Mahalnya Identifikasi Korban AirAsia

Petugas SAR gabungan memakai pakaian steril untuk mengangkat jenazah korban pesawat Air Asia QZ 8501 di RSUD Imanudin, Pangkalan Bun, Senin (5/1/2015).
Sumber :
  • VIVAnews/Ikhwan Yanuar

VIVAnews - Identifikasi korban pesawat AirAsia QZ 8501 yang jatuh di Selat Karimata, dekat Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah tentu tidak mudah. Pemeriksaan ini membutuhkan keahlian khusus. Dibutuhkan sampel dan data yang valid untuk mengetahui korban.

Kepala Laboratorium DNA Pusdokkes Mabes Polri, Komisaris Besar Polisi Putut T Widodo, mengatakan, proses identifikasi jenazah penumpang AirAsia QZ8501 bahkan dianggap lebih sulit daripada identifikasi korban pesawat Sukhoi Superjet dan MH17.

“Korban MH17 mudah karena relatif masih utuh tubuhnya. Korban Sukhoi Superjet sedikit sulit karena selain tercerai berai juga terbakar. Kalau AirAsia lebih sulit dari keduanya karena terkena air laut,” kata Komisaris Besar Polisi Putut T Widodo, Minggu, 11 Januari 2015.

Menurut Putut, walupun jenazah AirAsia relatif utuh namun bakal mengalami pembusukan lebih cepat karena terlalu lama terendam air laut. “Kalau di laut itu tulangnya mudah rapuh. Tapi, kalau jenazah dalam kondisi terkubur tanah sampai ratusan tahun pun masih bisa diidentifikasi DNA-nya,” ujar dia.

Untuk jenazah AirAsia, Tim Disaster Victim Identification (DVI) mengambil sampel Deoxyribo-Nucleic Acid (DNA). Ini sangat penting untuk menunjang dan mempercepat proses identifikasi korban yang kebetulan satu keluarga.

Selain itu juga, jenazah di hari ke-14 ini kondisinya kian sudah tidak sempurna. Dia juga menjelaskan, dalam prosedur DVI sebenarnya semua korban AirAsia harus diautopsi.

“Namun, karena kasusnya jelas, daftar penumpangnya jelas, dan jumlah korbannya jelas, maka dituntut dilakukan cepat dan cermat untuk identifikasi,” jelas Putut.

Untuk masalah biaya, lanjut Putut, juga tidak murah. Biaya sampel DNA saja diperkirakan mencapai Rp2,2 miliar. Hal ini dikarenakan tim DVI membutuhkan 3 kali lipat sampel DNA. Satu dari jenazah, dua dari keluarga korban.

“Untuk satu sampel DNA biaya yang dihabiskan mencapai Rp4,6 juta. Maka tinggal mengalikan saja Rp4,6 juta kali 3 dan kali 162 jumlah korban. Kurang lebih sampai Rp2,2 miliar,” kata Putut.

Menurut Putut, dana sebesar itu ditanggung oleh APBN. Namun, dana tersebut belum termasuk pemeriksaan lainnya. “Kalau para tenaga ahli ini juga dibayar mungkin akan kian bengkak. Ada banyak tenaga ahli yang secara sukarela tidak dibayar. Mereka biaya sendiri dan senang karena untuk kemanusiaan,” ujar dia.

Putut menjelaskan, pemeriksaan DNA adalah pemeriksaan bagi penyusun inti sel yang adanya di dalam sel. Sementara sampel DNA yang diambil itu adalah sel.

“Seluruh tubuh manusia itu tersusun dari sel. DNA digunakan untuk identifikasi karena setiap orang memiliki DNA berbeda. Memiliki ciri khusus. Kecuali bagi orang yang kembar identik,” katanya

Cara identifikasi


Untuk bisa secara resmi menyatakan identitas korban sesuai standar DVI yang tersertifikasi Interpol, mereka harus melakukan lima hal, di antaranya
olah tempat kejadian (TKP), post mortem, antemortem, rekonsiliasi, dan debrifing.

Putut menjelaskan, untuk kasus AirAsia, olah tempat kejadian itu dikerjakan oleh Basarnas dalam bentuk pencarian, sampai jenazah diantar ke RS Bhayangkara Surabaya.

Setelah jenazah diterima RS Bhayangkara, kemudian masuk fase kedua, yang juga disebut Mortuary Process atau proses autopsi mayat.

“Di dalam dunia identifikasi, kalau belum teridentifikasi itu disebut mayat,” kata Putut.

Di fase kedua ini, semua ilmuwan bekerja, mulai dari ahli gigi, sidik jari, kedokteran forensik, antropologi forensik, ahli properti, dan ahli deoxyribo-nucleic acid (DNA).

“Pekerjaan dari berbagai ahli itu kemudian menghasilkan pink form (formulir merah muda) yang berisi data post mortem,” jelasnya.

