Setelah Playboy, Siapa Berikutnya?

Logo Playboy
Sumber :
  • photobucket

VIVAnews - Vonis dua tahun bagi Pemimpin Redaksi (Pemred) Majalah Playboy, Erwin Arnada, membuat posisi pers kembali di persimpangan jalan. Alih-alih menggunakan Undang-Undang (UU) Pers, Mahkamah Agung (MA) lebih memilih KUHP dalam menjerat Erwin.

Dewan Pers sudah menetapkan Majalah Playboy Indonesia sebagai produk jurnalistik. Dewan Pers pun menyayangkan pasal yang digunakan untuk menjerat Erwin Arnada. Undang-Undang yang menjerat Erwin itu bukan Undang-Undang Pers, melainkan pidana umum.

"Majelis hakim harusnya menggunakan Undang-Undang Pers untuk mengadili. Karena ini merupakan penerbitan pers," kata anggota Dewan Pers Agus Sudibyo.

Menurut Agus, bila yang menjadi fokus perhatian pelapor adalah kasus dugaan pornografi, Undang-Undang Pers juga mengakomodir soal itu. Menjerat pekerja pers tanpa Undang-Undang Pers dinilai tidak fair.

"Ini sebenarnya tidak ideal. Toh kalau digunakan UU Pers, pornografi juga dilarang di sana. Kesusilaan juga diatur," ujar pria yang juga Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika di Dewan Pers ini.

Pada 29 Juli 2009, Majelis di MA menolak permohonan kasasi yang diajukan Erwin. Dalam putusan kasasi atas perkara nomor 927 K/Pid/2008 itu, MA memvonis Erwin dua tahun penjara. Pada petikan putusan, MA menyatakan terdakwa Erwin Arnada Pemimpin Redaksi Playboy terbukti secara sah bersalah dan meyakinkan melakukan tindak pidana kesusilaan sebagaimana diatur dalam Pasal 282 KUHP.

Kepala Sub Bagian Humas dan Profesi Andri Tristianto Sutrisnadia menjelaskan salinan sudah dikirim ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, 21 Desember 2009. Saat ditanya mengapa MA tetap menggunakan KUHP dalam menangani perkara pers, Andri tak bisa menjelaskan pertimbangan hakim agung. "Tanya saja kejelasannya di PN Jakarta Selatan," kata Andri.

Adapun tiga hakim agung yang menangani kasasi perkara ini adalah Mansyur Kartayasa (Ketua), Abbas Said, dan Imam Harjadi.

Putusan ini sekaligus meralat putusan di pengadilan tingkat pertama, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. April 2007, Majelis hakim yang diketuai Erfan Basuning, membebaskan Erwin dari dakwaan.

Sehari sebelumnya, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia sudah menyatakan kekecewaannya atas putusan MA ini. Pasalnya, hakim agung tetap saja menggunakan KUHP dalam menyelesaikan pemberitaan media massa.

"Vonis ini jadi gambaran kalau hakim agung ini malah mundur karena mereka masih cenderung memakai KUHP yang sudah layak untuk ditinjau ulang. Mengapa tidak memakai UU Pers," kata Eko Maryadi, Divisi Advokasi AJI.

Lagipula, Eko melanjutkan, pokok perkara Erwin tidak jelas. “Apakah pemberitaannya berbau pornografi atau gambarnya, visi dan misi, atau mungkin persoalan nama Playboy?" kata dia.

Siapa Berikutnya?

Adalah Front Pembela Islam (FPI) yang ada dibalik perkara Playboy ini. Kelompok massa ini secara keras menentang keberadaan Majalah Playboy Indonesia sejak pertama kali muncul, 7 April 2006.

Mereka kemudian melaporkan majalah franchise ini ke kepolisian dengan tuduhan pornografi. Memenangkan gugatan atas majalah berlogo kelinci berdasi ini memberikan angin bagi FPI. Mereka pun berencana melaporkan majalah lainnya.

Ketua Umum FPI Habib Rizieq Syihab berencana melaporkan 28 majalah hiburan ke Polda Metro Jaya. Pasalnya, Rizieq menilai dalam media-media itu memuat materi dengan unsur pornografi.

Pernyataan Rizieq disampaikan dalam jumpa pers di kantor pusat FPI, Jl. Petamburan III, Jakarta Pusat, Kamis 26 Agustus 2010. Menurut Rizieq kasus yang berkait dengan 28 majalah itu ada di ranah pidana sehingga dapat dijerat dengan KUHP, sebagaimana halnya Majalah Playboy Indonesia.

Awas Kehabisan! Pendaftaran Mudik Gratis Moda Bus Kembali Dibuka, Kuota 10.000 Orang

FPI sendiri, ia menyatakan, telah memiliki cukup bukti untuk mempidanakan majalah-majalah yang dinilai mengeksplotasi gambar syur ini. “Majalah-majalah itu bukan produk pers, tapi produk porno," kata Rizieq. Diantaranya, kata Rizieq, adalah Majalah Popular dan Matra.

Rizieq mengungkapkan 28 majalah itu pernah dilaporkan FPI ke Polda Metro Jaya pada tahun 2004 silam. “Tapi entah mengapa, laporan itu tidak berjalan. Hanya kasus Playboy yang dilaporkan 2006, yang berjalan proses hukumnya." (np)

Ilustrasi proyek pembangunan.

Perkuat Ukhuwah, KEIND Ingin Berkontribusi Lebih untuk Negara

Lebih dari 200 pengurus pusat, pengurus daerah, pengurus luar negeri serta para Dewan KEIND hadir dalam silaturahmi nasional.

img_title
VIVA.co.id
29 Maret 2024