Susi Air Jatuh dan Maut di Jalur Perintis

Lokasi jatuhnya pesawat Susi Air
Sumber :
  • VIVAnews/ Polisi

VIVAnews – Penerbangan perintis kembali merengut jiwa. Pesawat Susi Air menabrak Gunung Wabu. Gunung itu terletak di Sugapa. Kabupaten Intan Jaya Papua. Peristiwa nahas itu terjadi Rabu 23 November 2011. Pukul sembilan pagi lebih 40 menit.

Ratusan Warga Serbu Rumah Ganjar Pranowo saat Open House

Pesawat yang menghantam gunung itu jenis Caravan. Pilotnya  bernama Jesse Becer, seorang warga negara Selandia Baru. Kopilot Albert Citores yang berasal dari Spanyol. Albert tewas di tempat. Jesse sekarat.

Sesungguhnya celaka itu tidak terjadi. Sebab pesawat sudah mencium landasan. Jesse kembali memacu pesawat ke langit, lantaran dia melihat ada orang menyeberang.  “Pilot turn around menghindar. Tapi tidak bisa,” kata Susi Pujiastuti, pemilik Maskapai Susi Air, yang mengoperasikan sejumlah pesawat di Papua itu.

Begini Suasana Salat Idul Fitri di Atas Kapal Merak-Bakauheni

Malang nian nasib si Jesse dan Albert Citores ini. Pesawat itu memang bisa dipacu ke udara, tapi begitu berbelok ke kiri, langsung menabrak Gunung Wabu. Tabrakan itu sungguh keras. “Pesawat meledak dan mengeluarkan asap,” kata Juru Bicara Polda Papua Kombes Wachyono.

Belakangan diketahui bahwa orang yang menyeberang dilandasan itu adalah penyandang tuna rungu. Kupingnya tidak berfungsi. “Dia tidak mendengar deru mesin pesawat saat akan mendarat, sehingga dia tetap jalan di landasan,” terang David Setiawan, Sekretaris Daerah Kabupaten Intan Jaya. kepada VIVAnews, Rabu 23 November 2011.

Heboh Pemuda di Demak Rusak Jembatan Agar Truk Bisa Lewat, Polda Jateng Angkat Bicara

Susi Pujiastuti dalam jumpa pers beberapa jam sesudah kecelakaan itu menyebutkan bahwa warga tuna rungu yang menyeberang itu adalah seorang anak kecil. Tuna rungu atau tidak, kasus ini tengah diselidiki. Kedua korban sudah diterbangkan ke Timika.

Yang menjadi pertanyaan orang ramai  adalah mengapa ada yang menyeberang di landasan. Pesawat hendak mendarat, kok dia ada di sana. Bagaimana dengan pengamanan bandara. Kok lolos masuk run way. Dan sejumlah pertanyaan, yang ujungnya bermuara pada keselamatan penerbangan.

Miskin Sarana
Soal keselamatan penerbangan itu, dengarlah penjelasan David Setiawan. Lapangan terbang Sugapa, katanya, memang tidak memadai. Miskin sarana. Lupakanlah soal terminal, soal tower dan sirene yang meraung-raung jika pesawat hendak mendarat. Pagar saja tak punya.

Walhasil, terang David, warga kerap lalu lalang di lapangan terbang itu. Bahkan nyelonong jauh hingga ke landasan. “Kondisi lapangan terbang ini memang masih sangat minim sarana pendukung,” terang David.

Sudah miskin sarana, pegawai bandara juga sangat terbatas. Petugas pengamanan juga susah payah lantaran semuanya serba manual. Pegamanan harus dilakukan secara fisik. Susi Pujiastuti menyebut lapangan itu sangat marginal. “Petugas pun kadang-kadang tidak ada di tempat,” keluhnya.

Lapangan terbang di Sugapa itu memang masuk kategori perintis. Dan sebagaimana sejumlah lapangan perintis di seantero Indonesia, soal sarana itu kadang jadi masalah.

Dengarlah himbauan Suharto Madjid. Dia seorang pengamat transportasi udara dari Masyarakat Transportasi Indonesia. Penerbangan perintis yang melayani daerah terpencil, katanya, memerlukan perhatian serius dari semua pihak.
Selama ini, lanjutnya, perhatian hanya tercurah pada penerbangan di kota-kota besar saja. “Sementara penerbangan di daerah terpencil relatif kurang terawasi dan kurang tertib,” katanya.

Padahal kondisi alam di daerah-daerah terpencil itu sangat sulit untuk penerbangan. Bergunung terjal. Resiko kecelakaan kian tinggi lantaran sarana penerbangan juga jelek.  “Itu fakta yang tidak perlu diperdebatkan lagi. Memang kondisinya seperti itu, sudah rahasia umum,” kata Suharto.

Miskin sarana. Alam yang ganas. Faktor alam itu pula yang menyebabkan pesawat Susi Air itu celaka. “Gunung-gunung di wilayah Sugapa sangat tinggi. Mereka tidak bisa menghindarinya,” kata Susi, sembari menegaskan bahwa pesawat Susi Air yang celaka itu dalam kondisi layak terbang.

Cuma Ada Pesawat
Ini bukan kali pertama Susi Air celaka. Tanggal 9 September 2011 lalu, juga di bumi Papua, pesawat Susi Air juga celaka.  Jenisnya juga Caravan. Pesawat itu berangkat dari Wamena ke Kenyem di Pegunungan Tengah. Jatuh di Desa Saminage, Distrik Pasema Kabupaten Yakuhimo.

Pesawat itu dipiloti warga negara Australia, Dave Cootes, dan kopilot asal Slovakia, Thomas Munk. Pesawat yang jatuh itu tengah mengangkut solar dan sejumlah barang kebutuhan pokok. Pesawat ditemukan dalam kondisi hancur berantakan. Akibat kecelakaan di bulan September itu, Susi Air sempat menghentikan penerbangan di wilayah Papua untuk sementara waktu. Tujuannya menstabilkan kondisi mental dan psikis para pilot maskapai itu.

Belum tiga bulan, terjadi kecelakaan di Sugapa itu. Sejumlah pejabat Papua cemas bila lantaran peristiwa nahas yang terkahir itu, Susi Air akan pamit dari sana. Sekretaris Daerah Kabupaten Intan Jaya, David Setiawan, berharap Susi Air tidak menghentikan operasinya di wilayah Papua, hanya karena kecelakaan yang menimpa pesawat-pesawat mereka.

Sebab tidak ada transportasi lain di sana. Tidak ada transportasi darat. Cuma pesawat kecil itulah yang digunakan pemerintah untuk berkunjung ke daerah. Kalau Susi Air pamit, “Kami tentu kebingungan jika akan melayani masyarakat,” ujar David.

Sang pemilik Susi Air, Susi Pujiastuti, menilai bahwa perhatian pemerintah terhadap rute dan penerbangan perintis sesungguhnya cukup besar. “Cuma, kami ini bukan pemenang tender perintis. Kami merintis rute komersil sendiri,” katanya.

Meski merintis rute komersil sendiri, faktanya armada Susi Air adalah yang terbesar di Papua. Setidaknya, ada 22 pesawat Susi Air yang melayani penerbangan di wilayah Papua. Maskapai Susi Air ini didirikan pada tahun 2004 oleh Christian von Strombeck, seorang  warga negara Jerman dan Susi Pujiastuti.  Keduanya adalah pasangan suami istri.

Susi Air tidak hanya melayani penerbangan perintis di Papua, tapi juga di kawasan terpencil lain di Indonesia. Maskapai ini memiliki 47 armada yang terdiri dari 3 unit Piaggio P180 Avanti II, 2 unit Agusta Helicopters, 1 unit Diamond Twin Star DA42, 7 unit Pilatus PC-6 Turbo Porter, sementara sisanya adalah Cessna Grand Caravan C208B.

“Dalam tujuh tahun terakhir, ini kali kedua kami mengalami kecelakaan,” ungkap Susi. Kebetulan, kedua kecelakaan itu sama-sama terjadi di Papua. Padahal, penerbangan perintis di Papua kerap membawa bahan sembako atau logistik penting untuk masyarakat Papua.

Pesawat Susi Air yang jatuh Rabu ini misalnya, mengangkut 75 kilogram beras, 15 kilogram mie, 15 kilogram Masku, 950 kilogram semen, 4 kilogram telur, 26 kilogram jerigen bensin, 5 kilogram Bimoli, dan 8 kilogram cargo mix. Susi menegaskan, kapasitas bawaan itu belum melewati batas maksimal daya angkut pesawat yang mencapai 1 ton 150 kilogram.

Daftar Maut di Jalur Perintis
Penerbangan perintis di tanah air sudah beberap kali berjumpa dengan maut. Pada 12 Februari 2011, pesawat Cassa 212-100 milik operator Sabang Merauke Raya Air Charter celaka di kawasan Tanjung Berakit, Kabupaten Bintan. Pesawat yang lepas landas dari Bandar Udara Hang Nadim, Batam itu jatuh. Seluruh kru meninggal dunia.

Empat bulan kemudian, 7 Mei 2011, pesawat MA-60  milik Merpati Nusantara Airlines jatuh di Teluk Kaimana, Papua Barat. Pesawat itu menghujam laut cuma sekitar 500 meter dari landas pacu Bandara Kaimana. Seluruh penumpang dan kri meninggal.

Tanggal 9 September 2011, pesawat Susi Air jenis Caravan C 208 B pk-VVE yang berangkat dari Wamena dengan tujuan Kenyem wilayah Pegunungan Papua, jatuh di Distrik Pasema, Kabupaten Yahukimo. Pilot Dave Cootes yang warga Australia dan kopilot Thomas Munk yang warga Slovakia, tewas di tempat.

Di hari yang sama, pesawat Susi Air yang mengangkut dua penumpang dan dua kru tergelincir di Bandara El Tari, Kupang, Nusa Tenggara Timur. Pesawat yang baru tiba dari Sabu-Raijua itu tergelincir karena mengalami pecah ban belakang. Tak ada korban jiwa dalam peristiwa ini.

Belum genap dua pekan, 22 September 2011, pesawat jenis Pilatus PK-UCE milik maskapai Yajasi jatuh di wilayah pegunungan Papua, tepatnya di sekitar Paspalei Kabupaten Yalimo, Papua. Pilot Paul Westlund dan dua penumpangnya, Bois Sama serta Yosua Salak, meninggal dunia.

Sehari kemudian, 23 September 2011, helikopter jenis Bell 412 milik Airfast yang disewa PT Newmont Nusa Tenggara, juga jatuh. Heli yang diterbangkan pilot Agus Khaerudin dan kopilot Ari Palimpung itu ditemukan hancur berantakan di Pegunungan Dodo Rinti di Lembah Kemilas Ropang, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Kedua awak heli tak tewas.

Pada 29 September 2011, pesawat milik PT Nusantara Buana Air hilang di Bohorok, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Seluruh penumpang yang berjumlah 18 orang, termasuk 4 kru pesawat, meninggal dunia. Deretan kecelakaan itu, belum semua.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya