Menyoal Kecurangan Pemilu

Anggota KPPS mengecek surat suara saat sesi penghitungan suara Pemilu serentak 2019.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Andika Wahyu

VIVA – Pemungutan suara dalam Pemilu 2019 yang digelar secara serentak sudah selesai dilaksanakan hampir satu pekan ini. Namun panasnya kompetisi antar pasangan calon presiden dan wakil presiden belum juga reda.

AROPI: Dibanding Musim Pemilu 2019, Tingkat Kepercayaan Terhadap Lembaga Survei Naik 7,6%

Bahkan pada hari-hari terakhir ini, isu adanya kecurangan yang dilakukan penyelenggara pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan juga jajaran di bawah seperti Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan juga Panitia Pemungutan Suara (PPS) terus mengemuka. Hal itu bukan isapan jempol belaka karena banyak beredar video, dan foto-foto yang menggambarkan kecurangan tersebut.

Salah satu kasus yang diungkap ke publik misalnya dugaan kecurangan di Tempat Pemungutan Suara atau TPS 30, Bojongsari, Depok, Jawa Barat. Dari foto dokumen C1 terlihat bahwa Prabowo Subianto mendapatkan 148 suara, dan Jokowi 63 suara. Tapi kemudian, di website KPU tertulis Jokowi 211 suara, sedangkan Prabowo hanya 3 suara.

Paguyuban Marga Tionghoa Dorong Gunakan Hak Pilih 14 Februari untuk Lahirkan Pemimpin Berkualitas

Kemudian sebuah video menunjukkan kondisi serupa. Namun kali ini di TPS 1, Girimulyo, Belitang Jaya, Ogan Komering Ulu Timur, Sumatera Selatan. Pasangan Jokowi-Ma'ruf dituliskan mendapatkan suara sebanyak 771 di real count KPU, sedangkan Prabowo-Sandi 73. Padahal, jumlah seluruh suara yang sah sebanyak 144.

Setelah dicek ke dalam formulir C1, ternyata Jokowi-Ma'ruf mendapat suara sebanyak 71. Sementara, Prabowo-Sandi 73. Artinya, ada penggelembungan suara sebesar 700.

Prabowo Kaget Ada Pemuda Ngaku Siap Mati untuknya di Pilpres 2019: Saya Suruh Pulang!

Tim dari kubu Prabowo-Sandi yang terkenal dengan sebutan Badan Pemenangan Nasional (BPN) juga sudah menegaskan bahwa mereka menemukan 1.200 lebih indikasi kecurangan pemilu di berbagai daerah di Indonesia. Tim advokasi BPN telah melayangkan laporan ke Badan Pengawas Pemilu dan Komisi Pemilihan Umum.

Anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) menunjukkan surat suara kepada para saksi saat dilakukan perhitungan lanjutan di TPS bersebelahan dengan Pos Lanal Pusong di Desa Pusong Baru, Lhokseumawe, Aceh

Dugaan kecurangan pemilu ditemukan di tingkat TPS baik dalam proses pemungutan suara dan penghitungan suara. Ada kertas suara digotong ke tempat yang tidak representatif, ada petugas KPPS nyoblos sendiri kertas suara hingga muncul angka yang fantastis.

Mereka juga mencurigai Babinsa yang ditarik dari wilayah pemantauan pemilu. Peran Babinsa pun digantikan polisi, terutama saat mengawal kotak suara. BPN menduga pihak-pihak tersebut ikut melakukan tindakan curang saat mengamankan kotak suara pemilu.

Tidak hanya itu saja, kasus-kasus yang lebih mengkhawatirkan juga terjadi. Seperti pembakaran kotak suara di Jambi yang dilakukan oleh seorang calon anggota legislatif dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, dan dua orang Panitia Pengawas Kecamatan (Panwascam).

Sebelumnya, publik di tanah air juga sudah dihebohkan dengan kasus dugaan kecurangan di Malaysia, dan Australia. Serta ketidakberesan para Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) yang membuat proses pemungutan suara berjalan ruwet.

Masih belum berhenti, usai pemungutan suara di dalam negeri pada Rabu, 17 April 2019, juga sempat ramai tagar KPU jangan curang di jagat media sosial. Dan muncul petisi memidanakan petugas KPU yang ditandatangani ratusan ribu orang.

Pemilu Terburuk

Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Bambang Widjojanto, bersuara keras terkait dengan dugaan kecurangan dalam Pemilu 2019. Dia menyebut pemilihan umum kali ini sebagai pemilu terburuk pascareformasi.

Ia menyebut ada beberapa hal yang mengkhawatirkan terkait Pemilu 2019 ini. Salah satunya, jangan sampai mereka yang memenangkan pemilu dan mendapatkan suara terbanyak, tapi yang menjadi presiden justru orang lain.

"Kalau itu terjadi sebenarnya kita sedang mendorong negara ini sampai di bibir jurang karena ini berbahaya sekali," kata Bambang pada diskusi Gerakan Nasional Selamatkan Demokrasi di kawasan SCBD Jakarta, Minggu, 21 April 2019.

Bambang Widjojanto Dinyanyikan Maju Tak Gentar

Bambang menuturkan kualitas pemilu yang sangat penting ialah kejujuran dan kerahasiaan. Prinsip pemilu adalah langsung, umum, bebas dan rahasia atau luber. Namun, sebagian pemilih tidak bebas.

Kalau itu prinsip-prinsip dasar luber, jujur dan adil tidak dipenuhi maka dia berpendapat Pemilu 2019 sia-sia.

Senada, mantan Sekretaris Kementerian Badan Usaha Milik Negara, Said Didu, mengatakan kecurangan yang terjadi pada Pemilu 2019 terstruktur, sistematik, dan masif mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan penghitungan suara. Dari informasi yang dia dapatkan, ada 6,7 juta surat suara yang tidak terkirim. Dia menilai Presiden Joko Widodo seharusnya bertanggung jawab dalam situasi ini tapi malah diam seribu bahasa sejak dari awal.

Direktur Komunikasi dan Media BPN, Hashim Djojohadikusumo, menghargai segala kerja keras yang dilakukan oleh KPU dan Bawaslu. Tapi, dia tetap mendorong mereka untuk ambil langkah tegas untuk menciptakan pemilihan yang jujur dan adil.

"Kami yakin KPU dan Bawaslu terdiri dari orang-orang yang bertanggung jawab terhadap bangsa dan negara, serta menjunjung tinggi sumpah jabatan untuk menegakkan demokrasi di Indonesia," kata Hashim di Media Center Prabowo-Sandi, Jalan Sriwijaya , Jakarta Selatan, Sabtu, 20 April 2019.

Sementara itu, Direktur Materi dan Debat BPN, Sudirman Said, mengatakan dugaan kecurangan yang terjadi pada pemilu 2019 sangat mengkhawatirkan. Dia menegaskan kecurangan bisa membahayakan demokrasi.

"Jadi kecurangan ini menjadi peringatan, bahwa jangan sampai bangsa ini jatuh kepada proses menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan," kata Sudirman.

Di samping dugaan kecurangan yang mengemuka di atas, Badan Pengawas Pemilu juga menemukan kekurangan dalam pelaksanaan Pemilu 2019 yang lalu. Mereka menyebut KPU mengabaikan hal-hal teknis misalnya soal logistik, pembukaan TPS yang telat, surat suara yang tidak mencukupi dan lain-lain.

Selain itu memang ada pelanggaran yang dilakukan penyelenggara seperti kasus tujuh petugas KPPS di TPS 24, Kampung Ciloang, Kelurahan Sumur Pecung, Kecamatan Serang, Kota Serang, Banten, yang terancam dipecat karena mencoblos 15 kertas suara sisa pemilihan presiden dan legislatif. Kemudian pelanggaran di Depok, daerah-daerah di Sumatera Utara, Manado, Malang, NTB, sampai pada di Surabaya yang mengharuskan digelarnya pemungutan suara ulang, dan wilayah-wilayah lainnya.

Human Error dan Kelelahan

Atas tuduhan kecurangan yang terus mengemuka dan mengarah ke instansinya, Komisioner KPU, Viryan Aziz, pun memberikan jawaban. Viryan menuturkan bahwa pemilihan umum memang soal kepercayaan masyarakat.

Dia mengklaim KPU telah melaksanakan prinsip keterbukaan. Dalam aspek sumber daya manusia pun sudah terjamin sehingga tidak mungkin melakukan kecurangan.

"Bagaimana curang, orang jajaran di KPPS itu ada 810 ribu, tidak mungkin itu bisa melakukan kecurangan secara sistematis oleh KPU RI. Enggak mungkin," tegas Viryan saat dikonfirmasi, Senin, 22 April 2019.

Komisioner KPU Viryan Aziz

Bahkan, menurut Viryan, banyak petugas KPU yang sakit dan telah meninggal dunia atau sakit. Menurutnya, itu menunjukkan makna lain dari kompleksitas pemilu termasuk beban kerja yang luar biasa berat.

Viryan menyampaikan isu kepercayaan publik hanya bisa dijawab dengan transparansi pemilu. Ia berjanji akan terus transparan. Meskipun transparan KPU ini pada beberapa waktu dilihat sejumlah kalangan berbeda.

Menurut Viryan, tuduhan terhadap KPU curang itu tidak mendasar. Justru ia menilai hal tersebut bagian dari dampak transparansi kinerja KPU.

"Publik bisa mengoreksi, publik bisa mengkritisi, dan KPU selalu responsif terhadap hak-hak itu," tuturnya.

Terpisah, Ketua KPU Arief Budiman juga menegaskan tidak ada niat untuk berbuat curang. Kalau terjadi kesalahan input data ke dalam sistem informasi penghitungan (Situng), dia menduga murni karena kesalahan human error yaitu faktor petugas di lapangan kelelahan.

Arief menuturkan para petugas di KPPS di TPS itu bekerja keras. Sebagian dari mereka bahkan bekerja lebih dari 24 jam karena sudah mulai menyiapkan segala sesuatu terkait keperluan pemungutan suara pada pukul 06.00 WIB.

Capres nomor urut 01 Joko Widodo (kiri) dan capres nomor urut 02 Prabowo Subianto (kedua kanan) bersama Ketua KPU Arief Budiman (kedua kiri) sebelum mengikuti debat capres putaran keempat di Hotel Shangri La, Jakarta, Sabtu, 30 Maret 2019.

Bahkan jauh hari sebelum pemungutan suara, sejak tahapan pemilu dimulai, mereka yaitu KPU kabupaten/kota juga sudah bekerja overtime. Untuk petugas entri, dia memang meminta agar bisa menyelesaikan tugas mereka dalam waktu 1x24 jam.

"Jadi kerja ngebut. Kalau salah input kan kita lakukan koreksi," katanya.

Sementara itu, pemerhati pemilu dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengingatkan semua pihak bahwa UU Pemilu sudah menyediakan jalan untuk memastikan kecurangan-kecurangan itu tidak dibiarkan. Mereka yang mempunyai bukti soal adanya pelanggaran atau kecurangan semestinya menggunakan prosedur yang berlaku tidak hanya sebatas membuat gaduh di ruang publik.

Jika kecurangan yang terjadi membentuk pola yang terstruktur dan masif sehingga berpengaruh pada hasil, lanjutnya, maka pihak yang dirugikan bisa mengajukan sengketa di Mahkamah Konstitusi.

Lucius menilai semua peserta pemilu masing-masing punya catatan soal informasi kecurangan yang terjadi. Jadi dia berpendapat untuk sementara tak bisa disimpulkan sepihak bahwa kecurangan yang terjadi hanya menguntungkan paslon 01 atau 02.

Selain itu, dia menyampaikan penyelenggara pemilu juga harus lebih serius melakukan antisipasi dan pengawasan. Dia juga menyoroti peran Bawaslu yang seharusnya lebih banyak melakukan upaya pencegahan atau kontrol melekat pada setiap rangkaian proses yang dijalankan KPU.

"Jangan sampai pengawasan difokuskan sekedar untuk mencatat kesalahan atau kecurangan padahal sejatinya pengawas mesti melekat dalam proses yang berlangsung," kata dia.

Terlepas dari itu, sebagian pihak juga mendorong kecurangan atau pelanggaran dalam pemilu yang terjadi sekecil apapun, sengaja atau tidak disengaja, harus diselesaikan secara hukum. Tidak cukup hanya dengan permohonan maaf saja.

Hal itu disampaikan oleh Dekan Fakultas Hukum Universitas Nasional, Ismail Rumadan. Begitu juga dengan Ketua DPR, Bambang Soesatyo, yang juga sepakat bahwa caleg, dan petugas di TPS dan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) yang curang bisa dipidana. (hd)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya