Mengapa Ibukota RI Sulit Beri IMB?

Pembangunan apartemen di Jakarta
Sumber :
  • VIVA.co.id/Nurcholis Anhari Lubis

VIVAnews - Di tengah euforia peningkatan status Indonesia menjadi negara layak investasi (investment grade), kabar kurang sedap justru keluar dari laporan terakhir anak usaha Bank Dunia, International Finance Corporation (IFC).

Laporan berjudul Doing Business di Indonesia 2012 menunjukkan, Jakarta, ibukota negara, justru dinilai sebagai salah satu kota dari 20 kota di tanah air yang paling sulit memberikan kemudahan mengurus izin-izin mendirikan bangunan.

Bank Dunia melaporkan pengurusan IMB di Jakarta memerlukan waktu 158 hari. Periode yang sangat lama dibandingkan pengurusan administrasi serupa di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam selama 42 hari.

"Tidak ada satupun yang mengungguli kota lainnya di semua indikator," ujar Direktur Global Indicator and Analysis Department, Bank Dunia, Augusto Lopez-Claros dalam keterangan pers, Laporan Doing Business di Indonesia 2012, di kantor Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Jakarta, Selasa, 31 Januari 2012.

Lopez mengungkapkan rata-rata waktu yang dipersyaratkan mengurus izin-izin mendirikan bangunan di Indonesia adalah 74 hari. Lamanya waktu itu harus diakui lebih cepat 3,5 kali dibandingkan Malaysia, dan dua kali lipat lebih  cepat dari Thailand.

Peringati Hari Kartini, Peran Perempuan dalam Industri 4.0 Jadi Sorotan di Hannover Messe 2024

Tak hanya lama dalam soal proses IMB, Jakarta juga tercatat mengenakan biaya perizinan mendirikan bangunan berdasarkan tahapan konstruksi sebesar 105,3 persen dari pendapatan per kapita. Biaya ini terdiri dari biaya administrasi untuk mendirikan bangunan gudang dan memperoleh sambungan ke layanan utilitas seperti telepon dan air.

Tertinggal jauh

Dalam menuliskan laporannya, Doing Business dibuat dengan mengkaji peraturan usaha dari sudut pandang pebisnis lokal mulai skala kecil hingga menengah. Jakarta adalah salah satu kota mewakili Indonesia dalam membandingkan praktik kebijakan di 183 perekonomian di seluruh dunia.

Menurut Laporan Doing Business 2012, Indonesia yang diwakili Jakarta, telah berhasil mendudukkan negara ini di jajaran 50 perekonomian teratas dalam hal kemajuan paling signifikan mengurangi jarak dengan prestasi negara-negara berkinerja baik. Selain itu, Indonesia juga masuk jajaran 50 perekonomian teratas di kawasan Asua Timur dan Pasifik.

Khusus dalam menilai kinerja Doing Business kali ini, Bank Dunia menilai 20 kota di tanah air lewat tiga buah indikator. Ketiga faktor penilai itu adalah mendirikan usaha, mengurus izin mendirikan bangunan, dan pendaftaran properti.

Pemikiran yang melandasi penelitian ini adalah kegiatan ekonomi perlu didukung oleh kebijakan yang baik. Hal itu mencakup aturan-aturan yang menciptakan hak atas properti yang jelas, dan peraturan interaksi ekonomi menjadi mudah diprediksi.

Agar memperoleh penilaian cukup tepat, Bank Dunia mengaku menggunakan dua macam data pendukung. Pertama, data kajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kedua, indikator waktu dan gerakan yang mengukur efiusiensi dan tingkat kerumitan upaya untuk mencapai sasaran kebijakan.

Namun diakui Bank Dunia, laporan yang dikeluarkan kali ini memang tidak mengukur seluruh 11 indikator yang tercakup dalam laporan Doing Business versi global.

Hasil laporan Bank Dunia ini harus diakui cukup menggembirakan. Diantara 20 kota di tanah air, penilaian dari faktor mendirikan usaha menghabiskan rata-rata 9 prosedur, 33 hari, dan biaya 22 persen dari pendapatan per kapita nasional.

Temuan ini lebih cepat 13 hari dan 8 persen lebih murah dibandingkan hasil pengukuran yang dilakukan Bank Dunia dua tahun yang lalu. "Namun demikian, secara keseluruhan, Indonesia masih tertinggal jauh dari rata-rata APEC," kata Lopez.

Dia mengungkapkan, pengusaha di Indonesia harus menunggu hampir satu bulan lebih lama dibandingkan Malaysia, dan 4 kali lipat lebih lama dari Thailand. Apalagi jika dibandingkan Selandia Baru, Australia, dan Singapura yang hanya membutuhkan waktu tak lebih dari 4 hari untuk mendirikan usaha dengan biaya tak lebih dari 1 persen dari pendapatan perkapita.

Lopez menambahkan, selain pengenaan biaya pendirian usaha yang dikenakan secara langsung, para pengusaha di Indonesia juga wajib menyetorkan Rp12,5 juta sebagai modal disetor minimum. "Padahal persyaratan yang sama di beberapa negara sudah dihapuskan." kata dia.

Dari hasil penelitian Bank Dunia, rezim perizinan usaha di Indonesia memang telah membaik dalam 2 tahun terakhir. Namun, masih ditemukan perbedaan nyata antara kota, khususnya perusahaan baru yang harus memperoleh 3-5 izin daerah melalui 1-3 prosedur.

Faktor penyebab lain adalah masih banyak kota di Indonesia harus melalui pusat pelayanan terpadu yang berbelit, serta menghapus persyaratan memperoleh persetujuan yang tidak diperlukan. Serta, memungkinkan diajukannya permohonan secara bersamaan untuk memperoleh izin daerah.

Tak hanya itu, Bank Dunia juga menilai proses pemesanan nama perusahaan melalui sistem yang terkomputerisasi, hingga saat ini hanya dapat diakses oleh notaris. Begitu pula format pendirian usaha yang belum diketahui khalayak luas.

Pada indikator kedua yaitu kemudahan mengurus izin-izin mendirikan bangunan, Doing Business menyoroti prosedur, waktu, dan biaya yang harus dikeluarkan usaha kecil hingga menengah untuk memperoleh seluruh persetujuan. Izin ini tak hanya berupa bangunan gudang komersil sederhana, melainkan juga sambungan layanan air, pembuangan limbah, dan saluran telepon tetap.

Di seluruh Indonesia, kemudahan mengurus izin mendirikan bangunan membutuhkan rata-rata 10 prosedur, 74 hari, dan biaya 69,7 persen pendapatan per kapita.

Harus diakui, kemudahan ini lebih cepat dibandingkan rata-rata negara APEC yaitu 18 prosedur, 150 hari, dan 87 persen pendapatan per kapita. Tak heran,  dalam hal mengurus izin mendirikan usaha ini Indonesia menduduki peringkat ke 20 dunia.

Sayangnya, Bank Dunia mengaku masih menemukan perhitungan biaya untuk memperoleh IMB yang menggunakan rumus rumit. Masing-masing proyek diberikan tarif dasar yang mencakup biaya proses.

"Sebelum rencana pendirian bangunan disetujui, izin prinsip dipersyaratkan untuk memastikan mutu dan keselamatan. Namun seringkali beberapa lembaga berwenang terlibat dalam proses ini," kutip Laporan Bank Dunia itu.

Tak hanya itu, Bank Dunia juga menemukan 17 dari 20 kota di mana para pengusaha berinteraksi dengan lembaga pusat pelayana terpadu, justru menemukan peranan yang berbeda antara satu daerah dengan yang lainnya.

Di banyak kota, Bank Dunia pun menemukan kenyataan perusahaan konstruksi perlu memperoleh perizinan lokasi sebelumnya mengajukan permohonan IMB. Selain itu, pemberlakuan sistem komputerisasi, dari proses perizinan mendirikan bangunan masih tertinggal jauh dari negara lain.

Terakhir dalam hal pendaftaran properti, Bank Dunia juga menemukan Indonesia termasuk dalam negara dengan biaya tertinggi dalam proses pengalihan tanah. Di negara dengan tingkat kemudahan bisnis terbaik, biaya ini hanya berkisar 0,6 persen dari nilai properti.

Dalam hal properti, Indonesia juga masih menemui hambatan terbesar berupa lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mendaftarkan properti di Kantor Badan Pertanahan Nasional. Bahkan lembaga ini dinilai sering melanggar ketentuan bahwa pengurusan pendaftaran maksimal 5 hari.

Amnesty International Sebut Pelanggaran HAM di RI Semakin Buruk, Aparat Paling Banyak Terlibat

Masalah klasik

Menanggapi hasil laporan itu, kalangan pebisnis dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) membenarkan penilaian Bank Dunia tersebut.

Ketua Apindo Sofjan Wanandi, bahkan menilai sekitar 75 persen dari seluruh kota di Indonesia tidak baik dalam memberikan izin usaha bagi perusahaan yang ingin memulai bisnisnya. "Hanya sekitar 20-25 persen kawasan kota yang baik melakukan investasi. Sisanya masih sulit melakukan usaha," ungkapnya.

Sofjan mencontohkan, kota di kawasan timur Indonesia hingga saat ini masih sulit dalam hal pengembangan usaha. Meski ada pengusaha berminat, mereka umumnya hanya berani mengembangkan usaha kekayaan alam saja, bukan industri padat modal seperti manufaktur.

"Akhirnya orang cuma mau masuk karena kekayaan alam. Semua itu kekayaan alam juga menurut saya sudah dibagikan buat teman-temannya sendiri," kata dia.

Dalam pandangan pengusaha, penyebab utama masih rendahnya kemudahan bisnis di Indonesia berasal dari masalah klasik yaitu infrastruktur dan kepastian hukum. "Pungutan liar. Kalau tidak bayar mana bisa dapat izin usaha. Investasi bukan karena kekayaan alam kita. Coba investasi ke manufacturing, nggak ada yang mau," kata dia.

Sementara itu, pemerintah dalam hal ini Deputi Bidang Pengendalian, Pelaksanaan Penanaman Modal Badan Koordinasi Penanaman Modal, M Azhar Lubis, mengakui pemerintah masih lambat melakukan perbaikan. Meski ada perubahan perizinan usaha, namun perbaikan itu tidak lebih cepat dari negara lain.

"Kami semua melakukan perbaikan, tapi negara lain melakukan perbaikan lebih cepat. Kita masih kurang cepat melakukan perbaikan," kata dia.

Meski masih banyak kendala dalam hal kemudahan memulai bisnis, BKPM mengaku masih yakin tingkat investasi sebesar Rp283 triliun hingga Rp290 triliun tahun ini masih dapat tercapai.

"Tugas kita adalah bagaimana perkuat infrastruktur, jalan tol, listrik. Kalau tidak ada listrik, repot juga ada investasi," tuturnya.

Pesan yang kurang lebih sama disampaikan oleh perwakilan Bank Dunia, Lopez. "Akan lebih banyak pengusaha mendirikan perusahaan manakala proses perizinan usaha lebih mudah dan tata kelola pemerintahan yang baik serta tingkat korupsi negara yang rendah," kata dia.(np)

Waketum Partai Perindo, Angela Tanoesoedibjo

Beri Selamat ke Prabowo-Gibran, Perindo Sampaikan 4 Sikap

Wakil Ketum Partai Perindo Angela Tanoesoedibjo menyampaikan sikap partai mewakili Ketua Umum Hary Tanoesoedibjo, pasca keputusan MK dan penetapan Prabowo-Gibran pemenang

img_title
VIVA.co.id
24 April 2024