Siapa Berani Jadi Oposisi Jokowi

Jokowi dan Ma'ruf Amin tiba di kantor KPU, Jakarta, Minggu, 30 Juni 2019.
Sumber :
  • VIVA/ Bayu Januar.

VIVA - Raut muka Jokowi dan Ma'ruf Amin pada Minggu, 30 Juni 2019, terlihat tenang. Tapi, beberapa kali, senyum menghiasi wajah kedua tokoh tersebut. Kompak mengenakan baju berwarna putih, keduanya berangkat dari Istana Merdeka ke Gedung Komisi Pemilihan Umum di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, pada siang hari tersebut.

Paguyuban Marga Tionghoa Dorong Gunakan Hak Pilih 14 Februari untuk Lahirkan Pemimpin Berkualitas

Setelah berbulan-bulan menjalani kompetisi yang keras dan brutal, setidaknya dilihat dari banyaknya berita hoax dan maraknya isu makar, KPU akhirnya menetapkan Jokowi-Ma'ruf sebagai presiden dan wakil presiden terpilih. Penetapan tersebut dilakukan menyusul keputusan Mahkamah Konstitusi yang menolak gugatan pesaing mereka, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno beberapa hari sebelumnya. Jokowi pun resmi menjadi presiden lagi untuk masa jabatan yang kedua.

Baca: Sah, Jokowi dan Maruf Amin Ditetapkan Presiden dan Wapres Terpilih

Prabowo Kaget Ada Pemuda Ngaku Siap Mati untuknya di Pilpres 2019: Saya Suruh Pulang!

Dari sisi kekuatan politik di parlemen, Jokowi yang ditopang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Nasdem, dan Partai Persatuan Pembangunan, sudah cukup dominan. Namun, tampaknya pria kelahiran Surakarta, 21 Juni 1961 itu, punya kecenderungan untuk mengajak kubu kompetitornya untuk masuk dalam pemerintahannya.

Debat Kelima Capres-Cawapres 2019

Prabowo Cerita Tak sampai Satu Jam Putuskan Terima Ajakan Jokowi Gabung Kabinet

Hal itu terlihat dalam pidato setelah penetapan. Jokowi menyuarakan suatu rekonsiliasi. Bahkan sebelum berangkat ke KPU, dia juga sudah menegaskan bahwa tidak ada lagi 01 dan 02, karena yang ada adalah persatuan Indonesia. Begitu juga Ma'ruf Amin yang berharap semua warga kembali rukun dan saling menyapa.

"Kami menyadari bahwa Indonesia negara besar. Indonesia tidak bisa dibangun hanya dengan satu orang, dua orang, atau sekelompok orang. Karena itu, saya mengajak Pak Prabowo Subianto dan Pak Sandiaga Uno, untuk bersama-sama membangun negara ini," kata Jokowi.

Ia yakin Prabowo dan Sandiaga adalah dua tokoh patriot yang ingin Indonesia menjadi negara yang makin kuat, maju, adil, dan makmur.

Sebenarnya, isu rekonsiliasi sudah begitu mengemuka sebelum penetapan Jokowi-Ma'ruf oleh KPU tersebut. Sejumlah pihak juga mendorong agar Jokowi dan Prabowo bertemu untuk mendinginkan suasana.

Kubu Jokowi, melalui Tim Kampanye Nasional (TKN) mereka juga membuka diri untuk partai-partai pendukung Prabowo-Sandi agar bergabung ke pemerintahan. Dan, seolah tidak malu-malu lagi, partai seperti Demokrat juga dari awal setelah pelaksanaan Pilpres 2019, lewat Komandan Satuan Tugas Bersama mereka, Agus Harimurti Yudhoyono, terlihat rajin menemui Jokowi.

Belakangan, Partai Amanat Nasional juga mulai ancang-ancang untuk keluar dari koalisi yang disebut sebagai Koalisi Adil Makmur. Mereka mengibaratkan koalisi itu seperti penitipan barang. Jika penitipannya ditutup, maka barang yang mereka titipkan tentu saja harus diambil.

Kemudian, wacana Gerindra agar masuk dalam kabinet juga sudah muncul. Mereka dinilai layak menduduki sejumlah kursi menteri di kabinet Jokowi yang baru.

Dan fakta yang terjadi kemudian, Prabowo memutusakan untuk membubarkan koalisi tersebut. Soal sikap dan langkah partai-partai pendukungnya selanjutnya, dia menyerahkan ke mereka masing-masing.

Baca: Prabowo Sebut Koalisi Adil dan Makmur serta BPN Selesai

Tidak Ada Masalah

Salah satu tokoh utama dari pendukung Jokowi-Ma'ruf yaitu Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar menilai tak ada masalah jika Partai Demokrat dan PAN merapat ke koalisi pendukung Jokowi-Ma'ruf Amin.

"Kalau dalam rangka rekonsiliasi nasional, why not, tidak ada masalah," kata Muhaimin di DPP PKB, Jakarta, Senin 17 Juni 2019.

Ketum PKB Cak Imin (kanan) bersama cawapres Maruf Amin

Meskipun demikian, Muhaimin menegaskan bahwa pada dasarnya koalisi pendukung 01 sudah gemuk, dan jumlahnya besar sehingga di DPR tidak perlu tambahan lagi. Karena itu, soal komposisi kabinet nantinya, dia sendiri belum tahu secara pasti.

"Insya Allah akan menjadi sikap presiden. Kita akan tunggu saja, karena itu kan hak prerogatif presiden," katanya.

Begitu juga dengan Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani. Dia bersikap terbuka. Tapi, Arsul lebih memberi tempat bagi Gerindra dibanding Demokrat dan PAN.

"Nggak boleh kalau kita ngomong bertambah koalisi hanya membuka kemungkinan untuk Partai Demokrat dan PAN saja. Menurut saya, Gerindra itu justru lebih sebagai penghormatan kalau memang disepakati nanti perlu bertambah, itu Gerindra harus mendapat kesempatan pertama untuk ditawari," kata Arsul di Gedung DPR, Jakarta, Jumat 28 Juni 2019.

Ia menilai, Gerindra sebagai lawan politik gentle. Alasannya, ketika kalah melakukan langkah hukum ke Mahkamah Konstitusi. Jika Jokowi harus menarik kompetitor masuk ke kabinetnya, dia menyarankan hanya satu partai saja.

"Kalau ini mau bertambah supaya kekuatan penyeimbang di parlemennya itu juga cukup walaupun minoritas ya mestinya cukup satu aja. Cukup satu saja yang masuk di antara empat partai, cukup satu saja yang masuk. Yang satu yang masuk yang mana ya kita serahin sama Pak Jokowi," kata Arsul.

Terlepas dari itu, Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hasto Kristiyanto mengingatkan rekonsiliasi tak boleh dimaknai secara sempit dengan hanya bagi-bagi kursi kabinet semata. Karena, jabatan menteri merupakan hak prerogatif dari presiden.

"Perspektif tidak bisa dimaknai bagi-bagi kursi di kabinet. Kami yakin, Pak Jokowi bicara kualifikasi menteri-menteri yang kuat. Kami yakin, sosok kualifikasi menteri penting untuk reformasi pembangunan akan diperhatikan," ujarnya.

Mengenai adanya kabar oposisi dari beberapa partai pendukung Prabowo-Sandi, menurutnya, tak masalah, karena oposisi dalam demokrasi menjadi sesuatu yang wajar. Karena, oposisi bagian dari dinamika demokrasi.

"Demokrasi memerlukan sikap partai di luar pemerintah untuk meningkatkan iklim demokrasi," katanya.

Sikap Kubu Prabowo

Sekretaris Jenderal Partai Demokrat, Hinca Panjaitan, mengatakan koalisi pengusung Prabowo-Sandi telah berakhir pasca putusan MK. Yang ada sekarang adalah presiden dan wakil presiden terpilih.

Hinca menuturkan jika sudah selesai begitu maka kembali ke kedaulatan partai masing-masing. Untuk Demokrat, sikap akan ditentukan lewat ketua umum dan juga majelis tinggi partai. Meski demikian, apa sikap mereka tidak akan diumumkan dalam waktu dekat ini.

"Partai Demokrat masih berduka sampai nanti 40 hari tanggal 10 Juli. Setelah 10 Juli, kami akan sampaikan ke teman-teman bagaimana sikap Demokrat," ujar Hinca di kantor KPU, Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat, Minggu 30 Juni 2019.

Sekjen Partai Demokrat, Hinca Panjaitan (kedua kanan)

Soal tawaran Agus Harimurti Yudhyono sebagai menteri di kabinet Jokowi-Ma'ruf Amin, Hinca menuturkan bahwa saat ini, posisi Partai Demokrat adalah memperjuangan 14 program prioritas dari masyarakat yang diusung partainya. Jika presiden terpilih Jokowi senang dengan 14 program tersebut, pihaknya akan membuka komunikasi.

Sementara itu, Wakil Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Amanat Nasional, Bara Hasibuan, menegaskan kemungkinan besar partainya akan bergabung ke pemerintah. Karena itu, dalam kurun waktu dua atau tiga pekan lagi akan segera digelar rapat kerja nasional (rakernas).

"Saya harus akui bahwa kemungkinan untuk PAN bergabung ke pemerintah yang nanti bakal dipimpin Jokowi-Ma'ruf, sangat besar. Secepatnya melalui proses institusional. Jadi kemungkinan besar kita bakal melakukan rakernas dalam waktu dekat dua sampai tiga minggu ke depan untuk menetukan langkah selanjutnya bagi PAN," kata Bara Hasibuan dalam diskusi di Jakarta Pusat, Sabtu, 29 Juni 2019.

Bara menjelaskan, niat PAN bergabung untuk mengawal pemerintahan Jokowi-Ma'ruf sampai 2024. Hal ini demi menjawab tantangan bangsa ke depan.

"Jadi PAN siap bergabung dalam pemerintahan dan mengawal pemerintahan yang dipimpin Pak Jokowi sampai 2024. Untuk menjawab tantangan bangsa, yang paling krusial adalah mengobati luka yang cukup dalam di masyarakat saat ini akibat kompetisi politik yang sangat tajam," katanya.

Menurut Bara, polarisasi dan narasi yang berbau kebencian selama ini perlu diobati. Terlebih sempat terjadi kerusuhan.

"Luka di masyarakat menimbulkan polarisasi ada retorika narasi yang selama ini. Itu dikemukakan oleh beberapa orang di bagian hilir yang penuh dengan kebencian dan kekerasan, bahkan sempat terjadi kerusuhan. Nah ini semua kita harus obati," ujarnya.

"Proses membutuhkan kontribusi semua pihak termasuk PAN bertanggung jawab. Sebagai parpol kita juga harus bertanggung jawab ikut berperan aktif dalam mengobati luka itu. Kita lakukan kalau kita bergabung dalam pemerintahan Jokowi," katanya.

PKS dan Gerindra Oposisi?

Di tengah kecenderungan partai-partai politik merapat ke kekuasaan, Partai Keadilan Sejahtera menunjukkan sikap yang berbeda. Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Keadilan Sejahtera, Mardani Ali Sera, menegaskan PKS akan tetap konsisten menjadi oposisi.

"Kami tetap menyatakan sebagai oposisi dan menjadi oposisi yang mulia. Ketika Pak Prabowo dinyatakan ditolak permohonannya, saya pribadi menganggap lebih baik membangun kekuatan oposisi," kata Mardani saat diskusi di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu, 29 Juni 2019.

Capres 02 Prabowo Subianto gelar konferensi pers usai Putusan MK

Mardani memaparkan demokrasi di Indonesia butuh kekuatan penyeimbang. Menurutnya, adanya Koalisi Indonesia Kerja dan Indonesia Adil dan Makmur adalah hal yang bagus.

Mardani menilai negeri ini butuh kejelasan dari alat kelamin partai politik. Tentu dalam rangka membangun budaya organisasi.

Baca juga: PKS Berharap Koalisi Prabowo Solid, Tak Loncat ke Jokowi

Begitu juga dengan sejumlah elite Gerindra. Anggota Dewan Pembina Partai Gerindra, Maher Algadri, menyatakan lebih baik partainya tetap berada di barisan oposisi. Tetap berstatus oposisi, maka menjadi penyeimbang dalam jalannya pemerintahan sistem demokrasi.

Menurut dia, Prabowo juga dinilai belum perlu untuk bertemu Jokowi. Gerindra juga diharapkan tidak masuk dalam pemerintahan Jokowi lima tahun mendatang.

"Kalau saya bilang jangan. Proses demokrasi itu adalah pemilihan. Jadi yang kalah biar tetap kalah, yang menang, menang. Biar yang kalah di luar menjadi oposisi, kalau enggak bukan demokrasi," kata Maher, Jumat 28 Juni 2019.

Dia menekankan bila usai pilpres malah bagi-bagi jatah kursi jabatan atau kongko-kongko maka tak bakal sehat. Saat ini, kata dia, yang memilih partai non pemerintah ada sekitar 45 persen atau 70 juta pemilih.

Maka itu, suara-suara tersebut harus mendapat perhatian dan didengar masukan mereka. Selain itu, juga sebagai penyeimbang atau kontrol kepada pemerintah.

"Selalu ada check and balance, jadi yang kuasa dikontrol oleh oposisi. Oposisi serius loh, 45 persen tuh bukan kecil. Besar sekali, makanya, ini kan bukan masalah Prabowo atau apa, ini masalah 45 persen itu 70 juta lebih, harus dihargai," ujarnya.

Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.

Pernyataan senada juga disampaikan oleh Anggota Dewan Penasihat Gerindra, M. Syafii. Dia meyakini partai pimpinan Prabowo Subianto itu akan tetap menyatakan sikap oposisi. Ia menekankan, dalam demokrasi yang sehat, memang harus ada penyeimbang.

Sementara itu, Pusat Studi Politik dan Keamanan Universitas Padjadjaran Bandung berharap partai-partai dalam koalisi pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno tetap utuh dan tak ada yang hengkang untuk bergabung dengan pemerintahan presiden Joko Widodo.

Menurut sang ketua pusat lembaga riset politik itu, Dr. Muradi, muncul sedikitnya tiga gejala dalam koalisi Prabowo. Pertama, semua partai dalam koalisi Prabowo bergabung dengan pemerintah. Kedua, hanya sebagian, misal Partai Demokrat dan PAN, yang berpaling ke Jokowi. Ketiga, semua partai pro-Prabowo menjadi oposisi.

Pilihan terbaiknya, menurut Muradi, semua partai dalam koalisi Prabowo menjadi oposisi agar dapat menjadi kekuatan penyeimbang bagi pemerintahan. Keseimbangan itu penting juga bagi pemerintah, bukan hanya memang begitu idealnya, tetapi juga agar koalisi pendukung Jokowi tidak terlampau gemuk. Sebab, sekarang saja sudah ada sembilan partai yang berada di barisan Jokowi.

Organisasi pemerintahan atau koalisi yang terlampau gemuk, ditambah tidak ada atau minim kubu oposisi, kecenderungannya tak efektif dan berpotensi lebih banyak konflik internal.

Lagi pula, tidak semua kubu Jokowi suka bila partai bekas lawan mereka di Pemilu 2019 itu masuk ke pemerintahan. Partai itu antara lain Golkar dan juga Nasdem.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya