Meredam Polarisasi di Pilpres 2019

Capres nomor urut 01 Joko Widodo dan capres nomor urut 02 Prabowo Subianto usai mengikuti debat capres putaran keempat di Hotel Shangri La, Jakarta, Sabtu, 30 Maret 2019.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

VIVA – Sepekan menjelang tahapan pemungutan suara Pilpres 2019, tensi politik diprediksi memanas. Dua kubu yang bersaing pun, diminta bisa meredam tensi dengan memberikan imbauan positif kepada pendukungnya.

Batalkan Aksi Relawan Turun ke Jalan Jelang Putusan Sengketa Pilpres di MK, Prabowo Tuai Pujian

Rangkaian peristiwa di daerah, menjadi tolok ukur memanasnya tensi mendekati hari pencoblosan. Contohnya di Purworejo, Jawa Tengah, terjadi peristiwa pengeroyokan pada Selasa 2 April 2019. Seorang pria berkaus capres petahana Joko Widodo menjadi korban pengeroyokan massa yang diduga pendukung capres penantang Prabowo Subianto.

Perbedaan pilihan capres kembali terlihat dengan aksi massa simpatisan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang menyerang markas Front Pembela Islam (FPI) Sleman, Yogyakarta, Minggu 7 April 2019.

Langkah Prabowo Larang Pendukung Demo di MK Dinilai Bisa Jaga Kesejukan Demokrasi

Markas FPI Sleman ini, ternyata juga sebagai Posko Badan Pemenangan Nasional (BPN) pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Publik juga tak lupa dengan kejadian pilu pada November 2018 di Sampang, Madura. Peristiwa seorang tewas ditembak pelaku yang kabarnya, karena hanya beda pilihan capres di media sosial.

Khawatir Ada Aksi saat Putusan Sengketa Pilpres, TKN Siapkan Satgas Khusus

Baca: Sempat Saling Serang, Jokowi dan Prabowo Janji Jaga Persahabatan

Pengamat politik, Ujang Komarudin menganalisis polarisasi di Pilpres 2019, sudah terbelah sejak perhelatan Pilpres 2014. Alasannya, pilpres kali ini merupakan rematch Jokowi vs Prabowo.

Polarisasi ini, menurutnya, terjadi karena elite politik yang mengompori massa pendukungnya. Kerap kali, selama tahapan kampanye ini masyarakat disuguhi elite dengan isu yang menyerang dan menyudutkan lawan politiknnya. Cara ini harus coba diredam.

"Membangun kesadaran di tingkat elite dan masyarakat. Bahwa pilpres itu bukan untuk permusuhan. Pilpres itu ritual demokrasi lima tahun dan harus diselenggarakan dengan menyenangkan," kata Ujang kepada VIVA, Senin 8 April 2019.

Hal senada disampaikan Guru Besar Sosiolog Universitas Brawijaya, Darsono Wisadirana. Ia menyampaikan, pentingnya pernyataan adem dan sejuk oleh dua kubu elite.

Menurutnya, sikap elite politik harus menjadi contoh untuk pendukungnya dan masyarakat. Perhelatan pilpres harus menjadi ajang kesempatan pendidikan politik ke masyarakat. "Kurangi yang heboh negatif, perbanyak positif. Sulit mungkin itu jadi tantangan, demi semua," ujar Darsono.

Berikutnya, Capres Beri Contoh

Capres Beri Contoh

Hitungan tujuh hari lagi untuk pencoblosan Pilpres 2019, harus menjadi perhatian. Pilpres 2019, menjadi rangkaian perhelatan Pemilu 2019, yang digelar serentak dengan pileg pada 17 April 2019.

Polarisasi yang sudah terlihat harus diredam, agar tak semakin meruncing. Darsono mengingatkan, jangan sampai hajatan pilpres lima tahunan, justru menjadi momen perusak demokrasi.

Elite sebagai calon pemimpin, mesti cermat memilah-milah sikap dan ucapan. "Bagaimana merawat persatuan itu yang penting. Panas, tetapi elite-elite ini harus bijak menyampaikan sikap politik," kata Guru Besar Sosiolog Universitas Brawijaya, Darsono Wisadirana.

