Masih Ada Jurus Lain untuk Bibit-Chandra

Endriartono Sutarto diapit Chandra M Hamzah, Taufik Basari & Bibit Riyanto
Sumber :
  • Antara/ Puspa Perwitasari

VIVAnews – Penolakan Peninjauan Kembali (PK) kasus Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah yang dilakukan Mahkamah Agung (MK) tidak membuat gentar tim pengacara dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut.

Uruguay dan Indonesia Jajaki Kerja Sama Jaminan Produk Halal

Tim pengacara bahkan sudah menduga PK tersebut ditolak. “Karena dalam KUHAP pra peradilan tidak dikenal upaya hukum banding, kasasi apalagi PK seperti itu,” kata Endriartono Sutarto, tim penasihat bagi tim kuasa hukum Bibit-Chandra, kepada VIVAnews, Jumat, 8 Oktober 2010.

Meski begitu, menurut mantan Panglima TNI tersebut, tidak ada yang perlu dikhawatirkan karena kasus yang menimpa pimpinan KPK ini sebenarnya tidak cukup bukti.

Selain itu, kata Endriartono, masih banyak upaya lain yang bisa dilakukan Kejaksaan Agung. “Tapi saya tidak mau sampaikan karena nanti dikira ngajarin, jadi mari kita tunggu saja,” kata Endriartono.

Momen Presiden Joko Widodo jadi Saksi Nikah Anak Wamenaker Afriansyah Noor

Bahkan kalau pada akhirnya Bibit-Chandra harus maju ke pengadilan, tim kuasa hukum menyatakan siap. Namun, jika itu terjadi sangat disayangkan karena Bibit-Chandra harus non-aktif dari KPK. “Padahal mencari satu orang untuk melengkapi KPK saja makan waktu berbulan-bulan, ini kan menyulitkan pemberantasan korupsi,” kata Endriartono.

Sebelumnya, Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Akil Mochtar berpendapat, Kejaksaan Agung bisa saja mengeluarkan deponering atau menghentikan kasus demi kepentingan umum. "Kalau Kejaksaan Agung tidak berani keluarkan deponir, Presiden mengambil alih dengan memberikan abolisi," kata Akil Mochtar saat dihubungi VIVAnews.com, Jumat 8 Oktober 2010.

Abolisi merupakan salah satu hak istimewa Presiden untuk membatalkan tuntutan terhadap seseorang sebelum putusan hakim ditetapkan atau sebelum vonis. Hak abolisi dari Presiden dinilai menjadi salah satu jalan keluar kasus ini.

Meski demikian, Akil menyodorkan beberapa alternatif lain. Pertama, deponering atau menghentikan kasus demi kepentingan umum. Kejaksaan bisa mengeluarkan deponir saat ini juga.

Karena sebelumnya sudah dikatakan bahwa kasus dugaan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan Bibit dan Chandra itu direkayasa. "Hasil Tim 8 yang dibentuk Presiden juga menemukan indikasi itu (rekayasa)," kata hakim yang juga mantan politisi Golkar ini.

Kedua, dikeluarkan SKPP baru dengan alasan yang lebih bisa diterima. "Tetapi ini tetap bisa diuji. Kalau deponir tidak bisa," kata dia. Ketiga, atau alternatif terakhir, adalah maju ke pengadilan.

Bibit dan Chandra disarankan membuktikan dirinya memang tidak bersalah dalam persidangan nanti. "Kalau saya, akan saya hadapi pengadilan. Di sana buktikan bahwa tidak salah. Tidak perlu mengemis-ngemis institusi lain tapi lewat pengadilan, harus bisa buktikan tidak bersalah."

Tetapi ada kekhawatiran bila akhirnya Bibit dan Chandra memilih maju ke pengadilan. Kekhawatiran itu adalah jika pengadilan menyatakan Bibit dan Chandra bersalah. Padahal, Akil melanjutkan, dalam pengadilan sebelumnya, Anggodo Widjojo, pengusaha yang menjadi terdakwa kasus dugaan suap sudah dinyatakan bersalah. "Itu kan jadi karut-marut. Mana yang benar?"