Setelah fase dua terlalui, maka beranjak pada fase ketiga, yakni antemortem. Dalam definisi DVI, antemortem adalah pengumpulan data ciri-ciri orang hilang semasa hidup. Hasil pengumpulan data ini dituangkan ke dalam yellow form (formulir data kuning).

“Data antemortem yang bisa dikumpulkan misalnya ciri khusus tubuh, berat badan, tinggi badan, tato, gigi behel, tindik, bekas operasi, penanaman pen pada tulang, gigi-geligi dan properti. Orang dengan riwayat perokok juga bisa,” tambah Putut.

Selanjutnya, fase empat adalah rekonsiliasi, yakni rapat yang berisi membandingkan data antemortem dengan post mortem. Jika cocok, maka jenazah teridentifikasi.

Putut menjelaskan, DVI memiliki dua metode dalam identifikasi. Yang pertama ialah metode primer yang merupakan pencocokan data sidik jari, sidik gigi, dan DNA.

Kemudian yang kedua adalah metode sekunder yaitu pencocokan data medis dan properti.

Dalam sidang rekonsiliasi, para ilmuwan harus mengajukan argumentasi supaya identifikasi menjadi kuat. Kalau argumentasinya lemah, maka identifikasinya lemah.

“Rumus identifikasi ada dua. Pertama, apabila salah satu data primer cocok. Kedua, minimal dua data skunder cocok. Saat sidang, argumentasi yang diberikan ilmuwan memiliki dasar yakin, tidak yakin, dan kurang yakin. Hasil perdebatan dalam rapat inilah yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah,” jelas Putut.

Tahap kelima yaitu debrifing. Fase terakhir ini adalah rapat evaluasi operasi DVI secara menyeluruh. Ini dilakukan setelah semua operasi selesai dan dianggap tuntas.

“Debrifing diharapkan bisa memunculkan kebijaksanaan baru untuk operasi DVI di kasus atau identifikasi pada korban dalam kecelakaan yang lain,” tutup Putut.

3 Korban diketahui

Pada hari ke-15 ini, tim DVI kembali mengidentifikasi tiga jenazah penumpang AirAsia QZ8501. Dengan begitu, dari jumlah total 48 jenazah yang berada di RS Bhayangkara Surabaya, 32 jenazah diketahui identitasnya. Kini masih tersisa 16 jenazah penumpang yang masih dalam proses.

Ketua tim DVI Polda Jatim, Kombes Pol Budiyono mengumumkan, bahwa jenazah dengan label B037 bernama Vera Chandra Kho, perempuan berusia 19 tahun asal Tarakan Tengah.

“Identifikasi diperkuat dengan primer, giginya terjadi kesaamaan dan data skunder  yaitu medis dan properti berupa anting. Data antemortem dari kakak korban juga sama. Karena anting yang digunakan sama alias kembar waaktu memesan,” kata Kombes Pol Budiyono saat jumpa pers di Markas Polda Jawa Timur.

Bidik Wisman, AirAsia Buka Penerbangan Jakarta-Johor Bahru

Selanjutnya, kata Budiyono, rekonsiliasi dengan jenazah berlabel B047 bernama, Kyung Hwa Lee perempuan 34 tahun warga Negara Korea Selatan.

Berdasarkan data primer terjadi kesamaan antemortem dan postmortem. Ada temuan lain yaitu adanya tambalan gigi yang berbahan emas (gigi emas). Juga ada kecocokan data skunder data medis yaitu jenis kelamin dan usia, serta properti yang sangat signifikan.

“Korban memakai maternity bra (BH orang menyusui).BH yang bisa ditutup dan dibuka. Pihak  AirAsia juga memastikan Korban yang satu-satunya membawa bayi ini adalah bernama Kyung Hwa Lee,” kata Budiyono.

Selanjutnya, jenazah berlabel B048 teridentifikasi atas nama Seongbeom Park, laki laki 37 tahun warga Negara korea selatan. Dia adalah suami dari Kyung Hwa Lee. Dari pemeriksaan metode primer juga terjadi kecocokan postmortem dan antemortem gigi. Ada tambalan beberapa gigi yang berbahan emas (gigi emas).

“Juga diperkuat jenis kelamin dan usia serta properti, korban sedang mekai baby carier (gendongan bayi). Sama dengan data CCTV," katanya.

Menurut Budiyono, tim Korea Selatan juga ikut memastikan dua korban ini. Mereka juga mengakui jika jenazah tersebut teridentifikasi.

“Dengan begitu total keseluruhan dari 48 jenazah berhasil 32 teridentifikasi sisanya 16 dalam proses identifikasi. Pada waktu identifikasi, pemeriksaan diikuti semua tim baik dari Korea Selatan, Uni Emirat Arab dan Singapura,” katanya.

Baca juga:

AirAsia.

Terbang ke Singapura atau Korsel Diskon 50% di Pameran Ini

Akan dibuka rute ke Jepang, India dan Korsel.

img_title
VIVA.co.id
9 Februari 2017