepele, sakit gigi sebaiknya jangan diremehkan, akibatnya bisa fatal, dari penyakit serius hingga kematian.

Meski angkanya tidak tinggi, komplikasi yang terjadi akibat sakit gigi sering terjadi. Beberapa waktu lalu seorang pria di Amerika Serikat meninggal dunia setelah mengalami sakit gigi yang parah.

Dilansir Daily mail, seorang pria (26) asal California, Vadim Kondratyuk, meninggal dunia setelah dua pekan sebelumnya mengeluhkan sakit gigi.

Awalnya sopir truk itu mengabaikannya karena berharap akan membaik dengan sendirinya. Namun, kian hari sakitnya bertambah buruk bahkan setelah dokter memeriksanya dan memberi Vadim antibiotik.

Seorang dokter gigi di rumah sakit Oklahoma sempat mendiagnosis bahwa gigi Vadim mengalami infeksi, lantas dibersihkannya dan dokter meresepkan antibiotik. Setelah pengobatan itu, Vadim sempat merasa kondisinya sudah membaik.

Namun, sesampainya di New York dan sepanjang perjalanan pulang ke California, pipi Vadim membengkak hingga sulit bernapas, bahkan tidak bisa berdiri. Akhirnya Vadim kembali mengunjungi rumah sakit terdekat dan segera mendapat penanganan.

Tapi, kata dokter, infeksi di mulut Vadim telah meluas dan menyebar di seluruh tubuhnya. Bahkan, paru-parunya juga mengandung cairan sehingga mengakibatkan dirinya susah bernapas. Lebih lanjut dokter menjelaskan bahwa aktivitas bakteri terus meningkat sehingga infeksi menyebar sampai ke paru-paru. 

Karena sudah telanjur meluas sedemikian rupa, dokter tidak bisa membersihkannya. Antibiotik pun sama sekali tidak berpengaruh. Setelah beberapa hari dirawat, akhirnya Vadim dinyatakan meninggal dunia.

Setelah kematian Vadim, banyak ahli gigi yang mencari tahu apa yang sebenarnya menimpa Vadim. Dilansir laman People, Dr. Richard Niederman, kepala bidang Kesehatan dan Epidemiologi di Universitas Kedokteraan Gigi di New York menjelaskan rongga mulut merupakan bagian yang paling kotor dari tubuh manusia. 

Di dalam mulut ada sekitar 500 hingga 1.000 jenis bakteri berbeda. Sementara itu, jumlah bakteri dalam mulut bervariasi antara 100 hingga 1 miliar.

"Dalam rongga mulut yang sehat, bakteri berfungsi sebagai flora normal. Namun jika ada kondisi lain seperti daya tahan menurun, plak, gigi lubang, penyakit kronis maka ada ketidakseimbangan flora," ujarnya.

Dalam situasi tersebut, bakteri baik bisa berubah menjadi jahat. Bila ada gigi yang rusak sampai kemudian terjadi abses, maka akan menjadi tempat berkumpul bakteri. Bakteri ini bisa ikut menjalar ke aliran darah di tubuh, kemudian menetap di bagian tubuh yang lemah.

Pada kasus Vadim, penjalaran bakteri akibat infeksi gigi terjadi di paru-paru. Dokter menemukan ada banyak cairan di paru-parunya dan membuat yang bersangkutan menjadi susah bernapas.

Ketika organ yang terdampak sudah tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya, tentu berisiko terjadi kefatalan. Kejadian paling parah adalah kematian.

Bukan hanya kematian, sakit gigi juga memicu serangan jantung dan stroke

Dilansir Web MD, gusi merupakan bagian dari penyangga gigi. Jika gusi mengalami peradangan, maka dapat menyebarkan kuman penyakit. Saat gusi meradang, ada jalan masuk kuman ke dalam tubuh manusia.

Bakteri atau kuman penyakit pada akhirnya bisa masuk ke pembuluh darah dan menyebabkan penyumbatan. Penyumbatan pembuluh darah inilah yang kemudian memicu stroke dan penyakit jantung. 

Berdasarkan penelitian, penderita sakit gusi pada usia 25-51 tahun dapat meningkatkan risiko sakit stroke hingga 50 persen.

Selain itu, risiko sakit jantung meningkat dua kali lipat pada penderita sakit gusi. Bahkan, meningkatkan risiko kelahiran bayi prematur pada ibu hamil yang menderita sakit gusi dan penyakit diabetes. 

Mirisnya, penyakit gusi bisa berawal dari adanya plak di gigi yang tidak pernah dibersihkan. Plak-plak tersebut akan berkembang jadi karang gigi, hingga akhirnya terjadi peradangan gusi.

Dilema para dokter gigi

Anak ke dokter gigi.

Untuk mengatasi masalah gigi dan mulut tidaklah mudah, karena persoalan yang dihadapi bukanlah semata hanya gigi berlubang. Namun lebih besar dari itu adalah sebuah budaya, dan habit atau kebiasaan.

"Munculnya masalah karies dan masalah kesehatan gigi erat kaitannya dengan kebiasaan menjaga kebersihan gigi salah satunya kegiatan menyikat gigi dua kali sehari," ujar Hananto Seno.

Hal itu menurut Hananto, juga dipicu oleh kurangnya kepedulian menjaga gigi dan mulut. "Karena kita kurang peduli dengan aktivitas perawatan gigi dan mulut. Orang baru ke dokter gigi setelah sakit. Belum lagi orangtua hanya fokus di sekolah (pendidikan) anak saja, dan mengabaikan masalah pencegahan (preventif)," ujarnya.

Melakukan tindakan preventif erat kaitannya dengan pengeluaran untuk pos kesehatan setiap tahunnya, apalagi layanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tidak memberikan layanan penuh (gratis) untuk tindakan gigi. Itu artinya pasien harus mengeluarkan sejumlah uang untuk mendapatkan pelayanan dokter gigi.

Menurut peraturan BPJS Kesehatan Nomor 1 Tahun 2014 Pasal 52 ayat 1, perawatan gigi yang dapat dijaminkan oleh BPJS Kesehatan adalah administrasi pelayanan. Layanan tersebut terdiri atas biaya pendaftaran seseorang dan biaya administrasi lainnya yang mungkin timbul selama proses perawatan gigi yang dilakukan oleh seorang peserta BPJS.

Selain itu, beberapa perawatan gigi antara lain, pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi medis yang berhubungan dengan kesehatan gigi di rekanan BPJS Kesehatan. Selain itu, pramedikasi (pemberian obat yang dilakukan sebelum dilakukan anesthesia atau pembiusan untuk melakukan operasi) dan kegawatdaruratan oro-dental juga ditanggung.

Pencabutan gigi, pengobatan pasca ekstraksi, tambalan GIC, tambalan komposit, pembersihan karang gigi (scaling) hingga gigi palsu namun dengan syarat tertentu.

Besaran subsidi yang diberikan ternyata beragam dan tak gratis sepenuhnya. Ada subsidi yang dianggarkan, dari Rp250 ribu hingga Rp1 juta.

Namun, sayangnya pelayanan itu tidak diikuti oleh dukungan fasilitas klinik gigi yang memadai.

"Pemerintah juga kurang perhatian dengan kondisi kesehatan gigi dan mulut di Indonesia, hal itu bisa dilihat dari posisinya di BPJS," ujar Hananto.

BPJS itu hanya membiayai sakit dan kuratif (bersifat pengobatan). Sementara itu, preventif dan promotif itu bukan programnya BPJS, sehingga yang preventif dilupakan masyarakat.

Masyarakat hanya fokus pada pengobatan dan mengabaikan pencegahan. Seharusnya yang baik itu meningkatkan program preventif.

"Caranya dengan menyatukan semua pihak, ya pemerintah pusat, daerah, lembaga-lembaga, masyarakat, hingga corporate," ujarnya.

Program BPJS itu sebetulnya bagus, tapi untuk dokter gigi ini masalah. "Semakin kita mengadakan penyuluhan semakin banyak yang datang dan khawatir, itu menyebabkan banyak masyarakat yang datang ke klinik-klinik gigi, hingga rumah sakit," tuturnya.

Menurut Hananto, hal itu justru memberatkan pihaknya. "Bagus jika banyak yang datangi dokter gigi, namun semakin banyak yang datang, maka semakin banyak biaya yang dikeluarkan dokter gigi," katanya.

Sementara itu, pihak BPJS membayarnya dengan sistem kapitasi (sistem pembayaran yang besarnya biaya tidak dihitung berdasarkan jenis dan pelayanan kesehatan melainkan berdasarkan jumlah pasien yang ditanggungnya).

"Karena itu sekarang kita hanya fokus untuk meningkatkan kapitasi. Supaya barang-barang, bahan atau kebutuhan kita bisa terpenuhi oleh dengan adanya kapitasi ini. Pemerintah sudah menjanjikan akan meningkatkan kapitasi, tapi kami tidak tahu kapan, karenanya saya minta ini untuk segera dilaksanakan," tuturnya. 

Fokus kepada tindakan pencegahan bisa dilakukan dengan tindakan membiasakan anak-anak dan keluarga untuk menjaga kesehatan gigi mereka dengan menyikat gigi sehari dua kali pagi dan malam.

Untuk pemeriksaan lebih lanjut berkunjung ke dokter gigi satu tahun dua kali juga sangat dianjurkan. Atau Hananto juga mengingatkan pentingnya asupan nutrisi wanita hamil khususnya untuk membentuk kekuatan gigi. (art)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya