Kasus Suap Kemenakertrans

Tuduhan Jaksa dan Bantahan Muhaimin

Muhaimin Iskandar Jadi Saksi di Pengadilan Tipikor
Sumber :
  • VIVAnews/Anhar Rizki Affandi

VIVAnews - Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Muhaimin Iskandar duduk di kursi saksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Senin 20 Februari 2012. Muhaimin, yang juga menjadi Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa itu, menjadi saksi dalam kasus suap dana Percepatan Infrastruktur Daerah (PPID) kawasan transmigrasi.

Tips Wujudkan Rumah Nyaman dan Sehat dengan Cat Dinding yang Tepat

Dia menjadi saksi untuk dua orang anak buahnya sendiri. Sesditjen P2KT Kemenakertrans I Nyoman Suisnaya dan Kabag Evaluasi dan Pelaporan Ditjen P2KT Kemenakertrans Dadong Irbarelawan. Dalam kesaksiannya Muhaimin mengaku tidak mengetahui aliran dana yang kemudian menjerat dua bawahannya itu.

"Saya sebetulnya baru tahu ada dana PPID sejak ada peristiwa ini, sekitar 20 Agustus," kata Muhaimin. Setelah kasus itu heboh, lanjutnya, dia makin tahu bahwa soal dana PPID itu adalah kewenangan Kementerian Keuangan. Penyaluran dana ini via Ditjen Perimbangan Keuangan.

Oknum Anggota Polisi di Bone Pakai dan Edarkan Sabu-sabu ke Warga

Jadi semenjak awal, lanjutnya, dia sama sekali tidak tahu menahu soal dana itu. Lantaran tak tahu menahu itu, dia membantah keras bahwa adalah kementeriannya yang mengusulkan penambahan dana PPID itu.

Meski demikian, Muhaimin mengakui mengenal sejumlah nama yang disebut-sebut dalam kasus ini seperti M Fauzi dan Ali Mudhori. Menurut Muhaimin, M Fauzi adalah staf bagian umum di DPP PKB sedangkan Ali Mudhori adalah mantan anggota DPR yang saat ini menjadi pengurus DPC PKB Lumajang.

"Apakah pernah memerintahkan Fauzi untuk menerima uang?" tanya Hakim Herdy Agustein. "Tidak pernah dan tidak ada hubungan sama sekali," jawab Muhaimin. Muhaimin juga membantah memerintahkan bawahannya, Nyoman Suisnaya meminta bantuan dana Rp2 miliar untuk tunjangan hari raya (THR).

Muhaimin, yang juga akrab disapa Cak Imin itu mengaku bahwa memang ada sejumlah orang yang sengaja mencatut namanya untuk pencairan dana PPID dan minta uang THR itu. Mereka yang mencatut namanya itu adalah M Fauzi, Ali Mudori, Sindu Malik, dan Iskandar Pasajo alias Acos. "Yang paling parah Danny Nawawi," ujarnya.

Jadwal Mobil SIM Keliling DKI Jakarta, Bandung, Bogor, Bekasi Rabu 8 Mei 2024

Hakim Ugo langsung menyela dan mempertanyakan sikap Muhaimin sendiri terhadap sejumlah orang mencatut namanya itu. Merasa dicemarkan namanya, kok tidak menuntut. "Kami akan menunggu perkembangan persidangan, bagaimana mereka memanfaatkan nama saya secara negatif, saya tidak ada perintah dan tidak ada arahan," jawab Muhaimin

Orang-orang di Sekitar Muhaimin

Kasus suap ini terbongkar saat KPK menangkap dua bawahan Muhaimin di Menakertrans. Mereka adalah Dadong dan Nyoman. Keduanya dibekuk 25 Agustus 2011 dengan sangkaan menerima suap Rp1,5 miliar dari seorang pengusaha bernama Dharnawati.

Uang itu diberikan sebagai imbalan dicairkannya dana PPID. "Ada sejumlah dana percepatan pembangunan infrastruktur daerah dalam bidang transmigrasi di 19 kabupaten dengan nilai dana Rp500 miliar," kata petinggi KPK.

Dalam persidangan, Dadong dan Nyoman didakwa karena menerima hadiah atau gratifikasi berupa uang senilai Rp2 miliar dari Dharnawati selaku kuasa direksi PT Alam Jaya Papua.

Pemberian uang itu dilakukan pada 19 Agustus 2011 di kantor Kemenakertrans, Kalibata Jakarta Selatan. Uang itu dicairkan, karena Dadong bersama Nyoman telah memenuhi permintaan Dharnawati agar Kabupaten Mimika, Kabupaten Keerom, Kabupaten  Manokwari dan Kabupaten Teluk Wodama diusulkan sebagai daerah penerima dana PPID APBN-P tahun 2011.

Selain itu, Dadong dan Nyoman telah mempertemukan Dharnawati dengan pengusaha PT Alam Jaya Papua, Bupati dan Kepala Dinas semua daerah penerima dana PPID. "Agar dapat ditunjuk sebagai kontraktor pelaksana dalam proyek pembangunan Kota Terpadu Mandiri," paparnya.

Fee atas kesuksesan menggirinng proyek PPID ke sejumlah daerah itu ternyata bukan Rp 2 miliar tapi Rp7,3 miliar. Uang sebanyak itu ditampung dalam buku tabungan BNI.

Dalam surat dakwaan atas Dadong dan Nyoman yang dibacakan Jaksa Jaya P Sitompul digambarkan secara deteil bagaimana proses penyerahan uang sejumlah Rp7.3 miliar itu. Dharnawati menyerahkan buku Tabungan Bisnis BNI Taplus beserta kartu ATM dan nomor pin kepada Sesditjen P2KT Kemenakertrans I Nyoman Suisnaya.

Tapi buku tabungan itu cuma berisi uang sebesar Rp501 juta. Penyerahan buku tabungan BNI dengan nomor rekening 0226473970 beserta ATM atas nama Dharnawati itu dilakukan untuk meyakinkan bahwa Dharnawati mampu membayar commitment fee.

Buku tabungan dan ATM selanjutnya diserahkan Nyoman kepada Kabag Evaluasi, Program dan Pelaporan Ditjen P2KT, yaitu Dadong Irbarelawan untuk disimpan.

Namun pada 18 Agustus 2011 buku dan kartu ATM diminta kembali oleh Dharnawati setelah anggaran Dana PPID tahun anggaran 2011 disetujui Badan Anggaran DPR dan Kementerian Keuangan.

Menurut jaksa penuntut kasus ini, ATM itu diambil kembali tetapi sesudah itu Dharnawati melakukan pemindahbukuan. Pemindahaan buku itu, katanya, "Dalam rangka memenuhi sebagian dari komitmen fee yang akan diberikan kepada Menakertrans, Abdul Muhaimin Iskandar," ujar Jaksa Jaya Sitompul dalam dakwaannya.

Jaya menjelaskan bahwa sekitar pukul 13.00 WIB, Dharnawati melakukan pemindahbukuan uang sebesar Rp1 miliar di kantor layanan BNI Cabang Kemenakertrans di Jalan Taman Makam Pahlawan Kalibata. Uang dipindahkan dari rekening BNI nomor 2170719683 atas nama Dharnawati ke rekening BNI yang diserahkan ke pihak Kemenakertrans.

Keesokan harinya tanggal 19 Agustus 2011, Dharnawati kembali melakukan pemindahan uang sebesar Rp500 juta. Sehingga total saldo dalam rekening penampung fee untuk Kemenakertrans mencapai Rp2,001 miliar. "Posisi saldo sejumlah Rp2.001.384.328 miliar," ujar jaksa Jaya.

Tanggal 25 Agustus 2011, Dharnawati mengantarkan uang Rp1,5 miliar yang dicairkannya dari rekening penampung fee. Serah terima uang yang disimpan dalam kardus duren itu dilakukan di area parkir gedung utama Ditjen P2KT Kemenakertrans.

Kardus berisi uang dipindahkan dari mobil Toyota Avanza hitam nomor polisi B 1894 SKG milik Dharnawati ke mobil Toyota Avanza warna silver berplat nomor B 8181 UL milik staf Ditjen P2KT, Dandan.

Fakta serupa juga diungkapkan oleh jaksa Dwi Aries dalam sidang dengan terdakwa Dharnawati. Persidangan Dharnawati dan dua terdakwa sebelumnya digelar terpisah. Menurut Jaksa Dwi, sebagian uang yang telah dicairkan untuk diserahkan ke Menakertrans Muhaimin Iskandar melalui stafnya, M Fauzi.
 
"Uang Rp1,5 miliar telah siap dipergunakan untuk keperluan Menakertrans Abdul Muhaimin Iskandar namun Fauzi (staf Menakertrans) yang akan mengambil uang tersebut belum datang, maka uang disimpan di brankas Bendaharawan Sesditjen, Syafruddin," kata jaksa Dwi Aries.

Namun, jaksa menilai fee itu tidak hanya diterima oleh Dadong dan Nyoman. Uang itu juga diterima Menakertrans Abdul Muhaimin Iskandar dan Dirjen P2KT Djamaluddin Malik.

"Terdakwa sengaja memberikan uang kepada nama-nama di atas karena mengetahui mereka memiliki kewenangan mengusulkan daerah penerima Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPPID) Bidang Transmigrasi dalam APBN-P Tahun 2011," ujar Jaksa.

Dugaan keterlibatan Muhaimin dalam kasus ini juga disampaikan jaksa penuntut umum dalam dakwaan atas Dhanarwati. Disebutkan dalam dakwaan itu bahwa Muhammad Fauzi yang merupakan orang terdekat Muhaimin Iskandar diketahui melaporkan kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi itu bahwa commitmen fee sudah dicairkan. Uang itu sebesar Rp1,5 miliar.

Dalam surat dakwaan yang dibacakan Jaksa Dwi Aries, disebutkan bahwa atas arahan Muhaimin, M Fauzi meminta agar uang tersebut disimpan dahulu oleh Nyoman Suisnaya dan Dadong Irbarelawan. Meski nantinya uang diambil lagi oleh M Fauzi. Disimpan dulu,"Karena pemberian commitment fee sudah tercium wartawan," kata JPU Dwi Aries saat membacakan dakwaan Dharnawati di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu 16 November 2011.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya