Anggaran Dihemat, Yunani Dilanda Mogok Massal

Demonstrasi para pekerja di Yunani
Sumber :
  • REUTERS/Yiorgos Karahalis

VIVAnews - Krisis utang di negara-negara kawasan Eropa belum menunjukkan tanda-tanda penyelesaian. Kebijakan bailout, rencana pemangkasan anggaran hingga kenaikan pajak, makin tidak populer bagi publik.

Situasi itu pun memicu kekhawatiran pekerja dan pelaku bisnis. Tekanan agar para pemimpin Eropa mempercepat penyelesaian krisis utang, kini semakin meningkat.

Belum juga menemukan titik terang penyelesaian utang, dalam beberapa bulan terakhir, situasi di Eropa juga dipengaruhi ulah para spekulator seperti hedge fund. Para hedge fund ini bertaruh antar mereka atas default suatu negara atau perusahaan.

Bahkan, seperti dikutip dari Reuters, beberapa pejabat pemerintah di negara Eropa mengatakan para spekulator seperti hedge fund menggunakan kontrak credit default swap itu untuk memengaruhi gagal bayar utang di Yunani dan menekan nilai tukar euro.

Di negara itu, penyelesaian krisis utang hingga kini belum menunjukkan perkembangan berarti. Jika di New York, Amerika Serikat, krisis ekonomi dan keresahan atas ketamakan korporasi serta korupsi para elit bisnis memicu aksi demonstrasi besar-besaran, kondisi di Yunani sedikit berbeda.

Mulai kemarin, negara yang dilanda krisis utang akut itu dilanda aksi mogok kerja besar-besaran. Tidak hanya pekerja swasta dan pemerintah, kalangan pelaku usaha kecil dan menengah (UKM), terlibat dalam aksi yang berlangsung dua hari itu.

Mereka menentang keras rencana pemerintah untuk kembali menghemat anggaran. Pengetatan itu bisa berarti pemotongan gaji sekaligus berkurangnya tunjangan para pensiunan. Tidak hanya itu, pemerintah pun berniat menaikkan pajak untuk menekan defisit anggaran. 

MK Tak Pertimbangkan Amicus Curiae yang Masuk Lewat dari Tanggal 16 April 2024

Pemerintah beralasan, rencana kebijakan itu untuk mengatasi krisis keuangan akut. Selama dua hari mulai kemarin, rencana penghematan anggaran itu akan dibahas di parlemen.

Seperti dikutip dari kantor berita Reuters, akibat aksi mogok massal itu, kantor-kantor pemerintah tutup. Kegiatan bisnis di penjuru Yunani juga terhenti. Aksi mogok itu terkonsentrasi di sekitar gedung parlemen.

Bukan hanya sekali, aksi mogok kerja di Yunani itu sudah sering terjadi. Kali ini, aksi mogok kerja dan unjuk rasa itu merupakan salah satu yang terbesar dalam beberapa tahun terakhir. Sebelumnya, aksi serupa pada Juni sempat memicu bentrokan hebat antara demonstran dan pasukan keamanan di luar gedung parlemen.

Warga Yunani marah, meski pemerintah juga beralasan, penghematan itu merupakan syarat dari Uni Eropa dan Dana Moneter Internasional (IMF) bila ingin mendapat lagi pinjaman darurat. Menurut stasiun berita BBC, pinjaman itu sangat diperlukan Yunani karena rasio utang sudah mencapai 162 persen dari produk domestik bruto (GDP).

Kini, Yunani memerlukan pinjaman darurat tahap kedua dari IMF dan Uni Eropa sebesar US$11 miliar. Bila tidak diluluskan, Yunani berisiko gagal bayar utang dan kewajiban lain pada November mendatang.

Perdana Menteri Yunani, George Papandreou, sangat paham atas situasi dilematis yang tengah dihadapi bangsanya. Bila penghematan tidak dipenuhi, Yunani tidak akan menerima pinjaman darurat. Namun, risiko lain, pemerintah menghadapi kemarahan rakyat bila tetap menerapkan program penghematan.

"Kami harus gigih menghadapi perang ini sebagai rakyat, pemerintah, dan parlemen, guna membawa negara ini kepada kemenangan," kata Papandreou.

Menteri Keuangan Yunani, Evangelos Venizelos, juga meminta dukungan, karena parlemen bersiap untuk memberikan suara pada putaran yang alot untuk menuju langkah-langkah penghematan. Sementara itu, puluhan ribu pengunjuk rasa terus berkumpul dalam sebuah demonstrasi massa besar di luar gedung parlemen.

"Kami berada dalam sebuah perjuangan yang berat. Tapi, ini diperlukan untuk menghindari titik akhir dan paling krusial dari sebuah krisis," kata Venizelos, menjelang pemungutan suara.

Dia pun berharap dapat mencapai solusi substansial yang definitif untuk penyelesaian krisis setelah pertemuan puncak Uni Eropa pada Minggu. "Mulai saat ini hingga Minggu kami berjuang dari sebuah pertempuran ke pertempuran berikutnya," katanya.

Merembet ke Spanyol

Aksi mogok kerja terkait isu penyelesaian krisis utang di Yunani dampaknya bisa saja merembet ke negara zona euro. Meski tidak secara langsung terkait aksi di Yunani itu, kepercayaan publik di kawasan Eropa untuk mengatasi krisis makin terkikis.

Kemarin, lembaga pemeringkat internasional, Moody's, bahkan menurunkan peringkat surat utang luar negeri Spanyol, dua tingkat sekaligus. Moody's menurunkan peringkat surat utang Spanyol dari sebelumnya A1 menjadi Aa2.

Langkah Moody's itu ditempuh setelah lembaga pemeringkat lainnya, Standard & Poor's dan Fitch juga menurunkan peringkat surat utang Negara Matador itu. Penurunan peringkat surat utang Spanyol itu diperkirakan memicu kekhawatiran bagi masyarakat Eropa yang berharap resolusi penyelesaian masalah bisa lebih cepat.

"Jika Eropa tidak bisa mencari jalan keluar untuk menangani situasi ini, Anda akan melihat imbal hasil Spanyol akan terus naik dan mereka bakal menghadapi masalah untuk membayarnya," ujar analis nilai tukar dan fixed income dari MF Global, Jessica Hoversen, seperti dikutip Reuters, Rabu, 19 Oktober 2011.

Dalam penjelasannya, Moody's beralasan, sejak peringkat utang Spanyol ditempatkan dalam status peninjauan ulang pada akhir Juli 2011, pihaknya tidak melihat resolusi kredibel terhadap krisis utang yang telah meningkat saat ini.

Upaya pengembalian kepercayaan publik dalam kaitannya dengan kondisi politik dan pertumbuhan ekonomi Eropa juga diperkirakan memakan waktu yang tidak singkat. Penurunan peringkat surat utang Spanyol ini pun diperkirakan memicu kekhawatiran bagi masyarakat Eropa yang berharap resolusi penyelesaian masalah yang lebih cepat.

Krisis utang di Yunani yang mengancam potensi gagal bayar bisa berdampak besar ke negara zona euro jika tidak segera diantisipasi. Sebab, sekitar 60 persen pemegang surat utang Yunani adalah tiga bank besar di Prancis. (sj)

Kabar Duka, Ibunda Angger Dimas Meninggal Dunia
Presiden Rusia Vladimir Putin

Meski Tengah Perang, Kekuatan Militer Rusia Tumbuh 15%, Kok Bisa?

Meski kini tengah berperang dan menderita kerugian besar di Ukraina, militer Rusia dikabarkan berhasil bangkit kembali seperti sebelum perang.

img_title
VIVA.co.id
18 April 2024