Temuan Baru Kasus Ruyati, Pemerintah Lalai?

Ruyati
Sumber :
  • VIVAnews / Erik Hamzah

VIVAnews - Sebuah fakta baru hadir terkait kasus pemancungan Ruyati Binti Satubi, Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di Arab Saudi. Tim advokasi almarhumah memiliki keyakinan bahwa tidak mungkin pemerintah tidak tahu adanya kasus pemancungan pada 8 Juni 2011 itu.

Kesimpulan itu didapati setelah tim advokasi mendatangi langsung Arab Saudi. Mereka mengunjungi tiga daerah--Jeddah, Mekkah dan Madinah selama 7 hari sejak tanggal 11-20 Agustus 2011. Biaya investigasi ini didanai dari Gerakan Rp1000 Untuk Ruyati.

Investigasi dilakukan langsung Een Nuraenah anak almarhumah. Een tidak sendirian. Dia ditemani oleh Nining Djohar dari Migrant Care, Alai Nadjib dari Fatayat NU, dan Badrus Samsul Fata dari Wahid Institut.

"Tidak mungkin informasi qishas itu tidak diketahui," ujar Alai Nadjib saat menggelar jumpa pers di kantor Migrant Care, Rawamangun, Jakarta Timur, Selasa 27 September 2011.

Dalam investigasi yang juga didukung oleh dua ormas Islam terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah, mereka menemukan beberapa fakta di lapangan. 

"Pemancungan terjadi karena kelalaian negara yang tidak melaksanakan pembelaan hukum secara maksimal," kata Direktur Eksekutif Migrant CARE, Anis Hidayah, di tempat yang sama.

Berikut adalah hasil penelusuran tim advokasi di tiga daerah--Jeddah, Mekkah dan Madinah selama 7 hari sejak tanggal 11-20 Agustus 2011.

Pertama, tim advokasi menemukan fakta bahwa makam Ruyati ada di Sarai' (Sharaya) Mekkah. "BNP2TKI telah melakukan kebohongan publik karena sebelumnya menyebut makam almarhum Ruyati berada di Ma'la," kata Alai Nadjib.

Kedua, KBRI maupun KJRI mereka nilai telah melakukan pengabaian informasi, sekaligus pembiaran, dalam kasus almarhumah Ruyati.

"Pasalnya, berdasarkan hasil investigasi kami, minimal 1 minggu sebelum qishas dilaksanakan, selalu ada pemberitahuan terperinci melalui televisi dan media setempat tentang identitas, jenis kelamin, asal negara, dan bentuk kesalahan sang terpidana, sebelum eksekusi dilakukan," dia menjelaskan.

Ketiga, lemahnya KBRI dan KJRI dalam hal pelayanan dan perlindungan para TKI bermasalah. Menurut mereka, selama persidangan almarhumah Ruyati hanya didampingi seorang penerjemah, bukan seorang pengacara yang bisa memberikan pembelaan hukum baginya.

"Penerjemah ini adalah salah satu staf KJRI, namun identitas sang penerjemah hingga kini masih disembunyikan," ujarnya.

Keempat, KBRI dan KJRI mengabaikan hak-hak dasar keluarga almarhumah. Menurut mereka, hal itu terbukti bahwa kedua pihak ini belum mengantongi berkas perkara pengadilan almarhumah, dengan alasan masih dalam proses pengajuan. "Padahal, sudah tiga bulan kasus ini berlalu," dia menambahkan.

Kelima, penjelasan KJRI bahwa sebelum qishas, mereka telah berusaha memintakan ampun, tidak dapat dibuktikan.

Keenam, almarhumah Ruyati binti Satubi dikenal pribadi yang sangat baik. "Hal itu dikuatkan pengakuan majikan pertama dan kedua, di mana Ruyati bekerja hampir 7 tahun."

Ketujuh, pembiaran diduga telah dilakukan lembaga perwakilan pemerintah di Saudi Arabia. Hal ini tampak dari maraknya penampungan ilegal TKI di Saudi Arabia.

Kedelapan, pemulangan jenazah almarhumah sulit dilakukan mengingat rumitnya sistem peradilan di Saudi Arabia. Namun, tim advokasi menyatakan mereka tetap mengirimkan surat permohonan kepada Raja Abdullah melalui KJRI, agar jenazah Ruyati dapat dipulangkan ke Tanah Air.

Kesembilan, selain almarhumah Ruyati, saat ini ada sekitar 42 TKI yang menanti hukuman qishas di Saudi Arabia. "Kami juga meminta pengampunan terhadap nasib mereka," katanya.

Hasil investigasi itu mengejutkan. Tak terkecuali Een. Dia mengeluhkan tidak adanya pengacara yang mendampingi ibunya. "Padahal waktu saya pertama kali ke Deplu, yang menerima pengaduan saya namanya Pak Rangga. Dia bilang, nanti akan diupayakan permohonan ampunan terhadap anak majikan, akan disediakan pengacara, ternyata itu cuma omong kosong. Menurut saya, ibu saya benar-benar berjuang sendiri tanpa ada yang membela satu pun," ujar Een.

Een bertutur, mengenai kasus yang menimpa ibunya, justru diceritakan Suwarni, teman Ruyati saat di Arab Saudi. Menurutnya, Suwarni pernah menyuruh dirinya menengok ibunya yang tengah dipenjara. "Dibilang ngapain repot-repot nengok, pemerintah kamu saja nggak ada yang nengok. Jadi bener-bener nggak ada, kasihan ibu saya," ujarnya.

Menurutnya, Suwarni pernah bercerita kalau ibunya pernah menghubungi KJRI sebelum dipenjara. "Tapi tidak ditanggapi," ujarnya.

Saat itu, lanjut Een, ibunya sempat disiram air panas, dikejar majikan sambil membawa pisau. "Penderitaannya luar biasa. Penderitaan umi sebelum ada pembunuhan membuat hati saya seperti disilet. Bayangin, disiram air panas, kecipratan sedikit saja sudah sakit. Mungkin saja saat itu beliau rebutan pisau, namanya dikejar-kejar, bela diri namanya," tuturnya.

Een pun memiliki satu harapan terakhir. Jasad ibunya dipulangkan dan dimakamkan di kampung halamannya. Ia menyatakan, akan terus menuntut tanggung jawab negara memulangkan jasad ibunya. "Saya sebagai warga negara berhak menggugat pemulangan jenazah ibu oleh pemerintah. Tidak perduli bagaimana nanti kondisinya, kami akan menerima," ujarnya.

Een bercerita sejak awal ibunya menjalani proses persidangan, pemerintah tidak melakukan pendampingan hukum dengan serius. Ia juga mengaku belum mendapatkan surat salinan berkas perkara mengenai proses pengadilan Ruyati

"Jika surat-surat itu ada, kami minta ditunjukkan kepada publik. Siapa nama orang yang mendampinginya, karena bisa saja ibu memberikan pesan-pesan terakhirnya sebelum dihukum pancung," lanjutnya dengan emosi.

Sejauh ini, pemerintah melalui Menteri Luar Negeri, Marty Natalegawa, menjanjikan pemulangan jenazah Ruyati. Namun, hal tersebut cukup sulit karena terbentur persoalan prosedur dan aturan di sana.

"Kami sudah mengirim surat secara langsung kepada Raja Abdullah pada Agustus lalu. Kami juga harapkan pemerintah, khususnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dapat membantu kami dengan melakukan pembicaraan secara head to head dengan pemerintah Arab Saudi. Dan semoga mereka  mau dan  berhasil," kata Een.

Atas hasil investigasi itu, Tim Advokasi memiliki rencana untuk menyampaikan tuntutan ke Presiden SBY. Sebab, bukan tak mungkin apa yang menimpa Ruyati dialami tenaga kerja Indonesia yang lain.

"Meminta kepada Presiden SBY untuk memberhentikan, para pejabat/birokrat di badan/lembaga negara terkait penanganan TKI yang terbukti melakukan kebohongan publik terhadap masyarakat Indonesia, khususnya keluarga almarhumah Ruyati binti Satubi," kata Een.

Alai Nadjib menambahkan SBY harus menarik para pejabat konsuler yang tidak memfasilitasi jaminan perlindungan hukum bagi almarhum Ruyati dan dinilai tidak memberikan informasi yang terbuka berkenaan dengan kasus Ruyati.

Selain itu, dia meminta Kemenlu untuk segera melakukan restrukturisasi dan jajaran Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI). "Mengingat tidak efektifnya lembaga-lembaga terkait dalam perlindungan para TKI di Arab Saudi," ucapnya.

Anis Hidayah pun meminta kepada Presiden SBY melakukan diplomasi langsung secara head to head kepada Raja Saudi Arabia, sebagaimana dilakukan Presiden Indonesia keempat Abdurrahman Wahid atau Presiden Filipina, Gloria Machapagal Arroyo, dan bukan membentuk satgas-satgas TKI yang hanya menghabiskan anggaran negara.

Menurutnya, hal itu juga menjadi perhatian beberapa warga Indonesia di Saudi Arabia yang disampaikan secara langsung kepada tim advokasi. "Mengapa presiden dengan jumlah umat Islam terbesar di dunia terkesan enggan untuk berdiplomasi secara langsung kepada Raja Saudi," kata dia.

Oleh karenanya, Anis meminta Presiden untuk lebih memiliki kepekaan dan perhatian yang tinggi terhadap nasib para TKI, dan tidak menyibukkan diri dan waktu untuk membalas surat Nazaruddin, serta abai terhadap surat para TKI yang terlantar di Saudi Arabia.

"Pemerintah harus lebih transparan dan memberi informasi secara terbuka dan seluas-luasnya terkait dengan nasib tenaga kerja Indonesia berjumlah 42 yang tengah menghadapi vonis qishas di Saudi," ucapnya.

Tanggapan Pemerintah

Hasil investigasi itu mendapat tanggapan serius dari Duta Besar RI di Arab Saudi Gatot Abdullah Mansyur. Gatot membantah laporan investigasi Migrant Care yang mengungkapkan kebohongan pemerintah pada kasus Ruyati. Kendati membantah, Gatot mengaku KBRI memiliki kelemahan dalam melaksanakan tugas di Saudi.

Dihubungi VIVAnews, Selasa 27 September 2011, Gatot mengatakan yang menangani masalah Ruyati adalah Konsulat Jenderal RI (KJRI) di Jeddah, sedangkan dia bertugas di KBRI di Riyadh. Menanggapi klaim Migrant Care yang mengatakan tidak adanya pengacara yang mendampingi Ruyati, Gatot mengatakan KJRI memiliki pengacara in house yang siap bertugas kapanpun dibutuhkan.

"Setiap warga negara yang bermasalah didampingi pengacara. Seperti di Riyadh, kami punya lawyer in house," kata Gatot.

Salah satu hasil investigasi Migrant Care lainnya adalah KBRI dan KJRI melakukan pengabaian informasi. Karena menurut mereka, minimal satu minggu sebelum eksekusi ada pengumuman di televisi dan media. Gatot membantah hal ini. Menurutnya, kapan tepatnya pelaksanaan eksekusi sangat dirahasiakan oleh pemerintah Saudi.

"Menurut Kementerian Dalam Negeri Arab Saudi, yang tahu kapan seseorang dieksekusi itu hanya keluarganya. Itu pun diberitahu malam sebelum eksekusi dilakukan. Yang dieksekusi bahkan baru tahu dia akan dipancung dua jam sebelum hukuman dilaksanakan," kata Gatot.

Tidak diumumkannya pelaksanaan eksekusi, jelasnya, menghindari protes dan usaha-usaha untuk menggagalkan pelaksanaan eksekusi yang berujung pada keributan. "Di Saudi masih banyak suku-suku dan kabilah-kabilah, jika diumumkan, dikhawatirkan tidak akan terlaksana, karena protes dan keributan," kata Gatot.

Gatot mengatakan tim pembela Ruyati di KJRI sudah mati-matian membela warga negara Indonesia. Untuk itu, dia merasa berkeberatan jika dibilang lalai dalam upaya perlindungan. "Saya berkeberatan kita disebut seperti itu, di sini kita sudah jungkir balik menangani masalah Ruyati," kata Gatot.

Namun demikian, Gatot mengaku KBRI dan KJRI masih lemah dalam perlindungan. Hal ini karena luasnya wilayah yang harus mereka tangani, sementara staf Indonesia hanya berjumlah 48 di kedua perwakilan. Gatot mengatakan KJRI di Jeddah harus menangani wilayah seluas 2.400 km2, sementara KBRI Riyadh menangani wilayah seluas 1.000 km2.

"Memang kinerja KBRI dan KJRI perlu ditingkatkan. Perlu dilengkapi dengan biaya yang cukup untuk mengontrak pengacara, kapasitas juga harus ditingkatkan. Bayangkan saja, daratan Arab lebih luas dari Indonesia, kita hanya punya 24 staf di Jeddah dan 24 staf di Riyadh, itu untuk poleksosbudhankam (politik ekonomi sosial budaya pertahanan dan keamanan)," ujar Gatot.

Mengomentari surat Migrant Care kepada Presiden SBY meminta diberhentikannya pejabat dan birokrat yang tidak becus menangani TKI, Gatot mengaku pasrah. "Terserah Jakarta lah, kita cuma bisa nurut. Kita hanya pegawai negeri," ujarnya.

Gatot pun menyayangkan sikap LSM Migrant Care yang hanya menyerang, namun tidak memberikan solusi. Untuk itu, Gatot menantang Migrant untuk datang ke Saudi dan sama-sama bekerja menyelesaikan masalah. "Mereka tidak tahu apa yang kami lakukan di sini. Anis silakan sekali-kali magang di Jeddah, untuk melihat kerja kita, membantu kita," ujar Gatot.

Gatot mengundang para petinggi Migrant Care untuk tidak hanya mengkritik, tapi juga membantu membentuk kapasitas perwakilan Indonesia di Arab Saudi. Salah satu andil Migrant Care yang diperlukan adalah menyumbangkan pengacara-pengacara handal dan konsultan masalah perlindungan WNI.  

"Kirim kami konsultan, sewakan kami pengacara, atau pinjamkan kami pengacara Migrant Care. Kalau ada uang, sumbang kami. Minta izin saja ke Kemlu, berikan kami jalan keluar. Jadi konkrit, jangan hanya protes saja," kata Gatot.

Gatot mengatakan KBRI siap menampung Migrant Care yang akan datang di wisma Indonesia di Riyadh. Cara ini menurutnya lebih terhormat ketimbang menyamar untuk menyelidiki penanganan TKI di Arab Saudi.

"Penyamaran itu tidak transparan. Kita terbuka saja. Migrant Care, buktikan bahwa anda benar-benar care dengan migran," tegas Gatot.

Meski dibantah perwakilan Indonesia di Arab Saudi, namun, Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Jumhur Hidayat meminta maaf kepada keluarga Ruyati Binti Satubi, TKW yang tewas dipancung di Arab Saudi, 18 Juni 2011 lalu.

Permintaan maaf disampaikan terkait pernyataannya yang tidak tepat terkait lokasi penguburan jenazah Ruyati. Sesuai komunikasi dengan perwakilan RI di Jeddah, Jumhur mengaku menerima informasi penguburan almarhumah Ruyati dilakukan di Ma’la, Mekah, namun kemudian diketahui lokasi penguburannya berada di Sharaya, yang juga masih di wilayah Mekah.
 
"Tanpa mengurangi besarnya keprihatinan saya terhadap kasus almarhumah Ruyati serta tak ada niat sedikit pun untuk membelokkan kenyataan, saya khusus menyampaikan maaf pada keluarga almarhumah atas penyampaian informasi yang tidak tepat tersebut," kata Jumhur, Selasa 27 September 2011.
 
Jumhur mengaku, saat terjadinya kasus pemancungan Ruyati, ia terus berkoordinasi dengan perwakilan RI di Arab Saudi utamanya KJRI di Jeddah. Sehingga begitu mendapat kabar jenazah Ruyati dikuburkan di Ma’la langsung menyampaikannya ke publik di tanah air.
 
"Hal itu dilakukan guna menjawab kebutuhan publik yang kadang kala tidak begitu sabar ingin mengetahui informasi atas perkembangan kasus almarhumah Ruyati secepatnya," kata Jumhur.
 
Namun demikian, atas informasi yang tidak tepat itu pihaknya tidak ingin menyalahkan perwakilan RI.

Jumhur juga mengharapkan penyampaian informasi yang tidak tepat soal tempat penguburan Ruyati tidak perlu diperpanjang, apalagi dengan adanya kasus pemancungan Ruyati pemerintah bertekad melakukan perbaikan pelayanan perlindungan TKI di luar negeri, khususnya di Arab Saudi.
 
"Langkah moratorium (penghentian sementara) penempatan TKI ke Arab Saudi yang dinyatakan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, jelas merupakan respon positif pemerintah atas kasus Ruyati, sekaligus penegasan sikap agar pemerintah Arab Saudi memberi perlindungan yang sebaik-baiknya kepada para TKI," pungkasnya. (sj)

Prediksi Semifinal Piala FA: Coventry City vs Manchester United
Politisi DPP PKB, Daniel Johan

DPP Berani Ungkap Indonesia sedang Dilanda Krisis Paling Berbahaya

Ketua DPP BERANI, Lorens Manuputty menyoroti tiga krisis yang terjadi di Indonesia saat pelantikan tersebut. Menurut dia, Indonesia saat ini sedang mengalami krisis yang

img_title
VIVA.co.id
20 April 2024