Baca: Khatib di Masjid Prabowo Salat Jumat Bicara Persatuan Umat

Pakar komunikasi politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio mengatakan, polarisasi muncul karena hanya dua calon pemimpin yang bersaing merebut kursi takhta RI-1.

Ia memberikan catatan, perlunya dua pasangan capres dan cawapres yang bersaing memperlihatkan saling rangkul untuk memberikan contoh ke elite pendukung dan masyarakat.

Bagi dia, hal ini penting, mengingat budaya masyarakat Indonesia yang masih ikut terhadap pemimpin. Maka itu, calon pemimpin harus memberikan contoh.

"Seperti penutupan debat keempat kemarin. Itu bagus bisa meredam. Pak Jokowi ingin menjaga persahabatan dengan Pak Prabowo. Demikian sebaliknya. Hal seperti ini yang harus diulangi dua capres dan cawapres kita," ujar Hendri kepada VIVA, Senin 8 April 2019.

Baca: Jokowi: Percayalah Pak Prabowo, Persahabatan Kita Tak Pernah Putus

Pendukung capres nomor urut 02 menyaksikan debat capres putaran keempat di Hotel Shangri La, Jakarta, Sabtu, 30 Maret 2019.

Juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf Amin, Irma Suryani Chaniago tak menampik polarisasi yang semakin terlihat jelang pencoblosan. Ia setuju dengan saran, agar tak memainkan isu yang meruncing polarisasi.

"Ya benar, kita memang enggak boleh menghadap-hadapi rakyat. Presiden Jokowi kan, juga sudah bilang kontestasi politik harus riang gembira," ujar Irma.

Namun, ia mengklaim, pihaknya wajar berupaya memperjuangkan tak perlu ganti presiden. Kata dia, selama ini, TKN berusaha meredam polarisasi. Tetapi, tidak dengan kubu rival, yaitu elite pendukung Prabowo Subianto.

"Pihak sebelah mengatakan, 2019 ganti presiden. Mereka bilang berhak, dengan cara memancing. Silakan, tetapi ada yang harus dikedepankan," tutur Irma.

Selanjutnya, Kedepankan Rasional

Kedepankan Rasional

Kubu pendukung Prabowo Subianto dalam Badan Pemenangan Nasional (BPN) ikut bersuara. Juru Bicara BPN, Suhud Alynuddin mengingatkan beda pilihan politik di pilpres adalah hal yang wajar.

Namun, ia menyindir, ada segelintir pihak yang menganggap pilpres sebagai pilihan hidup mati. Pihak ini, menurutnya, yang melakukan segala cara untuk memenangkan capres yang didukungnya.

"Sehingga, siap melakukan apa saja untuk capres yang dibelanya. Namun, kami kira orang-orang seperti itu tidak banyak. Lebih banyak masyarakat yang bersikap mengedepankan rasional," ujar Suhud kepada VIVA.

Calon Presiden 01 Joko Widodo dan Calon Presiden 02 Prabowo Subianto saat akan memulai debat keempat di Jakarta, Sabtu 30 Maret 2019.

Dia menjelaskan, memang diperlukan peran elite politik dalam meredakan suhu panas di akar rumput. Maka itu, ia setuju bahwa elite dari dua kubu harus hati-hati menyampaikan pernyataan.

"Karenanya, elit harus hati-hati dalam menyampaikan statement, tidak provokatif dan memilih diksi yang sifatnya menciptakan suasana damai," tutur Suhud.

Lalu, ia menyinggung wasit, yaitu lembaga penyelenggara pemilu yang mesti netral dan adil. Kepercayaan publik harus dijaga. "Tidak boleh, tampak seolah-olah berpihak pada satu pihak. Harus menjaga kepercayaan publik pada penyelenggara pemilu," ujar politikus PKS itu.

Baca: Zulkifli Hasan: Jokowi-Prabowo Berpelukan, Masa Pendukungnya Berantem

Pentingnya lembaga penyelenggara pemilu harus adil juga menjadi catatan penting. Penyelenggara pemilu seperti Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus bekerja untuk kepentingan bangsa.

"Penyelenggara Pemilu, harus jadi wasit yang adil dan profesional. Bekerja dengan baik untuk kepentingan bangsa. Tidak bekerja untuk kepentingan siapapun dan kubu manapun," jelas Ujang Komarudin, pengamat politik. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya