Konflik Agraria

Demo Merebak di 27 Propinsi, Apa Kata Istana

Demo Menuntut Hak Tanah di Istana
Sumber :
  • VIVAnews/Anhar Rizki Affandi

VIVAnews – Kamis 12 Januari ribuan orang bergerak menuju Istana negara. Mereka mulai memadati jalan depan istana pukul 9 pagi. Membawa spanduk dan poster, mereka menyerukan perlawanan terhadap pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, yang dituduh sebagai agen perampas tanah-tanah rakyat.

Istana Tegaskan Jokowi Tidak Ada Agenda Kunjungan Kerja ke Surabaya

Ribuan orang itu datang dengan bendera Sekretariat Bersama Pemulihan Hak-Hak Rakyat Indonesia. Berasal dari  organisasi petani, buruh, masyarakat adat, perempuan, pemuda, mahasiswa, perangkat pemerintah desa, dan sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat.

Mereka turun ke jalan mempersoalkan kebijakan pemerintah dalam soal kepemilikan tanah. Selain berunjukrasa depan Istana Negara massa juga mendatangi Gedung DPR. 

Strategi Perumnas Gandeng Telkomsel Sasar Pasar Hunian bagi Milenial dan Gen-Z

Belakangan ini kasus tanah memang kian memanas. Dari Mesuji di Lampung hingga kasus Bima di Nusa Tenggara Barat. Kasus serupa juga menyebar di sejumlah wilayah di Indonesia. Dari konflik soal tanah itu korban berjatuhan. Baik dari para petani, juga dari perusahaan yang berselisih dengan mereka. (Baca Sudah 189 Petani Tewas, Apa Sebabnya). Mereka yang berunjuk rasa itu datang dari berbagai daerah di Indonesia.

Aan Ashari, salah satu kordinator unjuk rasa itu mengatakan bahwa ribuan pendemo umumnya adalah mereka yang mengalami masalah atau menjadi korban kebijakan pemerintah di sektor agraria dan sumber daya alam. "Jumlah yang berkumpul sebanyak 10 ribu orang. Ada yang dari Bogor, Banten, dan Lampung," katanya kepada wartawan, Kamis pagi.

Ajang JDM Funday Mandalika 2024 Bukan Sekadar Balapan Mobil Jepang

Dan bukan cuma di Jakarta. Protes atas kebijakan pemerintah dalam soal tanah juga berlangsung di 27 provinsi lain. “ Semuanya menuntut pelaksanaan reforma agraria, pembaruan desa dan keadilan ekologis," kata Iwan Nurdin, Deputi Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria, salah satu organisasi yang tergabung dalam Sekretariat Bersama itu.

Saat ini, begitu bunyi pernyataan Sekretariat Bersama, praktik perampasan tanah dan sumber-sumber kehidupan rakyat yang difasilitasi oleh pemerintah kian brutal. Untuk mengamankan kepentingan korporasi, baik pemerintah pusat maupun daerah dengan sengaja menggunakan aparat keamanan dan PAM swakarsa untuk  menembak, membunuh, menangkap dan melakukan berbagai bentuk kekerasan lainnya kepada rakyat, termasuk kepada perempuan dan anak-anak.

Unjuk rasa di Istana Negara berlangsung damai. Dan Presiden SBY memang sedang tidak ada di Istana. Kericuhan justru sempat terjadi di depan gedung DPR. Massa berusaha masuk ke gedung DPR dan bertemu dengan wakil rakyat di sana. 

Mereka menggoyang keras pagar besi Gedung DPR yang ada di sisi kanan pintu utama, hingga jebol, terlepas dari engselnya.  Sejumlah pendemo lalu mencoba berlari menuju ke dalam gedung. Belum sampai ke dalam gedung, 100 meter dari pagar mereka langsung dihalau barikade  petugas yang dilengkapi tiga kendaraan water cannon yang menyemprotkan air deras. (Lihat videonya di sini)

Kapolda Metro Jaya Irjen Untung Rajab menegaskan bahwa kepolisian  akan menindak tegas para pelaku pengrusakan. "Seperti ini tidak bisa dibiarkan. Jelas akan ditindak, tidak boleh anarki," ujar Untung kepada wartawan, Kamis 12 Januari 2012. Untung menambahkan, ada 3 orang yang ditangkap dan diperiksa terkait perusakan pagar gedung DPR. "Apa motivasinya, apa betul-betul tentang buruh atau ada urusan politik," tuturnya.

Salah satu yang diamankan adalah Wawan, seorang petani asal Tasikmalaya. Ia ditangkap karena terlihat melempari water cannon dan kemudian loncat memasuki gedung DPR. "Waktu gerbang rubuh, dia kelihatan dorong-dorong tembok dan loncat, terus lempar batu ke mobil water cannon," jelas Mulyadi, seorang petugas kepolisian di pos keamanan.

Namun, Wawan memprotes perlakuan polisi. "Saya datang bersama rombongan. Yang lain juga melempar batu, jadi saya ikut-ikutan, pintu gerbang juga roboh jadi saya ikut masuk," kata Wawan.

Dia mengaku telah diperlakukan dengan tidak baik. "Saya nggak bersalah kok saya dilakukan tidak baik. Saya diinjak, disuruh merangkak lalu ditepuk-tepuk. Saya orang miskin, Pak, tapi diperlakukan sedemikian rupa bagaimana?," kata Wawan.

Dua anggota dewan, Ahmad Yani dan Suding Silalahi mendatangi ke pos penjagaan di mana Wawan ditahan. Mereka datang untuk mendampinginya. "Hanya sebatas diambil keterangannya oleh Kapolda, supaya cepat pulangnya. Tolong disampaikan ke sana (pendemo lain). Saksinya sementara sedang dipanggil," kata Suding yang berbicara kepada sejumlah pendemo lain yang masuk dalam gedung DPR, Kamis 12 Januari 2012.

Namun, penangkapan demonstran terlanjur menyulut kemarahan massa. Pengujuk rasa menggotong secara beramai-ramai pagar gedung wakil rakyat yang sudah berhasil mereka lepas ke jalan tol. Pagar pembatas tol yang sudah dirusak massa sebelumnya, memudahkan pengunjuk rasa  masuk tol.

Akibat aksi ini, lalu lintas kendaraan di Tol Dalam Kota yang akan menuju Slipi sempat berhenti total selama 10 menit. Tapi kondisi cepat ditanggulangi polisi, pagar itu kemudian dengan mudah disingkirkan dan ruas jalan bisa digunakan kembali. "Kalau tidak dikeluarkan, kita akan robohkan lagi pagar DPR, dan kita akan melawan," Kata Yani Andre, koordinator massa Serikat Petani Pasundan Tasikmalaya, Kamis siang. Sejumlah peserta aksi jahit mulut juga terlihat ikut dalam aksi itu.
 
Massa juga mencoret-coret tembok gedung dengan cat, menutut Presiden SBY untuk segera turun. Coretan itu antara lain bertuliskan, “Selamatkan uang rakyat, jayalah revolusi Indonesia”. Setelah diperiksa sampai petang, tiga orang yang ditangkap itu kemudian dibebaskan. ( Tiga Pendemo Kebijakan Agraria Dibebaskan)

Demo soal agraria juga digelar ribuan orang di Kalimantan Timur. Massa yang tergabung dalam Solidaritas Anti Pembantaian Rakyat menggelar aksi di depan Gubernuran Kaltim. Aksi ini diikuti oleh 18 LSM lingkungan hidup se-Kaltim. Demo dilakukan siang sekitar pukul 11.00 WITA. Mereka membawa spanduk dan membagikan selebaran berisi berita mengenai perebutan lahan warga dengan pengusaha.

Humas Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Merah Johansyah menuturkan bahwa dari pantauan mereka sejak 3 tahun lalu ada 11 sengketa agraria yang berpotensi melahirkan kasus Mesuji dan Bima Jilid II terjadi di Kaltim.

Tragedi penahanan 48 orang di Barambai menjadi contoh paling nyata bahwa aparat hukum berada di belakang para pengusaha. "Warga dianggap mengancam ketika membawa senjata tajam. Padahal, senjata yang mereka bawa itu digunakan untuk berkebun dan bertani di lahan mereka," kata Merah. "Kami mendesak agar aparat mendukung warga dan bukan malah djadikan alat oleh pengusaha. Dari semua kasus yang terjadi di Kaltim, tak pernah ada proses hukum terhadap aparat yang terlibat," tambahnya.

Lalu, kata Merah, di Muara Tae, Kutai Barat, warga diintimidasi dan ditekan oleh pengusaha. Potensi konflik sangat jelas terlihat. "Kami menuntut agar pemerintah turun tangan dan menyelesaikan kasus-kasus agraria, tarik mundur TNI/Polri dan daerah konflik agraria," ucapnya.

Pada aksi damai di depan Gubernuran, satu per satu dari 18 LSM yang bergabung dalam aksi demo itu memberikan orasi. Mereka juga menghadirkan beberapa orang korban dalam sengketa perebutan lahan. Dalam kasus di Barambai, Tenggarong Seberang misalnya, warga menuturkan bahwa mereka diintimidasi oleh polisi. Warga diancam dengan tiga pasal sekaligus yakni pemerasan dan membawa senjata tajam dan dijerat juga dengan UU Minerba tentang mengganggu aktivitas pertambangan.

Tanggapan DPR

Ada 12 tuntutan yang disuarakan massa, dalam demo serentak di seluruh Indonesia. Di antaranya, menghentikan segala bentuk perampasan tanah rakyat dan mengembalikan tanah-tanah rakyat yang dirampas. Juga, penarikan  TNI Polri dari konflik agraria, membebaskan para pejuang rakyat yang ditahan dalam melawan perampasan tanah.

"Perampasan tanah terjadi karena persekongkolan antara pemerintah, DPR dan korporasi. Mereka menggunakan kekuasaannya untuk mengesahkan UU yang merugikan mereka," kata koordinator umum aksi, Agustina, di depan gedung DPR.

Menanggapi tudingan para pendemo, bahwa pemerintah dan DPR menggunakan kekuasaan untuk membuat UU yang merugikan rakyat, Anggota Komisi Dewan III Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Hanura, Syarifuddin Suding mengatakan, itu tidak sepenuhnya benar.

"Saya kira saat pembahasan RUU kan sudah terbuka, saya kira masyarakat bisa melakukan kontrol. Kami juga berharap setiap rancangan UU diproses dan mendapatkan UU itu ya sedapat mungkin UU itu yang pro rakyat," kata dia di Gedung Dewan, Kamis 12 Januari 2011. "Itu yang mudah-mudahan bisa kami lakukan."

Suding mengklaim, pihaknya berkomitmen UU bisa memberi manfaat lebih besar kepada masyarakat. "Jadi UU yang pro-kapitalis ya sudah kami hentikan, ini kan untuk kepentingan bangsa dan rakyat."

Terkait RUU Agraria, Suding mengatakan, itu masih dalam Prolegnas. "Masih dibahas di Komisi II dengan pihak pemerintah. Saya kira sebelum itu akan dilakukan langkah harmonisasi, sinkronisasi di badan legislasi, ini belum dilakukan," tambah dia.

Suding lantas menjelaskan prosedur pembahasan UU. "Ketika ini sesinya dari pihak pemerintah, ya mereka menyiapkan naskah akademiknya. Lalu setelah itu dimasukkan ke DPR untuk dilakukan harmonisasi dan sinkronisasi, dan masuk ke paripurna apakah itu masuk, ataukah perlu dibentuk pansus," tambah dia.

