Managing Director Ford Bagus Susanto

"Konversi Gas Tak Bisa Langsung"

Managing Director Ford; Bagus Susanto
Sumber :
  • VIVAnews/Ikhwan Yanuar

VIVAnews  - Umurnya masih belia. Baru 37. Namun posisinya sudah menjadi orang nomor satu di perusahaan mobil asal Amerika Serikat,  Ford Motor Indonesia. Dialah Bagus Susanto, yang dinobatkan sebagai managing director pada Agustus 2011.

Bagus mengatakan,  sebagai anak pedagang, ia telah dididik mandiri. Saat sekolah, ia sudah terbiasa berdagang, termasuk jual buah. “Ini bukan bakat, tetapi kepepet,” katanya, sambil  tersenyum.

Dari usahanya yang keras itu, Bagus hanya membutuhkan waktu tak lebih dari 15 tahun untuk menjadi petinggi Ford.  Lulusan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) ini mengawali karir di Toyota pada 1997. Lalu pindah ke Ford pada 2003. Setelah itu, dia sempat ditugaskan di Thailand dan China, dan kembali dengan jabatan direktur pemasaran, sebelum akhirnya menjadi managing director.

Berikut petikan wawancara dengan Bagus saat berkunjung ke kantor VIVAnews  beberapa waktu lalu:

Anda masih sangat muda. Apakah Anda salah satu pimpinan termuda di Ford?
Kebetulan iya. Kalau itu kebetulan. Hehe..

Anda managing director paling muda sedunia?
Saya tak tahu kalau sedunia, tapi kalau se-Asia Pasifik, iya.  Ini kebetulan saja.

LIVE: Momen Bersejarah Raja Aibon Serahkan Tongkat Komandan Pasukan Tengkorak TNI ke Letkol Danu

Menjelang April pemerintah akan membatasi dan mengkonversi BBM bersubsidi ke gas.  Bagaimana Anda menanggapi dan apa persiapan Ford?
Kalau ditanya seperti itu jujur saja kami tidak punya persiapan apa-apa. Kenapa? Karena yang kami lakukan sekarang adalah menunggu. Rencana April ini sebetulnya sudah mundur dari 1 April 2011. Nah tentunya kami juga ingin tahu  rencananya seperti apa sih pastinya. Jadi sebelum kami melangkah, kan kami harus tahu  dulu. Itu yang pertama.

Kedua apakah berdampak pada Ford? Jujur saja, saya tidak yakin. Kenapa? Produk-produk yang saat ini kami jual sebetulnya sudah mengharuskan konsumennya menggunakan Pertamax, dan mereka sudah tahu tidak boleh menggunakan Premium. Memang, meskipun bisa, tapi ada yang dikorbankan. Satu faktor performa. Kedua mungkin kalau diteruskan itu ada faktor ngelitik. Jadi ngelitik bukan kerusakan, tetapi gejala di mana bahan bakarnya tidak sesuai, sehingga pembakaran tidak sempurna.

Kalau konversi ke gas bagaimana?
Kalau konversi gas itu, menurut saya, lebih kompleks. Ini karena tidak semata-mata langsung bisa dilakukan. Jadi harus ada engineering action supaya bisa menggunakan bahan bakar gas. Untuk melakukan itu, pasti ada enginnering spending cost yang harus kami lakukan, sehingga kami belum bisa melakukan apabila belum ada keputusan pemerintah.  Nanti kami sudah investasi ternyata tidak jadi malah rugi.

Artinya tidak seperti yang dianjurkan pemerintah yang tinggal pasang konverter?
Saya pikir Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia sudah menyampaikan sebetulnya tidak semudah itu. Karena kendaraan kita sekarang tidak di-set up untuk bahan bakar gas. Kalau seandainya pun ini konsumen atas inisiatif sendiri melakukan perubahan, sebetulnya kami tidak merekomendasikan hal tersebut. Sesuai dengan aturan kami, perubahan itu tentunya akan membatalkan garansi yang kami berikan kepada konsumen, karena sudah tidak standar pabrik lagi.

Kalau saya ingin beralih ke gas setelah pemerintah menyatakan oke, apa yang harus saya lakukan?
Pertama, saya belum yakin bahwa konsumen kita mau pindah ke gas. Kedua saya tahu sebagian besar mereka sudah menggunakan Pertamax atau  Pertamax Plus. Jadi buat mereka: buat apa saya pindah, toh selama ini saya menggunakan Pertamax.

Kan lebih murah?
Sekarang pun kalau mereka ingin lebih murah bisa menggunakan Premium. Tapi kan itu ada hal-hal yang dikorbankan.

Kalau gas ada yang dikorbankan juga?
Saya tidak bisa jawab pertanyaan itu. Karena belum dicek.  Kalau kita menggunakan bahan bakar gas, harus ada perubahan engineering. Kemudian. setelah dilakukan cek, apakah ada efek terhadap performa, dan lain-lain. Ini yang harus dijawab pemerintah, apakah sudah melewati standar pengetesan itu.  Ini tidak semata-mata oke kita cari bahan bakar murah.

Kalau di negara lain ada Ford yang gunakan gas?
Ada. Ada terutama untuk kebutuhan taksi. Dan kami bisa mengakomodasi hal tersebut. Karena kan bahan bakar alternatif bukan hanya gas saja. Ada biofuel misalnya. Bahkan Ford yang pertama memperkenalkan ke pemerintah pada waktu sedang hangat. Biofuel digalakkan pada 2005. Bahkan kami sumbangkan satu Ford Focus ke Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Karena justru teknologi kami memungkinkan menggunakan biofuel hingga 20 persen. Tetapi sampai sekarang ternyata masih belum jalan.

Apakah Ford masih wait and see?
Kalau Ford masih menunggu dulu lah. Kira-kira guidance dari pemerintah nanti jadinya seperti apa, dan setelah dari situ baru kami tindak lanjuti.

Apakah harus ada persetujuan dari Dearborn?

Oh, kami update.  Kami update  ke regional office berkaitan dengan rencana pemerintah dan sebagainya. Jadi mereka aware. Mereka tahu dan mereka menanyakan kepada kami apakah ini sudah pasti? Belum sih, kata teman-teman wartawan masih dibahas. Hehe..

Bagaimana Anda mendobrak merek-merek Jepang yang telah lama menguasai pasar Indonesia?
Sebetulnya yang saya mulai satu dulu, pasar otomotif kan bisa kami bagi segmen-segmennya. Mulai dari segmen city car, segmen small car, dan lain-lain. Kalau Fiesta itu kelas 1.500 cc, di atasnya nanti ada Ford Focus kelas 1.600 dan  2.000 cc.  Kemudian di atasnya lagi nanti ada kelas Camry, medium, kemudian di atasnya lagi ada Crown, dan sebagainya, dan sebagainya. Kemudian kalau kita bicara SUV juga berkelas-kelas juga. Kelas SUV paling kecil seperti Terios, Rush, sekarang ada Juke, naik lagi ada CR-V, Escape, X-Trail dan sebagainya. Naik lagi ada Fortuner, ini, ini.  Jadi memang berkelas seperti itu.

Nah salah satu tantangan yang kami hadapi untuk menembus dominasi Jepang di Indonesia itu adalah line up product yang lengkap. Kami baru punya  Ford Ranger, Everest, Escape, Focus, dan Fiesta, yang bermain di sekitar 20 persen dari segmen yang ada. Jadi itu menjadi tantangan kami. 

Karena itu dalam lima tahun ke depan kami akan meluncurkan produk baru, yang akan mengisi segmen-segmen industri otomotif. Contohnya Fiesta.  Simpel saja, Ford tidak punya pengalaman di Indonesia menjual city car,  tetapi saat kami launching berhasil meraih market share 10 persen.

Bagaimana sikap Ford dengan rencana Bank Indonesia mewajibkan minimum down payment 30 persen?
Kalau buat Ford saya rasa tidak ada pengaruh. Saya bisa mengatakan seperti itu karena kami pernah bikin program DP10 persen, tapi nyatanya tidak banyak yang beli. Jadi itu cuma menarik untuk di tagline komunikasi, tapi begitu kami cek dari  500 konsumen yang ambil tidak sampai 10.  Itu mungkin akan berpengaruh terhadap kelompok kendaraan roda dua.

Bagaimana sebaran kendaraan mobil dilihat dari sisi demografi? Apakah masih mayoritas Jawa?
Kalau secara potensi, Jawa terutama Jakarta masih menempati 40-50 persen volume penjualan nasional. Ford juga seperti itu. Ini berbeda dengan dulu, karena dulu andalan produk  kami adalah Ranger, di mana penjualannya sebagian besar di Sumatera, Kalimantan, Papua, dan Sulawesi. Nah sekarang dengan adanya Fiesta, ya Fiesta tahun lalu menjadi kontributor kami nomor satu.

Tapi ada indikasi tidak otonomi desentralisasi daerah-daerah itu tidak ada ya?
Itu menarik sekali. Saya bilang menarik karena dari segi volume, Jakarta dan sekitarnya masih dominan sekali. Tapi kalau kita berbicara growth ini beda. Pertumbuhan di luar daerah, terutama di daerah-daerah tingkat dua ini luar biasa sekali, khususnya Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi. 

Anda bisa terkejut dengan pertumbuhan yang ada, khususnya ya memang daerah-daerah yang menjadi andalan hasil bumi dan tambang. Ini pertumbuhan ekonomi luar biasa, kami pun juga surprise karena bisa menjual sedemikian banyak. Fiesta yang kami pikir waktu itu hanya bisa bisa dijual di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Bali, dan Medan, ternyata tidak. Penjualan Fiesta di daerah semacam Manado, Makassar, luar biasa sekali.

Di Samarinda, Palangkaraya, bahkan Papua pertumbuhannya sangat tinggi. Di Papua kami menjual Fiesta antara 10-15 rata-rata per bulan, dan market share kami nomor satu di sana.

Anda akan meluncurkan Fiesta versi sedan tahun ini. Tapi, tahukah Anda bahwa tren penjualan sedan di Indonesia terus menurun dan yang melonjak justru hatchback?
Saya setuju sekali.  Jadi memang faktanya sedan itu tidak mengalami tren positif karena ada beberapa persoalan. Pertama, sedan di Indonesia itu membayar pajak barang mewah lebih mahal daripada nonsedan. Jadi, misalnya Fiesta punya sedan dan hatchback, pemilik sedan akan membayar pajak barang mewah atau  PPnBM  lebih mahal dibandingkan pembeli hatchback.  Kedua, adanya faktor besarnya mesin, semakin besar kapasitas mesin, semakin besar pajaknya.  Ketiga juga ada faktor penggerak, 4x4 sama 4x2, beda lagi. Jadi kompleks. 

Kendarai Sepeda Motor Baru, Pelajar SMA di Brebes Terlindas Truk 

Nah, di sinilah yang menyebabkan kenapa sedan itu tidak mengalami tren yang positif.  Karena dengan struktur seperti itu, otomatis harga sedan akan selalu lebih mahal dibandingkan harga nonsedan.

Tapi ingat, sedan memiliki pasar tersendiri. Sedan sangat cocok untuk orang-orang yang sudah dewasa. Mereka sudah merasa kalau pakai sopir masa mobilnya hatchback? Selain itu, sedan juga cocok untuk orang-orang yang menyukai elegan dan eksklusif, tidak seperti hatchback yang seperti anak muda. (sj)

Catherine Wilson

Terpopuler: Catherine Wilson Malu sampai Atta Halilintar Kirim Doa

Round-up dari kanal Showbiz pada Jumat, 19 April 2024. Salah satunya tentang Catherine Wilson yang merasa malu karena mobil pemberian Idham Masse ditarik leasing.

img_title
VIVA.co.id
20 April 2024