Darsem, Jalan Panjang Menuju Pulang

Darsem (tengah) saat disambut di Kementerian Luar Negeri RI
Sumber :
  • Dokumentasi Kementerian Luar Negeri RI

VIVAnews – Para juru foto itu berebutan. Berusaha mengambil gambar.  Berdesakan. Dirubung begitu rupa Darsem sedikit ketakutan. Sang ayah, Dawud Tawar, langsung merangkul. Dia berdiri di depan para juru foto dan kameraman itu. “ Foto saya saja. Foto saya saja,” kata Dawud  sembari melindungi anaknya itu.

NASA Sebut Ada Lebih dari 5.000 Planet di Luar Tata Surya, Begini Penjelasannya

Rabu, 13 Juli 2011, kemarin itu, bukan cuma keluarga dari Subang Jawa Barat yang datang menjemput Darsem, tapi juga puluhan wartawan.  Sebab Darsem adalah sebuah berita gembira, di tengah bertaburnya berita duka seputar Tenaga Kerja Indonesia bertahun belakangan.

Sesudah Ruyati dipancung Juni lalu -- dan sejumlah nama lain diambang kematian -- sejumlah kalangan ramai menghujat pemerintah yang disebut kurang beres mengurus para pahlawan devisa ini. Diplomasi kita dianggap tidur, sebab sama sekali tidak tahu Ruyati dipancung.

Darsem adalah bukti sebaliknya. Diplomasi bekerja. Bahwa setiap nyawa warga Indonesia di manapun,  berharga di mata pemerintah. Dan pemerintah sukses. “Ini pekerjaan 24 jam selama 7 hari,” kata Menteri Luar Negeri, Marty Natalegawa.

Guru dan IRT Jadi Korban Pinjol Ilegal Terbanyak, OJK: Cek Legalitas dan Logis Sebelum Pinjam

Darsem divonis pancung oleh Pengadilan Riyadh pada 6 Mei 2009,  lantaran membunuh majikannya yang berasal dari Yaman, Waled bin Salem. Darsem terpaksa membunuh, karena sang majikan mencoba memperkosa Ibu muda ini.

Ia selamat dari kematian karena keluarga korban memberi pengampunan. Tapi harus membayar yang diyat sebesar Rp 4,7 miliar. Pemerintah membayar uang itu. Darsem pun selamat.  Selepas dari Kementerian Luar Negeri itu, keluarga langsung memboyong Darsem ke Subang. Di sana sanak keluarga dan para tetangga sudah menyiapkan penyambutan.

Rp4,7 Miliar atau Mati
Nasib Darsem memang  tidaklah senaas Ruyati, seorang nenek asal Bekasi, Jawa Barat itu. Setelah divonis pancung pengadilan,  Darsem mendapat pengampunan dari keluarga korban. Ruyati tidak. Pengampunan dari keluarga itu memang diperoleh lewat jalan berliku nan panjang.

Rendahnya Literasi Keuangan Picu Meningkatnya Korban Pinjol Ilegal

Divonis pancung tanggal 6 Mei 2009 itu. Diampuni keluarga setahun lebih kemudian. Tanggal 7 Januari 2011.  Tapi ada syaratnya. Darsem harus membayar uang diyat sebesar Rp4,7 miliar. Uang diyat adalah semacam uang ganti rugi atau uang santunan.  Batas waktu uang santuan itu tanggal 7 Juli 2011.

Mengumpulkan uang sejumlah itu bukan perkara mudah bagi pemerintah Indonesia. Pada bulan Maret 2011, Kedutaan Besar Republik Indonesia di Riyadh baru berhasil mendapat dana Rp1 juta dari seorang donatur Arab Saudi.
KBRI juga menghubungi sejumlah donatur lain untuk membantu membayar diyat Darsem. Tak ketinggalan, berbagai kalangan  di tanah air juga mengumpulkan dana.

Riuh begitu rupa, uang yang terkumpul uang yang terkumpul belum banyak juga. Bahkan hingga Juni 2011. Pemerintah masih harus mengumpulkan Rp4,6 miliar untuk menyelamatkan kepala Darsem.

“Kami berupaya memperoleh dana tersebut dari berbagai kalangan. Tapi upaya tersebut belum optimal,” kata Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa, 20 Juni 2011 lalu. Oleh karena itu, pemerintah meminta kesepakatan DPR untuk mengucurkan dana perlindungan warga negara.

Rapat antara Komisi I DPR dan Kementerian Luar Negeri akhirnya sepakat untuk membayar diyat Darsem. Uang diyat diambil dari anggaran Kemenlu di APBN. “Untuk Darsem, pembayaran diyat dialokasikan dari anggaran Kemenlu,” kata Ketua Komisi I Mahfudz Siddiq.

“Komisi I meminta Kemenlu untuk berkoordinasi dengan Kementerian Tenaga Kerja dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, untuk menyelesaikan alokasi bersama sebesar Rp4,6 miliar,” terang Mahfudz. Namun jika Kemenakertrans dan BNP2TKI tidak bisa mengalokasikan dana diyat karena alasan-alasan tertentu, maka Komisi I menyetujui anggaran diambil dari dana perlindungan warga milik Kemenlu.

Pada 21 Juni 2011, sehari setelah Komisi I DPR dan Kemenlu menyepakati pencairan dana bagi Darsem, tanpa membuang waktu lebih lama lagi, Kemenlu membayarkan diyat untuk Darsem. Uang ditransfer ke KBRI Riyadh untuk disampaikan kepada keluarga majikan Darsem di Saudi. “Uangnya langsung dibayarkan ke ahli waris korban,” kata Juru Bicara Kemenlu, Michael Tene.

Kronologi Pembebasan Darsem
Direktur Timur Tengah Kemenlu, Rony Yuliantoro, memaparkan kronologi upaya pembebasan Darsem dari hukuman pancung.
23 Juni 2011: Pemerintah RI memerintahkan pembebasan Darsem melalui Instruksi Menlu.
25 Juni 2011: Pemerintah RI menyerahkan uang diyat sebesar Rp4,6 miliar lewat KBRI Riyadh, di hadapan Majelis Pengadilan Tinggi Riyadh dan ahli waris korban.

Meski telah membayar diyat, Darsem saat itu tak bisa langsung bebas. Ia masih harus dibebaskan secara hukum publik. Oleh karena itu, pemerintah RI berkoordinasi dengan Gubernur Riyadh untuk membicarakan pembebasan Darsem. Dilakukan pula penghitungan masa tahanan Darsem, apakah sudah memenuhi kriteria untuk diberi pengampunan oleh Raja.

27 Juni 2011: Darsem memenuhi kriteria pengampunan oleh Raja.
27 Juni-12 Juli 2011: Proses pembebasan final Darsem, meliputi kelengkapan dokumen administratif.
13 Juli 2011: Darsem tiba di tanah air.

Perjuangan Keluarga Darsem
Rabu 22 Juni 2011 Dawud Tawar jatuh pingsan.  Dia terkulai di gedung Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta. Dawud datang ke sana, memperjuangkan pembebasan sang anak. Saat bertemu dengan pimpinan dewan, dia justru kehabisan tenaga. Jatuh pingsan.

Dawud pun dilarikan ke klinik DPR. “Setelah dicek di klinik, Pak Dawud ternyata punya riwayat sakit jantung,” kata Ketua Komisi I DPR, Mahfudz Siddiq.
Menurut Mahfudz, Dawud meminta pemerintah dan DPR serius untuk membantu anaknya pulang ke Indonesia. “Darsem tidak bersalah. Ia hanya membela diri,” ujar Mahfudz menirukan perkataan Dawud.

Duka juga menyergap anak Darsem . Dia kerap menangis. Memanggil nama-nama ibunya saat malam tiba.  “Dia mungkin tak tahu masalahnya, tapi alam bawah sadarnya bisa menerjemahkan,” kata kerabat Darsem, Elyasa Budiyanto.

Anak Darsem juga sering bertanya kenapa foto ibunya kerap muncul di televisi dan koran. Belum lagi teman-teman sepermainannya di desa dan sekolah mengatakan jika ibunya akan dihukum mati.

Di Kantor Kementerian Luar Negeri itu, Darsem memeluk erat anak semata wayangnya. Sang anak ditinggal pergi oleh Darsem ketika usianya baru 8 bulan. Anak empat tahun itu seperti tak ingin lepas dari sang Ibu. “Saya ingin menjaga dan memelihara anak saya,” kata Darsem.


Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya