Kontroversi Tahanan Remaja RI di Australia

Salah tangkap.
Sumber :
  • ANTARA/Arief Priyono

VIVAnews - Sebagai dua negara yang bertetangga dekat, Indonesia dan Australia kerap kali menjalani hubungan yang pasang surut. Namun, kali ini kedua pemerintah menghadapi isu pelik, menyangkut anak-anak yang menjadi tahanan untuk kasus yang cukup serius.

Pemerintah Australia dalam beberapa hari belakangan memberi perhatian serius atas seorang remaja 14 tahun asal New South Wales yang ditahan polisi di Bali. Kesalahannya, remaja itu kedapatan membeli ganja, walau hanya beberapa gram saja, dan sejak pekan lalu berurusan dengan polisi.

Perdana Menteri Julia Gillard dan Menteri Luar Negeri Kevin Rudd sudah memastikan bahwa remaja itu diupayakan bisa segera pulang ke negaranya. Pasalnya, di Bali tidak ada penjara khusus anak-anak, sedangkan remaja itu dikhawatirkan bisa mendekam di penjara dewasa apalagi mengingat kasus kepemilikan ganja sama beratnya dengan kasus narkotika lainnya.

Proses hukum di Bali masih berlangsung dan hakim belum memutuskan apakah si remaja itu harus menjalani hukuman di Indonesia, diampuni atau harus menjalani hukuman di negara asal.   

Sementara pemerintah dan sebagian publik Australia menunggu kelanjutan nasib si remaja pembeli ganja di Bali, kalangan aktivis HAM di negara mereka justru mengungkapkan temuan yang lebih mengejutkan. Menurut Australia Network News, ada sekitar seratus bocah laki-laki yang disel di penjara dewasa di Australia.

Bursa Saham Asia Kompak Anjlok Imbas Ekskalasi Konflik Iran-Israel, BEI Buka Suara

Jumlah mereka belum diketahui pasti, karena muncul versi lain yang menyatakan bahwa mereka tidak sebanyak itu. Menurut John Rawson dari lembaga Indonesian Solidarity, di negeri Kanguru ada lebih dari 75 remaja asal Indonesia. "Tertua berumur 15 tahun, namun sudah mendekam di penjara orang dewasa," kata Rawson dalam keterangan tertulis yang diterima VIVAnews.com

Namun, Andalusia Dewi, koordinator fungsi konsuler KBRI di Australia menyatakan jumlahnya tidak sebanyak itu, apalagi sampai seratus orang. Menurut dia, kemungkinan angka itu adalah akumulasi jumlah ABK yang ditahan sejak tahun lalu, tanpa menghitung jumlah terbaru.

"Data di KBRI tidak sebanyak itu, yang berhasil didata sesuai informasi perwakilan RI dan dikonfirmasi dengan pihak Australia ada 42 ABK yang mengaku anak-anak yang ditahan di penjara Australia," kata wanita yang akrab disapa Lusi ini saat dihubungi, Senin, 17 Oktober 2011.

Apa kesalahan para anak Indonesia sehingga ditahan di penjara dewasa Australia? Diduga bocah-bocah itu dipekerjakan sebagai awak kapal yang mengangkut para pendatang haram yang singgah di Indonesia untuk menuju Australia. Mereka terjerat kasus penyelundupan manusia.

Advokat Australia, Edwina Lloyd, mengatakan sebagian besar bocah tersebut berasal dari desa kecil, yang tak mengenal sertifikat kelahiran. Tak adanya bukti dokumen ini menyulitkan proses identifikasi, apakah mereka termasuk dewasa atau di bawah umur.

Lloyd meminta Kepolisian Australia (AFP) melakukan tindakan lebih untuk memperlakukan para bocah sesuai haknya, sebagai anak-anak. "Tak ada satu pun anak di dunia ini yang pantas berada di penjara orang dewasa," kata dia seperti dimuat Australia Network News, Senin 17 Oktober 2011.

"Polisi harus menggunakan sumber daya yang mereka miliki untuk mengontak keluarga para bocah itu di Indonesia. Untuk memperoleh pernyataan di bawah sumpah atau bukti lain soal usia mereka."

Keberadaan anak-anak Indonesia di penjara Australia mencuat pasca kasus penahanan tiga remaja di bawah umur asal Pulau Rote, Indonesia terkuak. Mereka adalah Ako Lani anak yatim piatu berusia 16 tahun, Ose Lani  berusia 15 tahun, dan John Ndollu 16 tahun. Ketiganya kini telah dibebaskan.

Tidak Etis

Puji MK Persilakan Pemohon Serahkan Kesimpulan Sengketa Pilpres, Refly: Luar Biasa

Bagi Rawson, masalah ini sungguh ironis mengingat Australia adalah negara penandatangan Konvensi PBB atas Hak-hak Anak, yang menyatakan bahwa penjara hanya menjadi tempat yang layak bila tidak ada tempat yang lain lagi.

"Menlu Rudd sudah menyatakan bakal bertindak tegas terhadap penyelundup yang menangguk untung dari penderitaan orang lain sehingga mereka sepantasnya membusuk di neraka! Namun, para pejabat Australia itu salah memenjarakan orang. Mereka yang benar-benar menangguk untung adalah yang mendanai penyelundupan orang, bukan awak kapal," kata Rawson.

Menurut dia, para awak rata-rata adalah nelayan miskin yang hanya menerima ratusan dolar, bahkan ada yang tidak dibayar secara layak. Namun, peraturan yang berlaku menjatuhkan hukuman wajib dipenjara selama lima tahun untuk mereka yang dijerat kasus penyelundupan manusia.

Kemiskinan mereka itu sebagian juga berkat peran Australia, karena Australia memperluas wilayah kedaulatan maritimnya hingga 200 mil laut. Ini membuat para nelayan Indonesia tidak leluasa lagi menangkap ikan.

Mereka hanya boleh menangkap ikan di wilayah yang sangat terbatas dan itupun harus menggunakan alat tradisional, begitu pula dilarang menggunakan radio telekomunikasi yang bisa berguna untuk panggilan darurat atau menerima laporan cuaca. GPS pun tidak ada untuk mendeteksi persis posisi mereka.  

Keterbatasan ini yang membuat kapal-kapal mereka rentan karam maupun gampang disita dan dibakar. Nelayan harus membayar kepada pemilik kapal saat pulang dan mungkin sebelumnya harus mendekam di penjara Australia. Belum lagi bocornya kilang minyak di Laut Timor pada 2009 yang membuat situasi secara sosial dan ekonomi kian berat bagi masyarakat nelayan di Timor Barat.

Kondisi sulit itulah yang membuat sebagian dari mereka akhirnya mencari penghasilan tambahan dengan menjadi awak kapal pengangkut pengungsi atau imigran gelap ke Australia. Tidak sedikit remaja yang dilibatkan menjadi awak. Bagi Rawson, pihak penegak hukum di Australia salah sasaran. Mereka rata-rata hanya menangkap orang-orang suruhan, sementara para gembongnya masih bebas dan mengantungi uang banyak yang berasal dari para imigran gelap.

Parahnya lagi, pemerintah Indonesa terkesan tidak begitu peduli atas nasib anak-anak yang ditahan di penjara dewasa Australia. Menurut Rawson, kantor Perdana Menteri Australia memastikan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belum pernah menghubungi PM Gillard untuk menanyakan perihal nasib para remaja yang bercampur dengan tawanan dewasa di penjara Australia.

Juru bicara Kementrian Luar Negeri Indonesia, Michael Tene, lanjut Rawson, pernah menyatakan bahwa kebijakan Australia telah lebih baik dengan menerapkan pemeriksaan gigi dan sinar-x pada pergelangan tangan (wrist) si terperiksa untuk menentukan usia yang bersangkutan.

Pertama Kali, Ukraina Tembak Jatuh Pesawat Pengebom Rusia

Andalusia Dewi, koordinator fungsi konsuler KBRI di Australia, kepada VIVAnews.com, Senin 17 Oktober 2011, menyatakan menurut penyelidikan wrist x-ray, sebagian besar ABK dinyatakan telah berusia di atas 18 tahun, atau dewasa menurut hukum Australia.
 
Namun, metode itu ditentang oleh sejumlah institusi, mulai dari the Royal Australasian College of Physicians, the Royal Australian and New Zealand College of Radiologists, the Australian and New Zealand Society for Paediatric Radiology hingga the Australasian Paediatric Endocrine Group.

Menurut Sir Al Aynsley-Green, mantan Ketua Komisi Anak Inggris 2005-2010, cara Kepolisian Federal Australia menggunakan sinar-X untuk menentukan usia remaja Indonesia yang menjadi tahanan kasus penyelundupan manusia merupakan tindakan tidak etis, tidak akurat, tidak sesuai dengan tujuan dan berpotensi tidak sah secara hukum.

Rawson selanjutnya mengungkapkan bahwa Eko Waluyo dari Indonesia Solidarity dan Magdalena Sitorus, aktivis hak anak asal Indonesia, telah bertemu dengan Senator Lee Rhiannon pada 18 Agustus 2011 di Gedung Parlemen Australia di Canberra. Rhiannon berjanji untuk mengangkat masalah ini dalam agenda parlemen.

Selain itu, Gerry Georgatos dari Human Rights Alliance Western Australia pada 15 Oktober lalu bertemu dengan dua senator, yaitu Sarah Hanson-Young dan Lee Rhiannon. Mereka berdua pun berjanji untuk mengangkat nasib tahanan remaja asal Indonesia itu dalam pertemuan Senat.
 
Komisi HAM Australia juga berencana menginvestigasi tuduhan bahwa lebih dari 50 remaja Indonesia yang ditahan polisi atas kasus penyelundupan manusia secara tidak sah dititipkan di penjara dewasa. Badan PBB, UNICEF, pun dikabarkan telah menyinggung isu ini dalam suatu sidang Komisi PBB atas Hak-hak Anak di Jenewa, Swiss.

Menurut data Indonesian Solidarity, total warga Indonesia yang ditahan di penjara Australia atas kasus penyelundupan manusia sebanyak hampir 500 orang. "Warga asing yang paling banyak ditahan di Australia berasal dari Indonesia," ungkap Rawson. 

Sementara itu, dari pihak KBRI Canberra, Lusi mengatakan bahwa para ABK memiliki kesempatan untuk mengajukan banding di pengadilan. Sebagian besar dari 42 ABK, ujarnya, telah mengikuti pengadilan banding yang dinamakan age determination hearing, disinilah ditentukan apakah mereka anak-anak atau bukan.

"Kalau mereka dimenangkan oleh hakim, berdasarkan bukti dokumen yang ada bahwa mereka anak-anak, maka akan dibebaskan dan dipulangkan ke tanah air. Yang kita lihat trendnya, di pengadilan hanya 1-2 ABK yang dianggap juri sebagai anak-anak," kata Lusi.

Kendati hanya sedikit yang terbukti anak-anak, namun banyak ABK yang bebas setelah jaksa penuntut Australia membatalkan gugatan mereka. Lusi mengatakan, alasan pembebasan tidak diketahui, kemungkinan karena jaksa yakin bahwa terdakwa adalah anak di bawah umur.

"Banyak kasus yang didrop oleh jaksa. Tahun ini saja, CDPP [Commonwealth Director of Public Prosecutions] telah membatalkan 20 kasus," jelas Lusi.

Lusi mengatakan bahwa pihak KBRI sejak awal melakukan pendampingan dan perlindungan kekonsuleran kepada para ABK tersebut. KBRI, lanjut Lusi, juga menjamin mereka memiliki akses pengacara yang disediakan oleh pemerintah Australia, serta penerjemah.

"Kita juga punya forum dengan pemerintah federal Australia untuk melihat hal-hal apa yang kira-kira kami perlukan. Kami minta proses wrist x-ray dipercepat dan mereka tidak ditempatkan di penjara dewasa selama proses pengadilan," kata Lusi.

Bandara di Dubai, Uni Emirat Arab (UAE), tergenang banjir 17/4

Bandara Dubai Beroperasi Kembali Setelah Banjir Bandang

Bandara utama Uni Emirat Arab (UAE) pada hari Kamis berjuang pulih usai hujan lebat yang menyebabkan banjir bandang.

img_title
VIVA.co.id
19 April 2024