Fairuz A Rafiq Beberkan Kondisi Terkini Usai Dilarikan ke RS Bersama Buah Hati

Kuasa hukum Anggodo Widjojo, Raja Bonaran Situmeang, mengaku puas dengan putusan MA yang tidak menerima pengajuan PK Kejaksaan Agung atas penolakan SKPP Bibit S Riyanto dan Chandra M Hamzah. "Kalau begitu, berarti kita benar dong. Artinya, masih ada keadilan untuk Pak Anggodo," ujar Bonaran yang sudah tidak diperbolehkan Pengadilan Tipikor menjadi pengacara Anggodo, karena jadi pihak terkait

Dengan putusan MA tersebut, Bonaran menyatakan, tim kuasa hukum akan segera meminta Kejaksaan Agung dan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan melimpahkan perkaranya ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. "Nanti saya mau ajukan surat ke kejaksaan. Kita lihat saja sidang Bibit-Chandra nanti, apa benar dia memeras," katanya.



MA melalui Kabiro Hukum dan Humas MA, Nurhadi, Jumat, 8 Oktober 2010, mengumumkan, PK Kejagung atas penolakan SKPP Bibit S Riyanto dan Chandra M Hamzah, tidak dapat diterima.

"Karena tak memenuhi syarat formil, sesuai dengan UU No 5/ 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu MA berhak memutus PK dalam tingkat kasasi kecuali yang dibatasi oleh UU yaitu putusanya praperadilan," kata Nurhadi.

Bibit dan Chandra disangkakan kasus penyalahgunaan kewenangan yang diusut Mabes Polri dan terakhir naik ke Kejaksaan. Dengan putusan MA itu, kasus Bibit-Chandra sangat berpeluang dibuka kembali karena putusan yang berlaku adalah putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memenangkan Anggodo Widjojo sebagai penggugat SKPP.

Bagaimana KPK menyikapi hal ini? "Kami masih menunggu keputusan apa yang akan diambil Kejaksaan terkait putusan itu," kata juru bicara KPK Johan Budi SP saat dihubungi, Jumat 8 Oktober 2010. "Kuncinya ada di kejaksaan."

Johan menambahkan Bibit-Chandra, sejauh yang ia ketahui, sudah menyiapkan diri untuk hal terburuk terkait kasus SKPP ini. "Sekarang KPK hanya bisa menunggu keputusan kejaksaan, keputusan mengambil langkah apa lagi," kata dia.

KPK, kata dia, langsung menggelar rapat koordinasi untuk membahas masalah ini.  Sedangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengaku sudah mengetahui 'kalahnya' permohonan PK SKPP Kejaksaan Agung tersebut. "Tentu, saya sudah laporkan kepada Presiden," kata Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Denny Indrayana di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Jumat 8 Oktober 2010.

Denny mengakui salah satu alternatif yang patut dipertimbangkan adalah deponering. Hak yang melekat pada Jaksa Agung. "Tapi tidak etis kami mendahului pilihan-pilihan yang akan diambil Kejaksaan Agung. Tapi masih terbuka ruang," kata Denny.

Maka itu, Denny mengimbau, agar memberi ruang kepada kejaksaaan untuk menimbang mana pilihan yang terbaik yang sejalan dengan putusan MA. Denny yang juga mantan anggota Tim 8 kasus Bibit-Chandra ini akan tetap dalam posisi mendukung apa pun keputusan yang akan diambil Kejaksaan Agung.

Sebelumnya, mantan anggota Tim 8, Amir Syamsuddin, juga menyarankan kejaksaan mengeluarkan deponering. Di mana letak kepentingan umumnya?

"Bahwa, berkurangnya dua komisioner KPK itu menjadi persoalan serius dalam pemberantasan korupsi," kata Amir.

Dia menegaskan, 'hilangnya' dua komisioner KPK itu sudah merisaukan kepentingan umum. Sebagai contoh, "Jangankan hilang, pemilihan satu orang saja pimpinan KPK hebohnya bukan main. Apalagi berkurang?"

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya