Rinjani dan Wacana Gunung Syariah

Panorama puncak Gunung Rinjani terlihat dari Desa Sapit, Kecamatan Suela, Lombok Timur, NTB
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi

VIVA – Dijuluki sebagai Pulau Seribu Masjid, Nusa Tenggara Barat (NTB) selama ini dikenal sebagai daerah yang kental dengan nuansa Islami. Pemerintah daerah maupun pelaku industri pariwisata di sana pun beberapa tahun lalu mulai serius mengembangkan konsep wisata halal.

Kelompok Musik Anak-Anak The Minions Gelar Konser Amal Peduli Pendidikan di Lombok Utara

Lombok bahkan pernah dinobatkan sebagai destinasi wisata halal terbaik di dunia dalam sebuah ajang industri perjalanan muslim.

Nah, belum lama ini masyarakat sempat dihebohkan dengan wacana pemisahan tenda pria dan perempuan di Rinjani, NTB. Ide tersebut digagas oleh tokoh masyarakat di sekitar Rinjani.

Sumbawa, Lombok Re-elected to Host 2024 MXGP Race Series

Mereka meminta pendakian harus mematuhi etika dan adat istiadat setempat. Di Bukit Pergasingan Sembalun, misalnya, pendaki dilarang pacaran atau satu tenda bagi yang bukan muhrimnya.

Pro kontra pun mengalir dari masyarakat Tanah Air. Banyak yang menilai aturan tersebut baik untuk menghindari perbuatan melanggar norma kesusilaan di Rinjani.

Sumbawa dan Lombok Kembali Jadi Tuan Rumah MXGP Indonesia 2024

Apalagi masyarakat juga mengaitkan gempa di Lombok akhir-akhir ini dengan dibukanya pendakian Gunung Rinjani. Namun, tak sedikit pula yang menolak kebijakan tersebut karena menilai itu dapat menurunkan angka kunjungan wisatawan di Rinjani.

Menanggapi wacana pemisahan tenda pria dan wanita di Rinjani, Kepala Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR), Sudiyono, mengatakan, wacana tersebut muncul secara spontan saat dirinya ditanya wartawan terkait program TNGR dalam mendukung wisata halal di NTB.

"Biasa, wartawan menanyakan Rinjani saat baru buka. Terus (ditanya) program ke depan seperti apa dalam kaitannya dengan wisata halal. Wisata halal kan ada kaitannya menyangkut agama, adat istiadat, dan kami mendukung wisata halal. Spontanitas saja," ujarnya saat ditemui VIVA di Kantor TNGR Mataram, Kamis, 20 Juni 2019.

Ia mengatakan bahwa pihaknya tetap mendukung program wisata halal di NTB. Namun, TNGR tidak akan menjalankan program pemisahan tenda tersebut, karena bukan merupakan program prioritas.

"Kami sangat mendukung adanya program wisata halal dari gubernur NTB," ucap Sudiyono.

Gunung Rinjani

Dijelaskan Sudiyono, program TNGR saat ini adalah perbaikan manajemen pendakian, khususnya pada e-ticketing, pengelolaan sampah, dan perbaikan sarana-prasarana jalur pendakian. Tidak terlintas rencana pemisahan tenda pria dan wanita.

"Kami belum memikirkan semacam itu sekarang, karena kita fokus memperbaiki manajemen pendakian Rinjani. Kalaupun masyarakat menginginkan itu kan wisata juga harus kondusif. Saya yakin wisatawan akan mengikuti aturan yang berlaku di suatu tempat," kata dia.

Dia menjelaskan, selama menjadi kepala TNGR, belum ada laporan langsung kepada dirinya terkait ditemukan aktivitas pendaki yang melanggar kesusilaan. 

"Berkaitan dengan adanya gagasan pemisahan antara tenda laki-laki dan perempuan di kawasan Rinjani, yang kemungkinan akan menjadikan pro dan kontra di masyarakat, maka dapat kami sampaikan bahwa program tersebut tidak akan kami laksanakan karena bukan menjadi prioritas TNGR," ucapnya.

Sudiyono meminta masyarakat untuk mengakhiri perdebatan soal wacana pemisahan tenda pria dan perempuan di Rinjani.

"Kami mohon dengan hormat kepada semua pihak untuk segera mengakhiri pembicaraan atau perdebatan tema tersebut, karena bila diteruskan justru akan merugikan dunia pariwisata di Indonesia," imbaunya.

Pendapat Para Pendaki

Meski sekadar wacana, hal itu telah telanjur menyedot perhatian masyarakat luas, termasuk para pendaki aktif yang hobi naik gunung. Pendaki perempuan asal Jakarta, Umaya berpendapat, sebenarnya wacana tersebut cukup bagus, idenya baru dan ia belum pernah melihat peraturan semacam itu.

Namun, perempuan yang hobi mendaki gunung sejak sekolah menengah atas (SMA) ini masih mempertanyakan mekanisme peraturan itu akan seperti apa. 

Menurutnya, saat naik gunung, terutama kaum perempuan, belum tentu sudah terbiasa naik gunung, sehingga otomatis mereka membutuhkan orang yang lebih kuat atau lebih senior sebagai penjaga. Umumnya para pendaki pria lah yang menjadi penjaga.

"Kalau memang nanti akan dipisah, bagaimana dengan pendaki-pendaki cewek yang belum pernah naik (gunung)? Apakah akan dikasih guide khusus cewek atau bagaimana?" ujarnya saat dihubungi VIVA, Kamis, 20 Juni 2019.

Gunung Rinjani, Nusa Tenggara Barat.

Perempuan yang naik gunung setiap beberapa bulan sekali itu menilai, aturan tersebut cukup sulit diterapkan. Apalagi fisik perempuan, terutama pendaki pemula, lebih rentan dibandingkan pria. Dalam hal mendaki gunung, tak bisa dimungkiri bahwa faktor ketahanan fisik memegang peranan penting.

Aturan memisahkan tenda pendaki pria dan perempuan di gunung juga dirasa Umaya tidak terlalu penting dan mendesak untuk diberlakukan, karena selama ini sangat jarang kasus mesum di gunung. 

Umaya mengaku tak pernah menemukan perilaku menyimpang dari para sesama pendaki selama pengalamannya naik gunung. Ia menuturkan, biasanya pendaki tidak hanya berdua saat naik gunung, melainkan beramai-ramai. Mereka juga tidak kepikiran untuk melakukan hal yang menyimpang di gunung. 

"Kalau ke Rinjani langsung belum pernah, cuma kalau berdasarkan pengalaman naik gunung, aku hampir enggak pernah menemukan penyimpangan, enggak pernah menemukan itu. Kebanyakan yang aku tahu kalau orang naik gunung sudah capek. Ngapain berbuat (mesum)?," katanya.

Namun, berbeda ketika ada pendaki yang merupakan wisatawan asing yang mengenakan pakaian terbuka. "Itu kan bukan mesum. Itu budaya mereka. Kita enggak bisa kontrol itu juga," tuturnya.

Sementara itu, pendaki asal Jakarta lainnya, Indriyani A mengungkap ketidaksetujuaannya atas wacana pemisahan tenda pendaki pria dan perempuan di Gunung Rinjani, mengingat gunung ini adalah salah satu destinasi summit yang top di Indonesia. Ia berpendapat, kalau aturan ini diterapkan, dikhawatirkan jumlah wisatawan, baik lokal maupun mancanegara akan menurun. 

"Jadi enggak perlu sih diterapkan, kecuali untuk penginapan atau hotel, kalau konsepnya Lombok mau jadi wisata halal. Tapi berbeda, mendaki kan tujuannya menikmati alam," ucapnya.

Panorama puncak Gunung Rinjani terlihat dari Desa Sapit, Kecamatan Suela, Lombok Timur, NTB

Selain itu, dampak lainnya, kata Indriyani, memutus mata pencaharian penduduk lokal, seperti porter dan lain-lain yang bergantung pada sektor wisata Rinjani. 

"Ketika mendaki Rinjani, karena medannya agak berat, saya pakai jasa porter dan beberapa rekan pria untuk memastikan satu grup aman. Kami tidur di tenda terpisah kok. Kalau aturan ini diterapkan, tentu tidak memudahkan pendaki. Mendaki gunung kan ingin menikmati alam, refreshing, terutama untuk para pecandu ketinggian," kata Indriyani.

Pendaki lain, Ipan berpendapat kalau aturan ini diterapkan juga bakal merepotkan para ranger (sebutan untuk semacam leader) atau Badan SAR Nasional (Basarnas). Besar kemungkinan, pendaki yang tidak berpengalaman akan tersesat. Semakin banyak survivor atau pendaki pemula, maka semakin banyak juga melibatkan regu SAR.

Ia menambahkan, belakangan aktivitas naik gunung mulai populer. Semakin banyak pemula yang pergi ke gunung, dan biasanya jumlah pendaki pemula perempuan lebih banyak.

"Lepas dari penting atau tidak, intinya semua balik lagi ke pendaki itu sih. Masih banyak pendaki yang belum sadar diri, peraturan pemda banyak yang masih dilanggar. Contoh, dulu ada perda yang enggak membolehkan metik edelweiss, tapi mereka tetap aja masih metik, bahkan enggak kira-kira. 2008 di Gunung Sumbing masih banyak edelweiss di pinggir jalur, tapi sekarang udah enggak ada," kata Ipan.

Artinya, bagi sebagian orang, aturan hanyalah aturan. Urusan di atas gunung atau puncak pendakian akan jadi hal yang berbeda. "Masa iya polisi hutan mau ngecek sampai puncak atau merazia tiap tenda di tiap shelter?" tambahnya.

Ia mengatakan bahwa kalaupun diberlakukan kebijakan pemisahan tenda pria dan perempuan, itu ia nilai tidak efektif untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Yang paling memungkinkan adalah ketua pendakian harus tegas pada anggota timnya. Para pendaki menjadi tanggung jawab leader-nya. 

Gunung Rinjani, Lombok.

Ada yang Lebih Mendesak

Para pendaki gunung ini pun menilai, daripada aturan pemisahan tenda pria dan perempuan, ada peraturan lain yang sebenarnya lebih mendesak untuk dibuat. Seperti perihal keamanan, karena di beberapa gunung rawan terjadi pemalakan atau barang yang hilang.

Hal itu diungkapkan oleh Umaya. Saat pemalakan atau kehilangan barang terjadi, mau tidak mau pendaki baru melapor saat turun gunung.

"Tapi barang udah kadung hilang dan kadung di-blow up. Yang lain jadi akan mikir, 'Wah naik gunung ini kok enggak aman?'. Sementara di beberapa gunung, saat kita mau mendaki ke puncak, enggak semua barang kita bawa. Ada barang-barang besar, seperti tenda, sleeping bag dan segala macam ditinggal di pos ke berapa sebelum puncak. Itu yang kadang-kadang sering hilang," ujarnya.

Padahal, ia mengatakan bahwa barang-barang tersebut umumnya harganya mahal. Para pelaku pemalakan dan pencurian pun tahu betul bahwa barang-barang tersebut masih laku saat mereka jual. 

Sementara itu, Indriyani menilai peraturan lain yang jauh lebih penting untuk dibuat adalah soal konservasi alam pegunungan, di mana para pendaki harus diwajibkan untuk membawa turun sampah yang mereka bawa. Fakta yang terjadi saat ini menunjukkan bahwa tidak semua pendaki peduli dengan lingkungan gunung yang mereka datangi.

Hal tersebut diungkapkan Indriyani berdasarkan pengalaman pribadinya melihat langsung kondisi lingkungan pegunungan yang pernah ia datangi.

"Di Rinjani, aturan untuk para pendaki belum ketat, sampah di mana-mana, turis enggak wajib membawa sampah mereka turun. Belum lagi banyak orang BAB di tempat terbuka, bahkan di jalur pendakian. Itu bisa menyebabkan penyakit kan kalau bakterinya masuk ke sumber air," katanya.

Lalu, di danau dekat Gunung Batujari, Indriyani mengungkapkan banyak pendaki yang mencuci peralatan makan dan lain-lain menggunakan sabun yang resapannya bisa mencemari air danau. Padahal banyak ikan yang hidup di danau itu.

"Di Rinjani juga ada yang masih bikin api unggun, padahal bahaya. Bisa karhutla (kebakaran hutan dan lahan). Berbeda sekali dengan Semeru, kami tidak boleh membuat api unggun, menebang ranting, harus membawa turun sampah dan ada MCK khusus yang jauh dari sumber air. Saya masih bisa meminum air di Ranu Kumbolo yang segar," ucapnya.

Sementara itu, Ipan berpendapat, yang dibutuhkan saat ini adalah hal yang cukup sederhana, yakni para pendaki kembali menghargai kearifan budaya lokal. Itu saja sudah cukup.

"Di tiap daerah kan punya aturan adat. Itu yang aku maksud kearifan budaya lokal. Itu yang masih dipegang teguh oleh para pendaki lama," kata dia.

Objek Wisata Alam Gunung Rinjani Lombok yang Menantang

Saat ditanyakan ke Sudiyono, dari sejumlah isu yang menjadi perhatian pihaknya, ia menyampaikan TNGR saat ini tengah fokus mengembangkan e-ticketing Rinjani melalui aplikasi. Dia menyadari pada awal program tersebut diluncurkan menemukan kendala. Namun, saat ini pemberlakuan sistem tiket online tersebut dapat bekerja efektif.

"Sampai hari ini cukup efektif. Awal-awalnya memang ada masalah karena dulu uji coba satu jalur, sekarang empat jalur dalam satu sistem, sehingga mengalami kendala masalah kuota," paparnya.

Sudiyono juga menyadari bahwa di Rinjani saat ini minim petugas jaga yang diturunkan ke lapangan, karena pos-pos di sana belum layak secara permanen untuk ditempati petugas. Idealnya, di setiap pos ada petugas dan mereka harus ditempatkan di tempat yang layak.

Sekarang ini pos-pos yang ada dinilai belum layak. Mereka harus membawa tenda ketika berjaga di pos.

"Kalau tenda, tingkat keamanan tidak jadi jaminan, kecuali untuk wisata karena wisatawan ingin cari kesenangan berpetualang. Tapi bagi petugas kami, itu hal yang rutin sehingga perlu tempat lebih permanen," tuturnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya