APBN Merugi, Apa Penyebabnya?

Kantor Pusat Badan Pemeriksa Keuangan.
Sumber :
  • www.streetdirectory.com

VIVAnews- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) masih menemukan masalah transparansi dan ketertiban pengelolaan keuangan negara. Dalam hasil evaluasi Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), BPK menemukan 235 kasus merugikan negara senilai Rp294,2 miliar dan 39 kasus berpotensi merugikan negara senilai Rp429,96 miliar dan US$11,72 miliar.

Dalam sidang pleno Ekspektasi BPK terhadap Kinerja Pengelolaan Keuangan Pemerintah, Anggota BPK, Taufiequrachman Ruki menjelaskan kasus kerugian negara yang terjadi umumnya terkait belanja fiktif, kekurangan volume, menaikkan harga, penggunaan uang untuk kepentingan pribadi, dan pembayaran honorarium atau perjalanan dinas ganda.

Ruki menjelaskan, untuk kasus potensi kerugian negara yang terjadi, umumnya berupa rekanan yang belum melaksanakan pemeliharaan barang hasil pengadaan yang telah rusak selama masa pemeliharaan, aset dikuasai pihak lain, piutang yang berpotensi tidak tertagih dan pihak ketiga yang belum melaksanakan kewajiban untuk menyerahkan aset kepada negara.

Terkait anggaran perjalanan dinas ini, sejatinya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga telah menyampaikan keinginannya untuk mengurangi biaya perjalanan dinas. Dalam pembacaan penyampaian Keterangan Pemerintah atas RUU tentang RAPBN 2012 Beserta Nota Keuangannya di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa, 16 Agustus 2011 lalu, SBY mengatakan ia banyak mendapat laporan tentang dana daerah tidak dikelola secara efektif.

Dalam pidatonya, SBY prihatin banyaknya laporan pengelolaan APBD di daerah yang masih belum efektif. Sebagian belanja modal APBD, bahkan banyak digunakan untuk pembangunan rumah dinas dan pengadaan mobil dinas.

Peningkatan porsi belanja pegawai dalam APBD, ujar SBY, berkaitan erat dengan terjadinya penambahan dan pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (PNS) baru daerah setiap tahun. Padahal dalam banyak kasus, penambahan itu tak sesuai dengan kompetensi dan keperluannya.

Berkaitan dengan kondisi tersebut, SBY menginstruksikan para pimpinan daerah agar memperbaiki postur APBD dengan menempatkan kesejahteraan masyarakat sebagai prioritas utama, baik dalam perencanaan dan pelaksanaannya, maupun dalam pengelolaan keuangan daerah.

Sementara untuk belanja operasional seperti belanja pegawai, belanja barang, dan belanja perjalanan dinas, presiden berpesan agar sedapat mungkin dikurangi dan terus dijaga efisiensinya.



Untuk kinerja transparansi, Badan Pemeriksa Keuangan menemukan delapan kasus, di antaranya sistem pencatatan penerimaan perpajakan yang berbeda menurut Kas Negara dan Dirjen Pajak. BPK juga menemukan pembatalan penerimaan pajak oleh bank senilai Rp3,39 triliun yang penyebabnya belum dapat dijelaskan pemerintah.

Selain itu, masih terdapat kelemahan monitoring atas pencatatan penambahan piutang pajak, sehingga data penambahan dalam aplikasi piutang berbeda sebesar Rp2,51 triliun dengan dokumen, serta pengurangan piutang berbeda Rp1,03 triliun dengan penerimaannya.

BPK menemukan kelemahan yang mempengaruhi optimalisasi penerimaan pajak penghasilan (PPh) migas yaitu tidak ada instansi yang merekonsiliasi selisih kewajiban pajak penghasilan migas antara laporan gabungan satu wilayah kerja dan laporan bulanannya.

Selanjutnya, belum ada mekanisme penetapan dan penagihan PPh migas dan belum jelasnya kewenangan instansi terkait dalam menindaklanjuti hasil pemeriksaan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terkait kurang bayar PPh Migas.

"Permasalahan tersebut mengakibatkan selisih kewajiban PPh migas sebesar Rp1,25 triliun tidak dapat dipantau dan kekurangan PPh migas sebesar Rp2,6 triliun belum dapat ditagih," jelasnya.

BPK juga menemukan setidaknya terdapat 29 Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang tidak konsisten menggunakan tarif PPh migas. KKKS tersebut tidak menggunakan tarif PPh sesuai pokok-pokok kerja sama yang disusun untuk menentukan bagi hasil migas melainkan menggunakan tarif PPh berdasarkan tax treaty.

Dengan menggunakan tarif tax treaty tersebut kontraktor memperoleh bagi hasil lebih besar dari yang seharusnya, sedangkan pemerintah memperoleh bagi hasil yang lebih kecil sebesar US$155,7 juta atau setara Rp1,39 triliun dari yang seharusnya selama 2010.

Untuk penerimaan hibah, BPK menemukan adanya penerimaan hibah secara langsung pada 18 Kementerian dan Lembaga senilai Rp868,43 miliar, namun belum dikelola dalam mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Di bidang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNPB), BPK menemukan PNPB pada 41 Kementerian dan Lembaga sebesar Rp368,97 miliar yang belum dan atau terlambat disetor ke kas negara dan Rp213,75 miliar yang digunakan langsung di luar mekanisme APBN.

Tak hanya itu, hasil evaluasi BPK juga menemukan bahwa pemerintah belum menyempurnakan aturan mengenai tata cara pengelolaan, penggunaan, dan pertanggungjawaban potongan gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk iuran dana pensiun.

"Sehingga, status dana sejumlah Rp28,76 triliun dan penggunaannya untuk sharing pembayaran pensiun 1994-2008 sebesar Rp36,26 triliun belum jelas," kata Ruki.

Selain itu, BPK melihat alokasi belanja untuk kegiatan operasional Lembaga Penyiaran Publik Televisi Republik Indonesia (LPP TVRI), LPP Radio Republik Indonesia (LPP RRI), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Badan Pengusahaan Kawasan (BPK) Sabang, dan BPK Batam belum mempunyai status hukum terkait pengelolaan keuangan.

"Lembaga-lembaga tersebut belum memiliki bagian anggaran tersendiri. Selama 2008-2010 alokasi anggaran untuk kelima entitas tersebut di antaranya sebesar Rp2,48 triliun, Rp3,61 triliun dan Rp1,78 triliun," ujarnya.



Berdasarkan catatan VIVAnews, untuk pemeriksaan keuangan tahun buku 2010, jumlah kementerian/lembaga yang memperoleh opini Wajar Tanpan Pengecualian meningkat, dari 35 Kementerian dan Lembaga pada tahun 2008 menjadi 45 pada 2009 dan sebanyak 53 pada 2010.

BPK tidak memberikan pendapat atau disclaimer kepada dua kementerian atau lembaga yaitu Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Kesehatan. "Alasannya, karena tidak memenuhi syarat Wajar Tanpa Pengecualian," kata Ketua BPK Hadi Purnomo.

Lebih lanjut, Hadi merinci alasan mengapa dua kementerian tersebut disclaimer. Pertama, karena dalam laporan keuangannya ada hal yang tidak memenuhi Standar Akuntansi Pemerintah atau SAP.

Kedua, dalam penyajian data kurang lengkap. Ketiga, adanya ketidakpatuhan terhadap perundang-undangan. Keempat, Sistem Pengendalian Internnya masih banyak yang diperbaiki dan lemah.

Sementara dari sisi Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) 2009 mengalami penurunan kualitas. Buktinya, Laporan Hasil Pemeriksaaan Semester (LHPS) II-2010 menunjukkan LKPD yang memperoleh opini tidak wajar meningkat 54 persen dari 2008 sebanyak 31 laporan keuangan menjadi 48 laporan keuangan.

BPK menemukan kelemahan sistem pengendalian internal (SPI), terutama pada entitas yang memperoleh opini tidak wajar dan tidak memberikan pendapat baik pada sistem akuntansi dan pelaporan keuangan, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja maupun pada struktur pengendalian intern.

Walaupun jumlah LKPD yang memperoleh opini tidak wajar bertambah dari 499 LKPD tahun 2009 yang diperiksa pada tahun 2010, BPK mencatat adanya perbaikan LKPD yang memperoleh opini wajar tanpa pengecualian dari 13 LKPD menjadi 15 LKPD. Sementara itu, LKPD yang memperoleh opini wajar dengan pengecualian juga mengalami peningkatan dari 323 laporan menjadi 330 laporan.

Prestasi aparat daerah dalam membuat laporan keuangan juga terlihat dari berkurangnya LKPD yang memperoleh opini tidak memberikan pendapat dari 118 laporan menjadi 106 laporan keuangan.

Menurut Hadi Purnomi, kelemahan SPI yang sering terjadi dalam LKPD terutama pada pengendalian aset tetap seperti nilai aset tetap tidak dikapitalisasi dengan biaya-biaya yang telah dikeluarkan, perbedaan pencatatan antara saldo aset tetap pada neraca dengan dokumen sumber dan penyajian aset tetap tidak didasarkan hasil inventarisasi dan penilaian.

Pemeriksaan BPK terhadap LKPD tahun 2009 menemukan sedikitnya ada 1.460 kasus kelemahan SPI, dan 2.320 kasus ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang menyebabkan kerugian negara senilai Rp1,43 triliun. Dari temuan ketidakpatuhan ini, temuan yang mengakibatkan kerugian, potensi kerugian dan kekurangan penerimaan daerah yang telah ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah dengan penyetoran ke kas daerah selama proses pemeriksaan senilai Rp21,87 miliar. (sj)

Elite PAN soal PKB-Nasdem Gabung Prabowo: Ini Masih Perubahan atau Keberlanjutan? 
Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai Bali

Nasib 2 Debt Collector Ambil Paksa Mobil Polisi, Kemenhub Pangkas Jumlah Bandara Internasional

Berita tentang nasib dua debt collector yang hendak mengambil paksa mobil Aiptu Fandri di parkiran salah satu pusat perbelanjaan di Kota Palembang jadi yang terpopuler.

img_title
VIVA.co.id
27 April 2024