Apakah tuntutan pendemo akan dimasukkan untuk pertimbangan RUU? "Oh iya, semua aspirasi yang muncul saya kira kami akomodasi untuk dijadikan bahan pembahasan," tambah dia.

Bentuk frustasi

Terkait aksi rusuh di muka gedung dewan, Anggota Komisi II DPR RI, Budiman Sujatmiko berpendapat, itu semacam frustasi sosial di lapisan masyarakat. “Terhadap terhadap performa institusi negara, baik eksekutif, legislatif, juga lembaga peradilan. Ini memang harus disikapi, perkembangan di masyarakat, baik ekonomi, sosial yang melahirkan konflik berlipat tak bisa diikuti dengan respon kelembagaan yang baik,” kata dia kepada VIVAnews.com, Kamis malam.

Yang sekarang harus dilakukan, dia menambahkan, adalah dengan memperjuangkan proses legislasi yang menjadi kebutuhan masyarakat, misal UU Desa. Tak hanya di Mesuji dan Bima, politisi PDIP ini mengatakan, perkembangan konflik sosial, terutama tanah sudah sangat luar biasa. “Sudah 189 jiwa menjadi korban. Apa ini artinya? Ada yang bergerak di bawah, saya periksa ternyata persoalan tak pernah ditangani secara tepat hingga terjadi bentrokan,” tambah dia.

Budiman menambahkan, sejatinya, aturannya, UU Agraria sudah bagus. Lalu apa masalahnya? “Ternyata nggak dilaksanakan secara konsistem,” tambah dia.

Budiman memperingatkan, jika konflik ini diselepekan, akibatnya akan fatal. Sebab, tanah bagi masyarakat adalah harga diri yang bahkan diperjuangkan dengan taruhan nyawa. “Istilahnya, ‘sedumuk bathuk senyari bumi', tanah adalah harga diri. Meski sejengkal, tanah dipertahankan sampai mati,” kata dia.

Dan, ini sudah terjadi. Ada sekitar 2.300-an kasus yang berujung pada bentrok gawat masyarakat dengan aparat.

Untuk itulah, kini dilakukan “gerilya” mengumpulkan tanda tangan anggota Dewan. Dalam rangka membentuk Pansus Agraria. “Agraria tak hanya soal tanah, tapi air, sumber daya alam di bawahnya, akses perdangangan, juga pertanian,” kata dia.

Hingga Kamis sore, sudah 34 tanda tangan anggota dewan yang dikumpulkan. “Malam ini terus dilakukan. Targetnya lebih dari setengah,” tambah dia.

Tanggapan Istana

Bagaimana tanggapan Presiden SBY atas aksi yang terjadi di hampir seluruh Indonesia itu? "Aspirasi mereka sejalan dengan program pemerintah terkait pembaharuan agraria, yang dimaksudkan untuk mengurangi kemiskinan dan kesenjangan pendapatan, mengurangi pengangguran, mengatasi berbagai sengketa, konflik dan perkara, membuka akses ekonomi, menjamin kepastian hukum dan penguatan hak rakyat," kata Staf Khusus Presiden bidang Bantuan Sosial dan Bencana, Andi Arief, 12 Januari 2011.

Andi Arief menegaskan bahwa tahun lalu secara konkret pemerintah telah membagikan tanah untuk petani di sejumlah wilayah. Antara lain di kecamatan Cipari, Cilacap dan Cibinong, Bogor.

"Telah keluarkan sertifikat secara gratis dan pelepasan lahan seluas 1.000 hektar kepada masyarakat petani penggarap gurem yang tersebar di 10 desa di Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor," lanjut Andi Arief. (Selengkapnya tanggapan istana baca di sini)

Laporan: Ikram| Kalimantan Timur

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya