Pemilu Selesai, Nyawa Tergadai

Petugas Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) menyusun kotak suara yang berisi surat suara hasil Pemilu 2019 sebelum rekapitulasi surat suara di Kantor Kecamatan Johan Pahlawan, Aceh Barat, Aceh
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas

VIVA – Keluarga Agus Susanto mungkin tak pernah menduga. Keterlibatan Agus sebagai petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara atau KPPS di kota Malang, ternyata menjadi pengantar nyawanya. 

Ketua KPU Minta Maaf kepada KPPS karena Negara Belum Mampu Belikan HP

Agus Susanto (40 tahun), meninggal dunia usai mengantarkan kotak suara dari Tempat Pemungutan Suara (TPS) menuju Kelurahan Tlogomas, Lowokwaru, Kota Malang, pada Kamis, 18 April 2019, sekira pukul 03.00 WIB.

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Malang, Zainudin, mengatakan Agus baru selesai melakukan penghitungan surat suara di TPS sekira pukul 02.00 WIB. Dia lalu mengantarkan kotak suara ke kelurahan, setelah itu dia pulang ke rumah. Pada pukul 03.00 WIB Agus diketahui oleh keluarga telah meninggal dunia.

Tahapan Pilkada Jakarta 2024: Pendaftaran Paslon Dibuka 27 Agustus

Zainudin mengatakan, selama bertugas Agus tak memperlihatkan tanda-tanda sakit. Ia menduga Agus kelelahan.

"Kami turut berbelasungkawa. Beliau baru menyelesaikan tugasnya setelah mengirimkan kotak suara ke kelurahan beliau dipanggil Allah. Tidak ada tanda-tanda sakit," kata Zainudin. Ia menyebut, Agus meninggal karena faktor kelelahan. 

KPU Lapor DPR Ada 181 Anggota PPK, PPS dan KPPS Meninggal Dunia Selama Pemilu 2024

Agus hanya salah satu dari 144 petugas pelaksana pemilu yang meninggal. Sepanjang pelaksanaan Pemilu 2019, lebih dari seratus petugas dikabarkan meninggal dunia.

Hanya dalam waktu sepekan usai pelaksanaan pemilu yang jatuh pada 17 April 2019, hingga Rabu, 24 April 2019, KPU mencatat 144 petugas meninggal dunia. Sementara itu, Humas Polri mengatakan, 15 anggota mereka meninggal dunia saat menjalankan tugas dalam pemilu. Selanjutnya jumlah petugas yang sakit dikabarkan mencapai 347 orang. 

Tahun ini, untuk pertama kalinya pemerintah RI menggelar pemilu serentak. Pelaksanaan pemilu serentak 2019 merupakan perintah dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 14/PUU-XI/2013 yang kemudian diatur dalam Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017.

Berdasarkan regulasi itu, maka dalam satu hari warga ke TPS untuk memilih DPRD Kota, DPRD Provinsi, DPD, DPR RI, dan Presiden. Dampaknya, proses penghitungan suara jadi membutuhkan waktu yang lebih lama dari biasanya.

Nyaris seluruh TPS baru selesai melakukan penghitungan suara pada pukul 03.00 WIB, sebagian lainnya baru mampu merampungkan penghitungan pada pukul 06.00 atau 07.00 pagi. 

Bukan hanya proses penghitungan suara yang membutuhkan waktu jauh lebih lama dibanding pemilu tahun-tahun lalu. Zainudin mengatakan, petugas sudah mulai beraktivitas sejak satu bulan sebelum hari H. Pasca dilantik pada bulan Maret, selama sebulan penuh, ujar Zainudin, aktivitas petugas cukup berat. 

Dimulai dari mengikuti bimbingan teknis, sosialisasi, tata cara pendirian TPS, melaksanakan pemungutan suara hingga melakukan penghitungan kertas suara, kemudian melakukan rekapitulasi di TPS, hingga mengantar kotak suara ke kelurahan. Bahkan, saat ada persoalan di PPK, anggota PPS bakal dipanggil untuk menjelaskannya. Mereka bekerja dengan honor untuk ketua Rp550 ribu, anggota Rp500 ribu, dan limnas Rp400 ribu. 

Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Abhan mengakui sistem Pemilu 2019 sangatlah rumit. “Memang ini begitu kompleks, secara teknis bisa kita rasakan. Satu hal misal di jajaran KPU meninggal dunia ada sekitar 90-an, di kami sudah sampai 33 yang meninggal, tentu ini menjadi suatu yang harus dipikirkan,” kata Abhan di gedung Bawaslu, Jakarta, Selasa 23 April 2019.

Seruan Tinjau Ulang

Tingginya angka kematian petugas Pemilu 2019 membuat seruan agar pelaksanaan pemilu serentak ditinjau ulang menjadi marak. Satu per satu tokoh menyampaikan keprihatinan mereka. 

Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai pemilihan umum sebaiknya dipisah antara pemilihan legislatif dan presiden. Dia mempertanyakan apakah pemilu serentak harus dipertahankan terus jika melihat banyak petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal dunia.

"Apa itu diteruskan lagi, supaya lima tahun lagi ada yang meninggal ratusan orang karena keletihan? Karena capek, karena menghitung lama? Ini harus sesuai, proporsional lah," kata JK di Cilincing, Jakarta Utara, Selasa 23 April 2019.

Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Golkar Jawa Barat Dedi Mulyadi, juga meminta agar Pemerintah Pusat melakukan evaluasi regulasi. “KPU tidak bersalah. KPU hanya menjalankan undang-undang. UU Pemilu lah yang tidak representatif dan menyebabkan keluhan masyarakat,” ujar Dedi di Bandung, Selasa 23 April 2019.

Ke depannya, usul Dedi, regulasi untuk teknis bagi petugas harus mempermudah tugas. Menurutnya, insiden 2019 yang menelan korban jiwa harus jadi pelajaran.  

“Waktu perhitungan lebih lama dan melelahkan, karena perhitungan dilakukan pada saat bersamaan. Jadi ini kesalahan kolektif dari penyusun undang-undang mulai partai politik dan pemerintah,” katanya.

Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan juga Ketua Partai Amanat Nasional (PAN), Zulkifli Hasan, juga telah menemui Presiden Joko Widodo di Istana Negara. Zulkifli Hasan mengaku kedatangannya menemui Jokowi untuk memberikan masukan soal terlalu lamanya masa pelaksanaan pemilu. 

"Soal pemilu. Terlalu lama sampai 8 bulan. Habis energi," ujar Zulkifli di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu 24 April 2019.

Menurutnya, sudah selayaknya pemerintah mengubah undang-undang terkait pemilu. "Nanti harus mengubah undang-undangnya agar pemilu itu ya sebulan setengah. Masa berantem disuruh undang-undang sampai delapan bulan," kata dia.

Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto, mengatakan bahwa dirinya, bersama Presiden Jokowi, Zulkifli Hasan, Surya Paloh, serta tokoh lainnya juga telah membicarakan masa pemilu yang berlangsung terlalu lama.

"Berlangsung delapan bulan, diwarnai hoaks dan fitnah. Pada akhirnya kita semua berbicara bangsa dan negara, kepentingan untuk mencari pemimpin, Pak Zul juga banyak menyampaikan pengalamannya dalam kampanye delapan bulan yang melelahkan tersebut," kata Hasto.

Meski seruan untuk meninjau kembali pemilu serentak terus muncul, tapi Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan meninjau ulang Pemilu 2019 perlu kehati-hatian. 

"Sepertinya banyak pihak yang mengharapkan evaluasi," kata Moeldoko di Medan Merdeka Barat, Jakarta, Rabu 24 April 2019.

Mengenai bagaimana tindak lanjut usulan evaluasi itu, Moeldoko mengatakan tidak sesederhana itu. Ia menilai pasti banyak yang perlu dipertimbangkan untuk mewujudkan evaluasi. "Ini kan urusan politik. Jadi enggak gitu saja. Jadi akan dibicarakan, mengambil kebijakan," ujar Moeldoko.

Evaluasi

Kisruh soal pemilu serentak 2019 mengundang lembaga Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) memberikan catatan kritis atas pelaksanaannya. Peneliti dari Perludem, Usep Hasan mengatakan, dari evaluasi pemilu serentak 2019, ada empat hal yang perlu menjadi perhatian dan catatan Perludem agar kasus yang sama tak perlu terulang. 

Usep Hasan mengatakan, hal pertama yang mereka rekomendasikan adalah mengupayakan kembali perwujudan desain pemilu serentak nasional dan lokal. "Pemilu serentak nasional yaitu, pemilu presiden-wakil presiden, DPR, dan DPD. Lalu selang dua atau 2,5 tahun (30 bulan) setelahnya ada pemilu serentak lokal yaitu, pilkada dan pemilu DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota," kata Usep kepada VIVA, Rabu 24 April 2019.

Kedua adalah mengubah besaran daerah pemilihan untuk pemilihan legislatif menjadi lebih kecil. Tujuannya agar pengorganisasian partai politik lebih terkonsolidasi serta meringankan beban petugas penyelenggara pemilu dan pemilih.

"Ketiga, mengoptimalkan rekrutmen petugas dan bimbingan teknis. Ketentuan syarat usia minimal 17 tahun bagi petugas yang sudah diperbaiki UU Nomor 7 Tahun 2017 penting diupayakan sebagai bagian penguatan partisipasi pemilu di aspek tenaga penyelenggara," tuturnya.

Dan hal keempat adalah mempertimbangkan secara serius penerapan teknologi rekapitulasi suara secara elektronik untuk mengurangi beban pengadministrasian pemilu yang melelahkan di TPS. Menurut Perludem, penerapan teknologi sangat penting untuk memotong rantai birokrasi rekapitulasi penghitungan suara yang terlalu panjang dan makan waktu lama.

"Pilihan atas teknologi harus dilakukan secara matang, inklusif, dengan waktu yang cukup untuk melaksanakan uji coba berulang dan memadai, serta melakukan audit teknologi secara akuntabel," dia menegaskan.

Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun mengaku pernah mengusulkan agar pemilu tak perlu dilakukan serentak. Sebab, pelaksanaan pemilu dalam satu waktu menurutnya sangat tidak efektif.

"Saya malah pernah mengusulkan agar pemilu dilakukan dua putaran. Pertama adalah Pemilu Daerah untuk memilih gubernur, wali kota, dan DPRD. Berikutnya adalah Pemilu Nasional untuk memilih DPR RI, DPD, dan Presiden," ujarnya kepada VIVA, Selasa 23 April 2019.

Refly yakin, dengan membuat pemilu yang terpisah dengan jarak waktu lebih dari dua tahun, maka cara itu akan lebih ringan dan setiap daerah, juga pemerintah pusat, bisa lebih konsentrasi membangun daerah.

Senada dengan Refly Harun, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari mengatakan, lembaganya telah melakukan evaluasi pelaksanaan terhadap dua pemilu terakhir. Evaluasi itu menghasilkan rekomendasi agar pemilu ke depan dilakukan secara terpisah.

Berdasarkan Riset Evaluasi Pemilu 2009 dan Pemilu 2014. "Salah satu rekomendasinya adalah pemilu serentak dua jenis,” ujar Hasyim.

Ia menjelaskan, pertama pemilu serentak nasional untuk pilpres, pemilu DPR dan DPD (memilih pejabat tingkat nasional). Kedua Pemilu Serentak Daerah untuk Pilkada Gubernur dan Bupati/Wali Kota; serta DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota (memilih pejabat tingkat daerah provinsi/kabupaten/kota).

“Kerangka waktunya satu Pemilu Nasional lima tahunan, misalnya 2019 berikutnya 2024. Dan yang kedua Pemilu Daerah lima tahunan, diselenggarakan di tengah lima tahunan Pemilu Nasional, misalnya Pemilu Nasional 2019, dalam 2,5 tahun berikutnya (2022) Pemilu Daerah,” ujarnya.

Hasyim berargumen dengan kembali dipecahnya pemilu ke depan, aspek politik akan terjadi konsolidasi politik yang semakin stabil karena koalisi parpol dibangun pada bagian awal (pencalonan). Selain itu, aspek manajemen penyelenggaraan pemilu, beban penyelenggara pemilu lebih proporsional dan tidak terjadi penumpukan beban yang berlebih.

“Aspek pemilih. Pemilih akan lebih mudah dalam menentukan pilihan karena pemilih lebih fokus dihadapkan kepada pilihan pejabat nasional dan pejabat daerah dalam dua pemilu yang berbeda. Aspek kampanye, isu-isu kampanye semakin fokus dengan isu nasional dan isu daerah yang dikampanyekan dalam pemilu yang terpisah,” katanya.

Evaluasi dan usulan agar pelaksanaan pemilu serentak ditinjau ulang mungkin hanya menjadi wacana kelompok elite. Tapi bagi para pelaksana tugas pemilu, harapan mereka tak muluk.

Ketua KPU Kota Malang, Zainudin mengatakan, salah satu rekomendasi dari hasil evaluasi mereka adalah jaminan asuransi untuk para petugas, baik anggota PPS maupun PPK yang terlibat aktif dalam proses pemilu.

Rekomendasi itu akan dikirimkan ke KPU Provinsi agar dilanjutkan ke KPU RI. Sebab, peristiwa anggota PPS meninggal dunia karena kelelahan bukan pertama kali di Kota Malang. Pada Pemilu 2014 salah satu anggota PPS di Sukun, Kota Malang juga meninggal dunia usai bertugas di TPS.

"Memang belum ada asuransi karena belum masuk ke anggaran 2019. Soal asuransi ini akan dijadikan evaluasi dan kita laporkan ke provinsi. Ini akan kami sampaikan soal asuransi karena ini tidak terjadi sekali. Ini kedua kalinya, di 2014 ada di Sukun juga meninggal dunia, Pemilu 2014 silam," tutur Zainudin.

Karut marut proses penghitungan suara akibat beratnya beban kerja mungkin hanya menjadi isu di tataran elite. Tapi bagi kelompok akar rumput, mereka hanya butuh kejelasan dan jaminan atas kerja mereka.

Apalagi, para petugas itu ternyata menerima honor yang tak terlalu besar. Hanya kisaran Rp400 ribu hingga Rp550 ribu per orang. Sungguh tak sebanding honor yang mereka dapatkan jika dibanding risiko yang harus mereka hadapi untuk bertugas, termasuk bertaruh nyawa. (art)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya