Bisnis Penerbangan: Untung Besar atau Kolaps

Mandala
Sumber :
  • wanhart.wordpress.com

VIVAnews - Kejutan datang dari Mandala Airlines. Rabu malam, 12 Januari 2011, secara mendadak Mandala mengumumkan berhenti beroperasi untuk sementara selama 45 hari.

Pengumuman ini jelas mengagetkan lantaran Mandala selama ini dikenal beroperasi dengan baik, bahkan menjadi maskapai swasta pertama Indonesia yang memperoleh sertifikasi keselamatan dari Asosiasi Perusahaan Penerbangan Internasional (IATA).

Dalam keterangan resminya, Direktur Utama Mandala Diono Nurjadin mengaku maskapai yang dipimpinnya mengalami kerugian bisnis, dan kesulitan keuangan. Tarif sewa pesawat yang dikenakan oleh Indigo Partners terlampau mahal sehingga memberatkan perusahaan. Tak pelak, Mandala harus mengembalikan lima pesawat Airbus yang disewa dari Indigo, perusahaan pemilik pesawat yang sekaligus menjadi pemegang 49 persen saham Mandala.

"Kami harus merestrukturisasi perusahaan," ujar Diono.

Karena tak mampu memenuhi kewajiban utang alias gagal bayar (default) terhadap pemilik pesawat (lessor), Mandala pun mengajukan permohonan penundaan pembayaran utang (PKPU) ke Pengadilan Niaga, Jakarta Pusat pada hari berikutnya, Kamis, 13 Januari 2011.

Dengan permohonan itu, Mandala berharap memiliki waktu untuk merestrukturisasi keuangan perusahaan, sekaligus memberi ruang bagi investor baru masuk menyuntikan dana ke maskapai berusia 40 tahun tersebut. Manajemen berharap Mandala bisa beroperasi kembali setelah restrukturisasi tuntas. "Dengaan restrukturisasi, kami berharap dapat memiliki positioning dan pembangunan merek yang jelas agar memperkokoh operasional perusahaan," ujar Kepala Humas Mandala Airlines Nurmaria Sarosa.

Sebelum bangkrut, Mandala yang dulunya dimiliki oleh Kesatuan Militer (Kostrad) pada 1990, sebenarnya sudah beralih kepemilikan saham kepada Cardig International (51 persen) dan Indigo Partners (49 persen). Di bawah pemilik baru, Mandala yang bertarung di tarif murah ini dikenal memiliki keselamatan yang bagus, serta ketepatan waktu pemberangkatan rata-rata 83 persen pada 2010.

Mandala yang berada di tubir jurang hanya satu contoh dari beratnya bisnis penerbangan. Sejumlah maskapai lain, baik domestik dan di luar negeri juga nyaris bangkrut gara-gara persoalan beban utang yang sungguh berat. Bahkan, ada yang tertolong, benar-benar jatuh ke jurang seperti maskapai Adam Air.

Simak saja peristiwa awal tahun 2010 lalu. Dunia bisnis penerbangan dikagetkan oleh bangkrutnya raksasa penerbangan dari Jepang, yakni Japan Airlines (JAL). Maskapai ini tak mampu menanggung utang korporat hingga US25,6 miliar sehingga harus mengajukan perlindungan pailit ke Pengadilan Distrik di Tokyo agar bisa merestrukturisasi perusahaan, mendapat suntikan dana baru. Sekarang JAL selamat dan bisa beroperasi kembali.

Delapan bulan berikutnya, Agustus 2010, kisah serupa datang dari Meksiko, maskapai Mexicana Airlines juga bangkrut, serta mengajukan permohonan perlindungan pailit agar bisa merestrukturisasi perusahaan. Perusahaan penerbangan berusia 89 tahun ini rugi besar dan menanggung beban utang US$800 juta akibat resesi ekonomi Meksiko. Agar bisa beroperasi kembali, perusahaan memangkas jumlah karyawan, memotong gaji dan merestrukturisasi pinjaman.

"Bisnis penerbangan memang bukan bisnis murah," ujar Dirjen Perhubungan Udara Herry Bakti kepada VIVAnews.com. Di Indonesia saja, kata dia, setiap maskapai wajib minimal mendatangkan 10 pesawat, apakah dengan cara membeli atau menyewa. Jumlah pesawat sepuluh jelas bukan barang murah sehingga kondisi keuangan perusahaan harus benar-benar diperhatikan.

Itu baru dari jumlah pesawat yang biaya sewa atau harga belinya juga mahal. Menurut mantan direktur utama Adam Air, Adam Suherman, ada sejumlah faktor lain yang membuat bisnis penerbangan sering kolaps. "Mulai dari persaingan ketat, harga sewa mahal, hingga biaya bahan bakar mahal," katanya.

Mengenai persaingan, Adam mengatakan, bila menyasar penerbangan lokal, saat ini maskapai-maskapai nasional banyak yang telah mapan. Garuda Indonesia telah mengganti dengan pesawat-pesawat baru.

Lion Air juga sudah membeli puluhan pesawat dan menguasai sejumlah rute domestik. Indonesia AirAsia didukung grup besar dari Malaysia. Sementara itu, bila menyasar penerbangan internasional, kondisinya tidak jauh lebih baik. Perusahaan bakal bertempur dengan maskapai-maskapai raksasa dunia, seperti Singapore Airlines dan Cathay Pacific Airways. "Jadi, persaingan sangat berat."

Mahalnya harga sewa pesawat juga menjadi pertimbangan sendiri. Menurut Adam, harga sewa pesawat-pesawat baru tipe Airbus 320 dan Boeing 737-800 Next Generation sekitar US$300 ribu per bulan. Lalu, jika membeli harganya US$70 juta. "Jika tak ada dukungan dana besar, maka akan sulit," katanya. Padahal, jika jumlah pesawat yang disewa sedikit, kurang dari 10 unit, maka tidak akan mampu untuk menutupi biaya operasional.

Direktur Teknik Garuda Indonesia, Ari Sapari membenarkan dalam bisnis penerbangan bukan hanya butuh modal besar. Maskapai harus jeli dalam menetapkan strategi bisnis, menutup biaya operasi yang besar, hingga bagaimana mendapatkan pemasukan dan menguntungkan perusahaan. Kalau berhasil, sebenarnya penerbangan itu bisnis yang sangat menguntungkan.

C3 Aircross Dijual Murah, Citroen Tak Berminat Pasang Target Penjualan

"Ada pepatah, jika ingin untung besar, ada dua pilihan, berjudi dan bisnis penerbangan," ujarnya kepada VIVAnews.com. (hs)

Nurul Ghufron diperiksa Dewas KPK

MAKI Kirim Surat ke Nurul Ghufron, Minta Bantuan Mutasi ASN di Papua ke Jawa

Koordinator MAKI Boyamin Saiman mengirimkan sebuah surat kepada Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron meminta bantuan mutasi ASN dari Papua ke Jawa

img_title
VIVA.co.id
26 April 2024