Agar Badan Anggaran Tak Jadi Bandit Anggaran

Marzuki Alie (Demokrat)
Sumber :
  • Antara/ Fanny Octavianus
Film Badarawuhi di Desa Penari Bakal Tayang di 28 Negara Bagian AS
Tim Pengawal Anies Pamitan usai Pilpres 2024 Berakhir
Perasaan Shin Tae-yong Usai Timnas Indonesia U-23 Singkirkan Korea Selatan

VIVAnews - Badan Anggaran DPR terus menjadi sorotan. Apalagi, setelah pada Jumat kemarin, 16 September 2011, Wakil Ketua DPR Pramono Anung mengungkapkan bahwa Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) telah mengidentifikasi 21 transaksi mencurigakan yang dilakukan anggota Badan Anggaran DPR RI.

Ketua DPR RI dan Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Marzuki Alie pun mengkonfirmasikan temuan PPATK itu. Dia mengatakan 21 transaksi itu bermuara pada satu anggota Dewan. Hanya saja, siapa gerangan “tersangka” itu Marzuki enggan menyebutkannya.

"Ada satu orang, transaksinya mencapai 21 kali. Nilai transaksinya Rp500 juta sampai beberapa miliar dan itu dicurigai," kata Marzuki Alie pada acara Halal Bihalal Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama DKI Jakarta di Masjid Istiqlal, Jakarta, Minggu, 18 September 2011. "Ini kan masih investigasi, tidak baik menyebutkan nama. Sifatnya masih rahasia."

Adalah anggota Badan Anggaran DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Wa Ode Nurhayati, yang merasa dialah yang tengah ditunjuk hidung. Wa Ode mengaku mendapat kabar bahwa dirinya disebut-sebut merupakan pelaku 21 transaksi mencurigakan, yang disebut dalam laporan PPATK itu. Wa Ode membantah keras dan menyatakan siap membuka segala transaksi yang pernah dilakukannya. Anggota DPR dari daerah pemilihan Sulawesi Tenggara itu membantah pernah melakukan transaksi ilegal.  

"Saya sangat yakin, saya tidak pernah melakukan transaksi ilegal, transaksi kolektif di DPR. Dan itu bisa dibuktikan lewat transaksi saya. Semua transaksi saya berdasarkan UU," kata Wa Ode.

Bila memang benar dirinyalah yang disebut sebagai pelaku 21 transaksi mencurigakan itu, Wa Ode melihat ini merupakan rentetan dari kasus yang pernah melilitnya beberapa waktu lalu. Kasus itu berawal dari ketimpangan di Badan Anggaran. Dia ketika itu mengungkapkan bahwa sedianya ada 120 daerah yang seharusnya mendapat anggaran Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID), tetapi belakangan malah dialihkan ke daerah lain. Kesal, dalam sebuah program dialog di televisi, dia lantang menyatakan, "Pimpinan Dewan penjahat anggaran."

Akibat pernyataannya itu, Ketua DPR Marzuki Alie melaporkan Wa Ode ke Badan Kehormatan DPR. Sejauh ini, Wa Ode setidaknya sudah dua kali diperiksa Badan Kehormatan.

Di luar perseteruan Wa Ode dengan Marzuki Alie, kiprah Badan Anggaran sendiri belakangan menuai kritik keras. Banyak kalangan mencurigai badan inilah salah satu sumber korupsi besar-besaran di tubuh Dewan. Dan anehnya, lembaga penegak hukum tak kunjung bergerak untuk menyelidikinya.

Desakan LSM antikorupsi

Karena itu, sejumlah LSM antikorupsi menggelar jumpa pers di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW) di Jakarta Selatan, Minggu 18 September 2011, menyoroti fenomena yang kian mengkhawatirkan ini.

Peneliti ICW Ade Irawan, misalnya, mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mulai mengawasi dan mengusut dugaan korupsi di Badan Anggaran. Melibatkan PPATK saja dinilainya tidak mencukupi. "Masalahnya PPATK cuma gelandang, kalau diminta baru jalan. Mestinya KPK bukan cuma minta bantuan PPATK, tapi juga memanfaatkan UU Anti Pencucian Uang untuk mulai melakukan tracking," katanya

Adapun Koordinator Indonesia Budget Center (IBC) Roy Salam menilai Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) masih lemah menjalankan fungsi dan tugasnya dalam mengaudit keuangan negara. Menurut dia, merajalelanya mafia anggaran di Badan Anggaran DPR tak bisa dilepaskan dari BPK yang tidak menjalankan tugasnya secara maksimal. "Korupsi anggaran tidak akan terjadi jika fungsi BPK berjalan. Kita harus akui fungsi BPK lemah. BPK tidak bekerja secara maksimal dalam mengaudit keuangan negara," demikian Roy mengritik dalam jumpa pers yang sama.

Desakan serupa juga disuarakan Direktur Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Ronald Rofiandri. Dia meminta KPK agar segera mengawasi dan mengusut praktik mafia anggaran di Badan Anggaran DPR. PSHK secara khusus menyoroti praktik Badan Anggaran yang selama ini kerap menghasilkan berbagai kesepakatan di luar rapat formal. "KPK jangan cuma mengandalkan pada pemantauan rapat-rapat Badan Anggaran secara fisik," katanya. 

Inisiatif DPR mengundang kehadiran KPK dan BPK dalam setiap rapat, tambah Ronald, sesungguhnya merupakan langkah yang baik untuk mencegah praktik mafia anggaran di Badan Anggaran. Namun, sejatinya praktik mafia anggaran tidaklah terjadi di dalam rapat-rapat formal itu, tetapi di luar persidangan anggota Dewan. Ronald mendesak KPK untuk menyusuri modus yang sangat beragam yang biasa dilakukan mafia anggaran, yang pada umumnya tak berlangsung di tempat yang terang.   

Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) malah menilai Badan Anggaran DPR sudah melampaui batas kewenangannya. Hal ini antara lain terlihat dalam kasus suap di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi pimpinan Muhaimin Iskandar. Sekretaris Jenderal Fitra, Yuna Farhan, menyoroti  adanya pertanyaan dari Komisi IX DPR—yang membidangi tenaga kerja—dan tidak tahu-menahu tentang pengalokasi dana oleh Badan Anggaran dalam kasus ini. Menurut Yuna, hal itu jelas merupakan pelanggaran undang-undang. Pasal 107 ayat 2 UU Nomor 27/2009 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD menyatakan Badan Anggaran hanya berwenang membahas pengalokasian anggaran yang sudah diputuskan oleh Komisi.

"Artinya, Badan Anggaran telah melampaui kewenangannya karena langsung membahas bersama mitra, Kemenakertrans, tanpa melalui Komisi IX," kata Yuna, Minggu 18 September 2011.

Belum lagi, berdasarkan Tata Tertib DPR, penempatan Dana Alokasi Khusus seharusnya dilakukan berdasarkan usulan daerah dan kriteria teknis yang ditetapkan Komisi bersangkutan.

Yuna menilai, kasus suap di Kemenakertrans menunjukkan korupsi berpeluang terjadi hampir di semua area lain yang juga dikucuri Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) dan Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPPID). Dia mengingatkan, selain anggota Badan Anggaran sendiri sebagai penentu alokasi dan daerah, mafia anggaran dapat melibatkan staf di Badan Anggaran, staf Kementerian, kontraktor, aparat pemerintah daerah, maupun aktor lain yang memiliki akses terhadap kedua dana ini.

"Sumber persoalannya terdapat pada Badan Anggaran yang telah melampaui kewenangannya, sehingga menjadikan kedua dana alokasi ini sebagai ajang bancakan (dibagi-bagi) bandit anggaran," kata Yuna.

Fitra mengambil contoh kasus yang kini sedang tajam disorot: korupsi Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPPID) untuk Kawasan Transmigrasi. Dana transfer daerah ini tumpang tindih dengan dana yang ternyata juga dialokasikan dari Kementerian, dan karenanya rawan digelapkan.

Menurut catatan Fitra, DPPID untuk Kawasan Transmigrasi baru ada pada UU APBN-P 2011 pasal 27 ayat 11. Besarannya tidak tanggung-tanggung, total Rp6,31 triliun. Dana segemuk itu diperuntukkan bagi keperluan Infrastruktur Pendidikan Rp613 miliar, Infrastruktur Kawasan Transmigrasi Rp500 miliar dan Infrastukur Lainnya Rp5,2 triliun.

Persoalannya, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi sendiri ternyata juga mengalokasikan dana untuk program serupa. Salah satunya, dana untuk tugas pembantuan dan program pembangunan pemukiman kawasan transmigrasi senilai Rp469,4 miliar. Menurut Yuna, ada 10 daerah yang telah mendapat alokasi DPPID sekaligus dana tugas pembantuan dari Kemenakertrans. Di lapangan, kegiatannya praktis sama, yakni untuk pembangunan infrastruktur intra dan antar-kawasan transmigrasi serta fasilitas umum sosial transmigrasi.

"Menjadi pertanyaan di sini, kenapa kegiatan yang sama dialokasikan dana yang berbeda?" Yuna bercuriga. Belum lagi, katanya mengingatkan, "Proyek ini berada di daerah.” (kd)

 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya