"Soekarno: Indonesia Merdeka", Penuh Intrik dan Kritik

Film Soekarno
Sumber :
  • filmsukarno.com

VIVAnews - Podium bergetar. Suara lautan manusia yang mengelu-elukan sebuah nama, menggema. “Hidup Bung Karno! Hidup Bung Karno!” teriak mereka. Seluruhnya pribumi, lengkap dengan blangkon dan jarik. Mereka membawa-bawa spanduk bertuliskan PNI dan Marhaenisme.

Gol Menit 103, Qatar Lolos Perempat Final Piala Asia U-23 Usai Kalahkan Yordania

Langkah kaki tegap dan gagah dari sosok bersafari putih, menambah riuh suasana. Ia yang mereka tunggu sejak tadi. Ia yang mereka agung-agungkan namanya. Sosok berkopiah hitam itu kemudian melontarkan kata yang mengobarkan semangat. Gairah massa pun terbakar.

Mereka merangsek maju, menginjak-injak bendera merah-putih-biru. Hanya dengan kekuatan kata, mereka siap berjuang menerjang kolonialisme. Melahirkan sebuah kemerdekaan. Sosok di podium itu, Bung Karno, tahu benar caranya merebut hati rakyat dan membuatnya berkobar.

Konfrontasi Memanas, Iran Pertimbangkan Penggunaan Nuklir Lawan Israel

Padahal dulunya ia hanya seorang anak belia yang sakit-sakitan. Nama lahirnya Koesno. Sang Ayah kemudian menggantinya menjadi Soekarno. Ia pun lebih aktif. Kecerdasan dan kemampuannya beruntai kata tampak sejak dini. Tak heran, ia jadi murid kesayangan HOS Tjokroaminoto.

Padanya seorang, Tjokroaminoto pernah berpesan: “Seorang pemimpin itu, harus bisa menggenggam hati rakyatnya”. Tubuh Soekarno merekam kata-kata itu. Dihayatinya, dan diamalkannya sampai akhirnya ia menjadi Presiden pertama Republik Indonesia.

Asosiasi Sepak Bola Palestina Serukan Sanksi Terhadap Tim Israel pada Pertemuan FIFA

Adegan demi adegan itu terangkum dalam film Soekarno: Indonesia Merdeka. Karya sutradara Hanung Bramantyo itu sudah tersebar di bioskop-bioskop Indonesia sejak 11 Desember 2013 lalu. Namun, intrik pelik mewarnai perjalanannya.

Kontroversi keluarga Soekarno

Di tengah produksi, putri Bung Karno, Rachmawati Soekarnoputri muncul membawa kontroversi. Film tentang ayahandanya yang berlatar tahun 1920-an hingga kemerdekaan itu, disomasi. Ia menggugurkan kerja samanya dengan Multivision Plus, rumah produksi film itu.

Padahal mulanya, Rachmawati akur dengan Raam Pundjabi, bos Multivision Plus yang menjadi produser film Soekarno: Indonesia Merdeka. Mereka membuat perjanjian untuk bekerja sama. Rachmawati bahkan membentuk tim khusus untuk ‘mengawasi’ produksi film itu.

“Ini masuk akal, karena sejauh mana gesture Soekarno kan belum ada yang pernah ketemu,” ujar Rachma. Hanung boleh jadi sutradara. Namun Rachma adalah keluarga, lingkup terdekat. Bahkan putrinya sendiri. Ia yang paling tahu sosok ayahnya, dibanding ribuan referensi lainnya.

“Mereka nggak mengerti pikiran-pikiran Soekarno, saya ngerti,” katanya.

Namun dalam pembuatannya, Rachma merasa ada poin-poin perjanjian yang disalahi. Menurutnya, Soekarno yang ditampilkan dalam film itu tak sesuai fakta. Baik dari segi penokohan maupun alur cerita. Ia bahkan menganggap film itu memalukan dan melecehkan Soekarno.

Banyak hal yang dikritisi Rachma. Misalnya, adegan saat pipi Soekarno ditampar polisi militer. Itu terjadi beberapa kali hingga Sang Founding Father terjatuh ke lantai. Kata Rachma, ayahnya tak pernah mengalami itu.

Belum lagi cara pandang Soekarno soal wanita. Dalam film digambarkan, ia merayu perempuan di dalam kamar. Ada pula adegan ia merangkul pinggang Fatmawati, padahal kala itu masih beristrikan Inggit Garnasih. Ada pula adegan Soekarno muda hendak mencium Noni Belanda.

Yang lain lagi, soal pembuatan naskah proklamasi. Film menampilkan Soekarno mendikte Mohammad Hatta saat perumusan naskah. “Padahal naskah proklamasi dibuat oleh Bung Hatta, bukan Bung Karno. Ini terjadi pemutarbalikan fakta,” katanya.

Rachma juga tak sepaham soal pemeran utama. Menurutnya, Ario Bayu hanya anak muda yang lebih banyak tinggal di luar negeri sehingga tak memahami sejarah bangsanya sendiri. Ia bahkan tak kenal siapa Soekarno. Rachma sebenarnya ingin, pemeran Soekarno bukan dari kalangan selebriti.

Rachma sendiri sempat bertemu Ario dalam casting. Sekali itu saja, dirinya sudah kecewa. Ia mempertanyakan mengapa tim produksi menyodorkan sosok itu. “Dia tidak mengenal sosok Soekarno, dan dia menyebutkan ‘I'm not nationalist’. Jadi mengapa dia dipilih?” ucap Rachma.

Tetap Tayang

Rachma lantas menganggap perjanjian dengan Multivision Plus gugur. Meski begitu, produksi film terus berjalan. Hanung sebagai sutradara, merasa telah menjalani semua sesuai prosedur. Lagipula, ia orang kreatif. Punya kepentingan berbeda dalam filmnya.

Ia pernah menyebutkan, film memang harus sedikit ‘lebay’. “Bu Rachma mungkin melihat realitas. Tapi masyarakat melihat image yang besar. Buat saya, sosok Ario Bayu mewakili itu,” ucapnya di tengah syuting terakhir film Soekarno: Indonesia Merdeka.

Melalui akun Twitter pribadinya, Hanung melontarkan fakta-fakta yang ia temui dalam referensi soal Soekarno. Di antaranya, melalui buku Penyambung Lidah Rakyat tulisan Cindy Adams. Dari situ ia mendapat referensi soal cara Soekarno memandang wanita. Kemudian, ia ejawantahkan dalam film.

Akun Twitter Dapur Film milik Hanung juga menayangkan gambar perjanjian dengan Rachma. Di situ jelas bahwa Pihak Kedua dalam perjanjian, yakni Yayasan Pendidikan Soekarno yang diwakili Rachma, hanya berwenang memberi masukan soal konten film. Ia tak berhak menentukan pemain.

Soal itu, sudah dilakukan. “Skenario pernah diubah karena saya maunya heroik Soekarno menyetir mobil. Ternyata keluarga bilang, Soekarno nggak bisa nyetir. Jadi ya syuting ulang,” ujar Hanung.

Dalam gambar lainnya yang ditampilkan akun Dapur Film, Yayasan Pendidikan Soekarno menyatakan mengundurkan diri dari perjanjian. Pihak Rachma kemudian berencana membuat film lain berjudul Hari-hari Terakhir Bung Karno. Surat itu ditandatangani Rachma.

Namun, konflik masih meruncing. Rachmawati mengembalikan uang Rp200 juta kepada Mutivision Plus. Ia juga melaporkan Hanung ke pihak berwajib karena telah mencemarkan nama baiknya.

Setelah itu, ingar bingar intrik di balik Soekarno sempat meredup. Sampai akhirnya, film itu tayang 11 Desember lalu. Sehari kemudian, Rachma langsung menggelar konferensi pers di Universitas Bung Karno, Jakarta Pusat. Ia mendesak film Soekarno: Indonesia Merdeka ditarik dari peredaran.

Rachma didampingi kuasa hukumnya, Leonard Simorangkir dan Turman Panggabean mengaku sudah mengadukan perkara ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. “Kami ajukan Pasal 67 (Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta), soal penetapan sementara,” ujar Turman.

Kubu Rachma merasa, Rachma merupakan pemegang hak cipta film. Sebab, ide awal berasal darinya. “Hak cipta itu otomatis, tidak wajib didaftarkan,” ia menambahkan. PN Jakpus diklaimnya telah mengeluarkan permohonan penetapan sementara. Ia juga telah melapor ke Polda Metro Jaya.

Keinginan mereka jelas dan tegas: “Hentikan kegiatan yang terkait segala hal tentang film ini. Jika tidak, kami akan pidanakan dan perdatakan,” ucap Leonard.

Jawaban tim produksi

Tanggapan Hanung soal itu disampaikan melalui akun Twitter pribadinya. Menurutnya, saat hadir dalam premier film beberapa waktu lalu, keluarga besar Soekarno tak ada yang mempermasalahkan jalan cerita maupun akting para pemain. Ario dianggap menjiwai Soekarno.

Script sudah dikoreksi Pak Guntur. Scene by scene dibahas. Tak ada persoalan,” tulis Hanung, Kamis sore. Tak selang lama, ia menuliskan hal senada. “Saat premiere Pak Guntur, Bu Sukma, Kel Dewi S, Kel Bu Hartini hadir,” ungkapnya.

Namun bagi Rachma, itu tak memuaskan. Sebab, yang membuat film itu adalah dia, bukan Guntur Soekarnoputra ataupun Sukmawati Soekarnoputri. Dengan bertanya soal komentar film pada anggota lain keluarga Soekarno, Rachma merasa dilangkahi.

“Yang bikin film kan saya, bukan Guntur, Sukma, Mega, atau Guruh. Mereka nggak punya otoritas untuk memberikan komentar. Kalau mereka katakan bagus, ya itu si Guntur kali. Bisa saja komentar begitu, tapi yang membuat film tetap saya,” bebernya.

Tim Multivision Plus punya jawaban lain. Dihubungi VIVAnews, kuasa hukum David Abraham menyebutkan, pihaknya memang sudah menerima surat penetapan sementara dari Pengadilan Niaga, Jumat, 13 Desember 2013 siang. Ia diminta menghentikan peredaran film.

Namun, hanya yang menyangkut dua adegan: penamparan pipi Soekarno oleh polisi militer sampai terjatuh, dan penodongan pipi dengan popor senapan. “Kami diminta menghentikan tayang, tapi khusus adegan tersebut,” kata David.

Masalahnya, dua adegan itu justru tidak ada dalam film Soekarno: Indonesia Merdeka. “Perlu dicek dan diteliti ulang, keberadaan dua adegan yang dimaksud. Film yang sudah disensor LSF, diputar di acara premiere film, maupun yang saat ini beredar di bioskop, tidak ditemukan dua adegan yang dimaksud,” ungkap Multivision Plus dalam rilisnya.

Kalau adegan itu memang ada, David menuturkan, pihaknya tak keberatan mencabut film dari peredaran. “ Seandainya ada, ya kita akan tarik, edit, lalu putar lagi,” jawabnya ringan. Adegan soal cara pandang Bung Karno terhadap wanita, justru tak ada dalam surat penetapan sementara itu.

Karenanya, David menjelaskan kini Mutivision Plus tak akan melakukan apa-apa. Film tetap akan tayang di bioskop-bioskop. “Nggak ada yang akan kita lakukan, jadi kita aman-aman saja,” ujarnya.

Kritik dan pujian

Di luar segala intrik itu, hingga saat ini film Soekarno: Indonesia Merdeka masih tayang di bioskop-bioskop Indonesia. Ia bahkan dijadwalkan diputar di beberapa negara di dunia, seperti: Malaysia, Singapura, Kamboja, Vietnam, Jepang, Timor Leste, dan Amerika Serikat.

Bagi beberapa kalangan yang sudah menonton, film itu sungguh mengisi dahaga masyarakat soal kehadiran sosok pemimpim yang dapat melambungkan semangat patriotis. Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, Melani Leimena Suharli mengaku senang dengan adanya film itu.

Menurutnya, film itu mampu menumbuhkan cinta dan nasionalisme anak muda yang kini cenderung berkiblat ke Barat. “Bagus, supaya anak-anak jangan lihat ke (budaya) Barat. Kita lihat film seperti Sang Kyai, supaya anak-anak muda mengidolakan tokoh bangsa,” komentarnya.

Ketua MPR Sidarto Danusubroto juga menyampaikan apresiasi serupa. Sebagai mantan ajudan Soekarno saat menjabat sebagai presiden, ia tahu betul bagaimana sosok Sang Proklamator. Katanya, anak muda sekarang harus bisa menangkap idealisme dari pendiri bangsa seperti Seokarno.

Ia pun menyesalkan adanya konflik yang mengiringi perjalanan film. “Anak muda harus menonton, ini film sejarah. Saya tidak tahu masalahnya (kenapa digugat). Kalau distop dari peredarannya, saya sangat menyesalkan,” ia mengungkapkan.

Sidarto bahkan sedikit berkomentar soal bagaimana Ario mampu memerankan Soekarno dengan sangat baik. Meski wajahnya tak mirip, katanya, gesture-nya sudah seperti Soekarno. Ini berbeda dengan anggapan Rachma yang mempersoalkan Ario sebagai pemeran utama.

“Dilihat dari bagaimana dia perform, itu seperti Soekarno. Saya melihat Soekarno ada pada dia, meskipun Soekarno lebih handsome. Dia bisa memerankan seorang seperti Soekarno,” ucap Sidarto lagi. Ia mengakui, susah memang mencari sosok yang benar-benar seperti Soekarno sekarang.

Tokoh politik lain, Anas Urbaningrum, juga mengaku belajar soal sosok pemimpin dari film Soekarno: Indonesia Merdeka. Ia menuturkan, seperti Soekarno, seorang pemimpin harus meninggalkan warisan tak ternilai untuk bangsanya.

Mantan Ketua Umum Partai Demokrat itu mencontohkan, yang diwariskan Soekarno pada bangsa ini adalah proklamasi dan negara Indonesia. “Soekarno meninggalkan legacy yang kuat, luar biasa penting,” ujarnya usai menonton film Soekarno: Indonesia Merdeka.

Pujian juga datang dari negara lain, Jepang dan Belanda. Termaktub dalam Twitter Dapur Film, kedua negara itu datang pada premier film 9 Desember lalu. Perwakilan Belanda menuturkan, sejarah yang ditampilkan dalam film berbeda dengan yang selama ini diajarkan di negaranya.

Sedangkan bagi Jepang, film Soekarno: Indonesia Merdeka seperti mengingatkan sejarah kelabu perang pasifik. “Baginya (Jepang), #filmSoekarno cukup objektif memotret negerinya. Dalam situasi apapun selalu muncul manusia bengis dan manusia baik,” tulisnya.

Masih melalui akun Twitter itu, baik Belanda maupun Jepang berharap film Soekarno: Indonesia Merdeka bisa tayang di negeri mereka untuk menghadirkan perspektif sejarah baru.

Namun di sisi lain, ada pula kritik yang menghujani film itu. Salah satunya dari Willy Aditya, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Nasdem. Ia menilai, banyak hal penting dalam kehidupan Soekarno yang tidak termuat dalam film. Terutama, sisi dia sebagai politisi.

Kebetulan, Willy menuntaskan Sarjana di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada dengan skripsi bertema Filsafat Politik Soekarno. Keteguhan Soekarno saat merintis organisasi di Bandung kata Willy, kurang digali. Begitu pula saat ia tinggal di rumah HOS Tjokroaminoto.

Sebelum Soekarno diusir dari rumah Noni Belanda, sudah ada diskusi dan aktivitas mendengarkan ajaran Tjokroaminoto.

Ia menambahkan, Hanung juga kurang menggambarkan kehidupan Soekarno di Bandung. Padahal waktu itu ia dan Inggid pernah pergi menemui rakyat, mengorganisasi, dan berdiskusi.

Dari segi kemanusiaan, Hanung dianggap kurang menggambarkan sosok Soekarno sebagai penyayang anak. Sedang dari sisi sejarah, lanjut Willy, ada tokoh yang tak terlalu dilihatkan, seperti Tan Malaka dan M Yamin.

Hanung menyadari soal poin terakhir. Namun menurutnya, sayang jika Tan Malaka diberi ruang yang terlalu sedikit. Ia berpendapat sosok itu harus dibuatkan film tersendiri. Soal humanisme, Hanung sebenarnya sudah banyak menampilkan adegan Soekarno sebagai manusia.

“Namun diedit dengan alasan menjaga persaaan keluarga,” tulis Dapur Film. Suami artis Zaskia Addya Mecca itu mengungkapkan sulitnya membuat film biopik di Indonesia, sebab seorang tokoh sudah dianggap selayak Dewa. Mungkin itu sebabnya banyak ekspektasi terlalu tinggi terhadap film Soekarno: Indonesia Merdeka.

Terlepas dari itu semua, film yang mengangkat kehidupan tokoh bangsa telah sekali lagi hadir di tengah kita. Itu akan memercikkan semangat dalam diri pemuda. Willy pun menuturkan, sineas berhak menggambarkan Soekarno sesuai interpretasinya, asal tidak melecehkan atau menghina. (umi)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya