Jakarta, Kota Mahal Bagi Ekspatriat

Lapangan Monumen Nasional (Monas)
Sumber :
  • VIVAnews/Nicolaus Tomy Kurniawan

VIVAnews - Indonesia kini masuk dalam radar dunia, dan menjadi rujukan dalam perhitungan bisnis bagi perusahaan asing. Survei yang dipublikasikan lembaga riset konsultasi, outsourcing dan investasi Mercer’s di London menyebutkan Jakarta adalah salah satu kota termahal bagi tenaga kerja asing (TKA).

Cerita Kevin Gomes Cetak Gol Perdana Untuk PSS Sleman

Dalam laporan berjudul Mercer's Cost of Living Survey 2011 disebutkan Jakarta menempati peringkat 69 daftar kota termahal bagi ekspatriat. Ini berarti Jakarta masih lebih mahal ketimbang kota-kota utama di Asia Tenggara, kecuali Singapura. Hanoi menempati peringkat 136, Bangkok 88, sedangkan Kuala Lumpur di posisi 104.

"Sebagian besar kota-kota di Asia rata-rata mengalami kenaikan peringkat karena ketersediaan harga akomodasi bagi ekspatriat masih terbatas, sedangkan permintaan telah tinggi," ujar Nathalie Constantin-Métral, peneliti senior Mercer's, seperti yang tertera di laman lembaga itu, Rabu, 13 Juli 2011.

PAN Persilakan PPP Gabung Koalisi Prabowo-Gibran: Jangan Bikin Syarat Rumit

Survei Mercer's itu melibatkan 214 kota terkemuka di dunia. Penelitian itu berdasarkan harga makanan, tempat tinggal, transportasi, hiburan, dan pakaian. New York City menjadi patokan perbandingan, karena semua harga diukur dengan mata uang dolar AS.

Hasil survei Mercer's itu menambah panjang daftar hasil penelitian lembaga internasional serupa.  Sebelumnya, sebuah survei yang dibuat konsultan sumber daya manusia ECA Internasional, juga mengungkapkan daftar kota-kota termahal di dunia.

Suzuki Jimny 3 Pintu di Indonesia Bermasalah Pompa Bahan Bakar, Apa Efeknya Jika Tak Diganti?

Dari hasil survei ini, ECA International menempatkan tiga kota di Indonesia yang masuk daftar kota dengan biaya hidup termahal di dunia. Ketiga kota ini adalah Jakarta, Surabaya, dan Balikpapan. Untuk level dunia, ketiga kota besar ini memang masuk peringkat ratusan di dunia.

Jakarta tercatat berada pada posisi ke 102, diikuti Surabaya berada di posisi 173 dan posisi Balikpapan ada di 187 dunia. Namun, jika dikerucutkan ke level Asia, tiga kota besar di Indonesia ini masuk daftar 40 kota berbiaya hidup paling mahal di Asia.

Kota metropolitan Jakarta bahkan berada di posisi ke-15 di Asia, naik satu peringkat dari tahun sebelumnya, 16. Sementara Surabaya dan Balikpapan berada pada posisi 31 dan 34 dari sebelumnya posisi 31 dan 33 di Asia.

Metode survei ini memakai indikator biaya hidup, dilihat dari tiga kebutuhan yaitu bahan makanan, kebutuhan dasar, serta kegiatan makan di luar rumah. Pada surveinya kali ini, ECA International tak memasukan biaya hidup seperti akomodasi, kebutuhan rumah tanggap (listrik, gas, dan air bersih), pembelian mobil, dan biaya sekolah. Biaya itu memang bisa mengubah pemeringkatan kali ini. Tapi biasanya fasilitas itu sudah disediakan oleh perusahaan bagi para ekspatriat.

Bergaji tinggi

Sejak mengalami titik balik ekonomi mengesankan pasca krisis moneter 1998, Indonesia memang diincar para investor asing. Tak hanya mendirikan perusahaan di tanah air, pemodal asing kerap menempatkan tenaga kerjanya di Indonesia mengawasi roda operasional perusahaan.

Ada penjelasan menarik dari hasil Survei Nasional Tenaga Kerja Asing di Indonesia tahun 2009 yang dikeluarkan Bank Indonesia pada Juli 2010. Di sana dikatakan sejalan dengan globalisasi yang mendorong pergerakan aliran modal dan investasi ke berbagai penjuru dunia, terjadi pula migrasi penduduk atau pergerakan tenaga kerja antara negara.

Sejak masa Orde Baru hingga saat ini, kebijakan pemerintah atas masuknya ekspatriat tetap konsisten, yaitu selektif terhadap jabatan tertentu yang memang belum memungkinkan diisi oleh tenaga kerja dari Indonesia. Disamping itu, penempatan TKA harus mendapat izin terlebih dahulu dari menteri.

Pada saat ini, tata cara penggunaan tenaga kerja asing diatur melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Per.02/Men/III/2008 yang mengatur kewajiban calon TKA mempunyai pengalaman sekurang-kurangnya 5 tahun sesuai jabatan yang akan diduduki, kesediaan mengalihkan keahliannya kepada tenaga kerja Indonesia, dan dapat berkomunikasi dalam bahasa Indonesia.

Data Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) menunjukan jumlah TKA bekerja di Indonesia sejak 2005 terus meningkat. Jumlah TKA memang sempat menurun pada periode 2007 hingga kuartal I-2008 karena diberlakukannya desentralisasi perpanjangan izin TKA.

Pada 2005, jumlah TKA tercatat sebanyak 21.255 orang, dan melonjak hampir 121 persen menjadi 46.876 orang pada akhir Juli 2009. Artinya, pertambahan terjadi setiap tahun sebesar 25 persen pada kurun waktu itu.

Selama ini ekspatriat di Indonesia terkonsentrasi di Pulau Jawa khususnya di wilayah DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Total TKA bekerja di wilayah ini tercatat sebesar 92,3 persen pada tahun 2005 dan turun menjadai 82 persen pada tahun 2009.

Secara umum, ekspatriat biasanya berprofesi sebagai konsultan, direktur, komisaris, manajer, profesional, supervisor, dan teknisi. Hasil survey BI juga menunjukkan, para ekspatriat umumnya menerima gaji (regular) per bulan pada kisaran Rp25 juta – Rp50 juta dan kompensasi per bulan sekitar Rp10 juta–Rp25 juta.

Ongkos hiburan

Ahli ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani menolak penilaian kedua lembaga tersebut. Malah, menurutnya, ekspatriat di Indonesia justru bergaji sangat tinggi dibandingkan biaya hidup yang harus dikeluarkan. "Mahalnya Jakarta bagi ekspatriat, bukan karena harga-harga barang kebutuhan yang mahal, tapi lebih karena pola konsumtif mereka," ujar Aviliani kepada VIVAnews.com.

Dia membandingkan kebiasaan para ekspatriat di Indonesia dan Singapura  jauh berbeda. Umumnya TKA di Singapura memiliki tingkat konsumsi lebih rendah dibandingkan pekerja asing di tanah air. Aviliani menduga, tingginya biaya hidup yang dikeluarkan ekspatriat, lebih disebabkan kebutuhan biaya hiburan TKA di Indonesia terbilang cukup tinggi. 

Namun apapun kondisinya, Aviliani menilai, penetapan Jakarta sebagai salah satu kota termahal di dunia bisa memberikan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Alasannya, semakin tinggi pengeluaran yang dilakukan ekspatriat, maka semakin besar pula kontribusi bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional. Industri yang selama ini menikmati berkah dari pengeluaran ekspatriat itu adalah perusahaan yang bergerak di sektor jasa seperti hotel, klub, dan gaya hidup.

Aviliani juga mengaku tidak khawatir jika nantinya Jakarta betul-betul menjadi salah satu kota termahal di dunia. Dia yakin, investor asing masih akan tetap melirik Indonesia. "Dengan demand Indonesia yang besar, mereka berani membayar mahal karena pasar Indonesia sangat menguntungkan," ujarnya.

Hal sama dikatakan Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Rusman Heriawan kepada VIVAnews.com. Menurutnya, persepsi mahalnya Jakarta dari kacamata ekspatriat tidak bisa disamakan dengan pandangan dari masyarakat lokal. "Perlu diketahui, apa yang dikonsumsi, apa yang dibutuhkan ekspatriat berbeda dengan masyarakat kita secara umum," ujar Rusman. (np)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya