RI Berhasil Negoisasi Harga Gas Tangguh?

Produksi Gas PT.Badak
Sumber :
  • Antara/Prasetyo Utomo

VIVAnews - Pemerintah saat ini tengah berusaha keras agar renegosiasi harga gas alam cair (LNG) dari lapangan LNG Tangguh di Teluk Bintuni, Papua Barat, yang diekspor ke Fujian, China dapat menghasilkan kesepakatan terbaik. 

Ribuan Rumah dan Ratusan Hektare Sawah di Tasikmalaya Terendam Banjir

Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) bahkan menargetkan pada pertengahan tahun depan, 2013, renegosiasi harga gas yang dipandang terlalu murah dapat mencapai kesepakatan baru.

Sebab, bila revisi harga gas tersebut berhasil dimenangkan Indonesia, diperkirakan dapat meningkatkan penerimaan negara dari sektor minyak dan gas. "Kita harapkan, sekitar Juni 2012, rencananya (renegosiasi) harga gas Fujian telah selesai," kata Kepala BP Migas  Priyono, saat ditemui VIVAnews di kediamannya, Senin 20 Agustus 2012.

Terharu! Ivan Gunawan Resmikan Sebuah Masjid di Uganda, Ucapkan Rasa Syukur kepada Tuhan

Priyono menjelaskan, pemerintah akan terus berupaya untuk menyesuaikan harga gas Tangguh sesuai dengan harga pasar gas saat ini. Agar renegosiasi berjalan, pemerintah sedang menunggu permintaan kompensasi dari pemerintah China. "Pasti ada kompensasi untuk renegosiasi harga gas ini, Fujian minta sesuatu dan kita sedang menunggu itu," ujarnya.

BP Migas, lanjut Priyono, giat melakukan renegosiasi harga gas untuk meningkatkan penerimaan negara karena lifting gas yang terus menanjak sedangkan lifting minyak terus menurun.

Peluk Pratama Arhan Usai Indonesia Kalahkan Korsel, Azizah Salsha: Super Proud!

Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Evita Legowo juga mengaku bahwa tim renegosiasi pemerintah yang dipimpin Menteri Koordinator Perekonomian, Hatta Rajasa, telah melakukan beberapa kali pertemuan internal untuk menyusun strategi.

Hatta Rajasa sebelumnya pun mengatakan, pemerintah Indonesia menginginkan harga gas Tangguh yang dijual ke Fujiyan, China, mengikuti harga internasional. Sebab, harga jual gas LNG Tangguh terlalu murah dan hal itu tidak boleh terjadi lagi.

Sedangkan Direktur Center for Petroleum and Energy Economics Kurtubi menilai, bila Fujian masih minta kompensasi terhadap harga gas Tangguh, tentu itu akan merugikan Indonesia.

"Jadi, mestinya Fujian tidak perlu minta kompensasi lagi karena harga yang mereka bayar saat ini sangat murah US$3,35 per mmbtu (million metric british thermal unit), sementara LNG yang ke Jepang dihargai sekitar US$20/mmbtu," kata dia kepada VIVAnews.

Apalagi menurut perjanjian, tambahnya, harga jual gas Tangguh memang bisa diubah setiap empat tahun sekali. Tentunya, kalau saat ini Indonesia minta agar formula diubah itu sudah sesuai dengan kesepakatan bersama.  

Seperti diketahui harga gas ekspor dari Tangguh ke Fujian saat ini sebesar US$3,35 per mmbtu. Harga ini jauh lebih murah dibandingkan dengan harga pasar yang saat ini sekitar US$5-6 per mmbtu.

Harga gas Tangguh sendiri pernah direnegosiasikan oleh pemerintah. Pada kontrak 2002, harga jual gas LNG Tangguh ke Fujian disepakati US$2,4 per mmbtu dengan patokan batas atas harga minyak mentah US$25 per barel.

Pada 2006, harga gas direnegosiasikan lagi menjadi US$3,8 per mmbtu dengan patokan batas atas harga minyak mentah US$38 per barel.

Menurut hitungan Deputi Pengendalian Operasi BP Migas, Rudi Rubiandini, bila harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) berkisar US$100 per barel, idealnya harga jual gas LNG Tangguh sebesar US$5-7 per mmbtu. 

Sementara itu, per semester I-2012, penerimaan negara dari hulu migas sebesar US$18,81 miliar atau 56 persen di atas target APBN-P 2012 sebesar US$33,48 miliar.

Hingga akhir tahun 2012, BP Migas memprediksi penerimaan negara dari sektor hulu migas sebesar US$34,14 miliar. Selain ditopang naiknya harga minyak dunia, melesatnya penerimaan negara dari sektor migas disebabkan keberhasilan merenegosiasi harga gas.

Sedangkan harga rata-rata penjualan gas bumi naik menjadi US$10,83 per juta mmbtu, di atas harga rata-rata penjualan gas bumi dalam APBN-P 2012 sebesar US$8,23 per mmbtu.

"Penerimaan negara per Juni 2012 saja sudah melampui target, dan peranan gas sudah dimulai. Ke depan, diharapkan akan lebih signifikan ke gas," kata Priyono. 

Kampanye Penggunaan Gas

Di sisi lain,  yang terus melonjak karena tingginya permintaan, membuat Pemerintah Indonesia terus mencari alternatif lain yakni menyiapkan bahan bakar lebih murah untuk kendaraan bermotor maupun sebagai konsumsi rumah tangga. 

Bahkan, setelah memutuskan memberlakukan pembatasan BBM bersubsidi, pemerintah mengkampayekan program konversi BBM ke bahan bakar gas (BBG). Dua jenis BBG, kini seolah tak asing lagi di telinga masyarakat, Liquid Gas for Vehicle (LGV) dan Natural Gas Vehicle (NGV).

Di Amerika Serikat, penggunaan gas sebagai bahan bakar kendaraan bukanlah barang baru. Laman beaconite.com melaporkan, penggunaan NGV untuk kendaraan pertama kali diujicoba pada 23 Oktober 1970. Kala itu, sebuah pesawat roket, The Blue Fame, yang dikemudikan oleh Gary Gabelich mencetak rekor kecepatan 622,407 mil per jam di Bonneville Salt Flats, Utah, AS. 

Pengembangan NGV pun dimulai oleh mantan pegawai Institute of Gas Technology, IGT itu. Gary berambisi besar mengembangkan LNG untuk kendaraan, khususnya mobil roket bertenaga gas. Proyek The Nothern Illinois Gas Company dan IGT itu pun dilirik oleh American Gas Association. 

Jauh sebelumnya, gas sudah dipakai untuk kendaraan bermotor pada 1930. Inovasi  ini lalu berlanjut setelah berakhirnya Perang Dunia II. Walau telah dikembangkan, penggunaan NGV ini sama sekali tak pernah muncul di jalan-jalan di AS. 

Seiring kampanye global bagi kelestarian alam, dan menipisnya pasokan minyak mentah sementara harganya terus melambung, bahan bakar gas bagi kendaraan pun dilirik kembali. 

Bank Dunia mencatat, konsumsi Compressed Natural Gas (CNG) dan LNG Vehicle di AS mencapai 385 juta meter kubik pada 2000. Sementara itu, International Association for Natural Gas Vehicle (IANGV) melaporkan jumlah kendaraan lalu lalang di jalanan menggunakan BBG mencapai 1,5 juta unit dari 46 negara di dunia.

Gas di Negeri Tango

Argentina mungkin harus dicatat sebagai cerita sukses konversi bahan bakar ini. Mulus tanpa gejolak, negara di Amerika Selatan itu memulai program konversi BBM pada 1984. Saat ini, sedikitnya 668 ribu kendaraan BBG lalu lalang di sana. Padahal stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG) masih sedikit, hanya 923 unit. Bandingkan di AS, yang punya 1.250 unit. 

Negeri Tango itu awalnya menjalankan program konversi bertajuk The Liquid Fuels Substitution Program. Sebelumnya, mereka merasa cukup cadangan minyak dan gas alamnya. Tapi pada akhir 2000, cadangan minyak terbukti diperkirakan hanya bisa bertahan 10 tahun lagi. Cadangan gasnya, hanya 20 tahun. Argentina pun mulai mencari solusi mengatasi kemungkinan sulitnya pasokan BBM. 

Ketika program itu substitusi itu dijalankan, pemerintah Argentina hanya membangun dua SPBG. Awalnya, kendaraan dinas dan taksi diwajibkan memakai BBG. Tak ada subisidi apapun. Soalnya, ekonomi negeri itu belum begitu baik juga.

Lalu, program pun berlanjut. Ada regulasi standar keamanan, kualitas, mulai dari silinder gas, conversion kits, bengkel alat-alat konversi, kompresor, dispenser, prosedur pemasangan , dan berbagai aturan lain.  Argentina juga menyewa agen sertifikasi internasional.

Setelah persiapan cukup, mulai akhir 1990-an, pemerintah pun memutuskan menaikkan harga solar eceran. Memang, tujuan dari program konversi ini adalah mengalihkan penggunaan BBM oleh transportasi publik ke BBG. Tapi, kebijakan itu tak mudah. Harga BBG dan solar tak terpaut jauh. Harga solar pernah lebih rendah, dan baru mencapai puncaknya pada 1999. 

Program substitusi BBM ke BBG di Argentina itu harus diakui tak akan berhasil tanpa campur tangan pihak swasta. Dalam rentang 1985 hingga 1999, investasi langsung di industri NGV tercatat mencapai US$1,5 miliar.  Kini, kendaraan di Argentina sebagian besar adalah bi-fuel vehicle, dengan bensin dan gas. 

Kini, setelah 28 tahun berlalu, Argentina bisa menikmati hasil jerih payah itu. Industri NGV di sana bisa menghasilkan uang sebesar US$0,65 miliar per tahun. Setidaknya 1,5 miliar meter kubik gas alam cair terjual untuk kebutuhan bahan bakar transportasi umum. Angka ini setara konsumsi BBM bagi 3 pembangkit listrik 500 megawatt.

Kini, pasar NGV di negara itu sudah berkembang pesat. Industri NGV, dari perakitan kompresor, dispenser, silinder gas, pemasangan converter kits, seluruhnya dilakukan swasta.  BBG pun jadi barang laris manis.

Sedangkan Selandia Baru harus dicatat sebagai negara perintis penggunaan CNG bagi kendaraan bermotor. Mereka mulai pada 1980-an, setelah dunia diterjang krisis, dan mereka sadar betapa tinggi ketergantungan negeri Kiwi itu ke luar negari untuk urusan BBM. Alternatif pun dicari. 

Pada 1969, Selandia Baru sebetulnya menemukan cadangan minyak mentah di tambang lepas pantai. Tapi pada 1970-an, ada prediksi yang mengatakan temuan minyak itu toh tak bakal mampu memenuhi kebutuhan masyarakat. Pilihannya hanya satu, Selandia Baru harus menggunakan bahan bakar alternatif. BBG lalu menjadi targetnya. 

Langkah besar pun dilakukan. Pemerintah memberikan dukungan penuh pada upaya adopsi CNG sebagai bahan bakar kendaraan umum pada 1974.

Berdasarkan penelusuran, dan sejumlah rekomendasi, pemerintah Selandia Baru akhirnya memutuskan targat pengguna CNG sebanyak 150 ribu unit hingga 1985. Target itu lalu direvisi menjadi 200 ribu unit pada 1990. (sj)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya