Soal Ekstradisi, Singapura Ingin Apa?

Kota Singapura
Sumber :
  • flickr - slack12

VIVAnews – Bukan rahasia lagi bila sejumlah buronan asal Indonesia senang lari ke Singapura untuk menghindari aparat hukum. Sebut saja nama Anggoro Widjojo, Gayus Tambunan, Nunun Nurbaeti, dan yang terakhir adalah Muhammad Nazaruddin.

Anggoro adalah tersangka kasus korupsi pengadaan Sistem komunikasi Radio Terpadu di Departemen Kehutanan. Sedangkan Gayus adalah terpidana kasus mafia pajak dan Nunun adalah tersangka kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior BI. Nama terakhir, Nazaruddin, diduga terlibat kasus suap Seskemenpora soal pembangunan Wisma Atlet SEA Games di Palembang.

OJK Ingatkan Emak-emak Hati-hati Terjerat Rentenir: Bunganya Luar Biasa Mencekik Leher

Keempat orang itu mempunyai tiga kesamaan: memilih untuk ‘lenyap’ di Singapura, kecuali Gayus yang akhirnya bisa 'dibujuk' untuk kembali ke Indonesia. Angka itu belum termasuk bankir-bankir kakap yang memilih terbang ke Singapura. 

Antara lain misalnya, dua buron kasus PT Bank Century, Rafat Ali Rizvi dan Hesham Al Warraq. Lalu jangan lupakan Edi Tansil, terpidana kasus ekspor fiktif yang sempat singgah di Singapura sebelum dikabarkan menetap di China. Ada pula Bambang Soetrisno dan Adrian Kiki Ariawan, terpidana seumur hidup kasus BLBI Rp1,5 triliun yang singgah ke Singapura sebelum terbang ke Hongkong dan Australia.

Feline Lower Urinary Tract Disease: All Cat Lovers Need to Know

Sangking jengkelnya dengan fakta itu, Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, mendesak pemerintah dan DPR merundingkan kembali soal perjanjian ekstradisi dengan Singapura.

Tanpa perjanjian ekstradisi yang mengikat antarkedua negara, Mahfud menilai penegak hukum Indonesia akan selalu kesulitan untuk mengejar buronan atau koruptor yang kabur ke Singapura.

“Penjahat-penjahat, koruptor-koruptor kita yang lari ke sana, aman semua. Sejak dulu saya katakan, Singapura harus dipaksa untuk mengadakan perjanjian ekstradisi,” kata Mahfud, Kamis 2 Juni 2011 lalu.

Ia menekankan, kondisi seperti itu tidak dapat dibiarkan terus-menerus, karena para pelaku korupsi asal Indonesia akan mendepositokan sejumlah besar uang hasil korupsinya di Singapura. Hal itu sudah pasti akan menguntungkan Singapura dan merugikan Indonesia.

Kedutaan Besar Singapura di Jakarta, membantah ucapan Mahfud MD soal ketiadaan perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura. Mereka menegaskan, perjanjian ekstradisi dan persetujuan kerja sama pertahanan sudah ditandatangani oleh kedua negara pada tahun 2007.

“Penandatanganan perjanjian tersebut juga disaksikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong di Bali pada 27 April 2007,” kata Sekretaris Pertama Bidang Politik Kedutaan Besar Singapura di Indonesia, Herman Loh, dalam keterangan tertulis yang diterima VIVAnews.com, Sabtu malam, 4 Juni 2011.

Loh menegaskan, Singapura berkomitmen penuh terhadap perjanjian tersebut, dan saat ini sedang menunggu Indonesia untuk meratifikasinya.

Megawati Bersedia Bertemu Prabowo tapi Ada Syarat-syaratnya, Kata Elite PDIP

Lantas, sebetulnya ada atau tidak perjanjian ekstradisi antara Singapura dan Indonesia? Mana yang benar? Bila Indonesia belum meratifikasi perjanjian tersebut, apa alasannya?

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia, Michael Tene, membenarkan keterangan Kedutaan Besar Singapura. Perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura memang sudah ditandatangani. “Tapi perjanjian tersebut tidak dapat diberlakukan jika belum diratifikasi,” ucapnya, persis seperti penjelasan Loh.

Lalu mengapa Indonesia tidak meratifikasinya? Tene memaparkan, ada perbedaan posisi antara Indonesia dan Singapura dalam memandang perjanjian ekstradisi.

Singapura menginginkan perjanjian ekstradisi sepaket dengan kerja sama pertahanan atau Defence Cooperation Agreement (DCA), sedangkan Indonesia ingin agar kedua perjanjian itu berdiri sendiri-sendiri.

“Singapura mengkaitkan kedua perjanjian itu, sementara Indonesia tidak. Indonesia ingin perjanjian ekstradisi diratifikasi tanpa harus menunggu ratifikasi kerja sama pertahanan,” jelas Tene.

Posisi indonesia saat ini adalah, bersedia meratifikasi perjanjian ekstradisi, namun tidak bersedia meratifikasi kerja sama pertahanan yang dinilai masih menyimpan masalah dalam sejumlah pasalnya.

Pasal bermasalah tersebut adalah soal diperbolehkannya Singapura latihan militer di wilayah Indonesia, termasuk bila mereka menggelar latihan perang dengan negara lain. Poin ini dinilai merugikan Indonesia, karena Singapura nantinya akan mengetahui secara persis kondisi geografis Indonesia yang notabene merupakan wilayah kedaulatan RI dan menjadi daerah latihan TNI.

Jadi, meskipun yang bermasalah hanya pasal dalam kerja sama pertahanan, sementara perjanjian ekstradisi kedua negara sebetulnya tidak bermasalah, Singapura tetap menolak ratifikasi salah satu perjanjian saja. Mereka ingin perjanjian ekstradisi diratifikasi bersama kerja sama pertahanan, atau tidak sama sekali. “Akibatnya, perjanjian ekstradisi belum bisa dijalankan oleh kedua negara,” ujar Tene.

Kesimpulannya, tegas dia, perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura belum bisa berjalan. "Artinya, tidak ada perjanjian ekstradisi antara kedua negara.”

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya