KPK Butuh Kekebalan?

Mantan Ketua KPK Abraham Samad (kanan) bersama mantan Wakil Ketua Bambang Widjojanto
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

VIVA.co.id - Kabut gelap kembali menyelimuti lembaga penegakan hukum dan pemberantasan korupsi Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jelang seratus hari kerja Presiden, Joko Widodo.

Kabut gelap mulai menyelimuti KPK tatkala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri menetapkan Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto sebagai tersangka dalam perkara  sumpah  palsu sidang perkara sengketa Pemilihan Wali Kota Waringan Barat, Kalimantan Tengah.

Masyarakat dan penggiat hukum Indonesia pun terpaksa harus turun tangan, mereka beramai-ramai mendatangi Gedung KPK untuk memberikan dukungan. Banyak macam dukungan yang diberikan, mulai dari menjaga gedung KPK hingga mendesak Presiden Joko Widodo untuk memberikan imunitas alias kekebalan hukum kepada pemimpin KPK.

Semua yang dilakukan pendukung KPK yang bersatu dalam satu gerakan bernama #SaveKPK itu adalah tak lain agar KPK yang dinilai sebagai lembaga terhormat tidak mudah diserang lembaga atau institusi penegak hukum lain seperti Kepolisian dan juga Kejaksaan.

Namun, apakah imunitas hukum untuk KPK layak diberikan? Sebab selama ini kekebalan hukum hanya diberikan Kepala Negara asing, duta-duta besar dan anak kapal perang asing yang terjerat hukuman di negara lain.

KPK Periksa Keponakan Surya Paloh

Dan belum selesai kasus Bambang Widjojanto, beberapa komisioner tersisa yakni Adnan Pandupraja, Zulkarnaen dan Abraham Samad juga dilaporkan ke polisi. Semua komisioner potensial jadi tersangka. Jika itu yang terjadi, semuanya harus berhenti sementara dari posisinya. KPK terancam lumpuh.


Desakan Imunitas KPK

Orang pertama yang menggelontorkan isu sekaligus mendesak pemerintahan Jokowi untuk mengeluarkan kekebalan hukum untuk pimpinan KPK melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) itu adalah mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana.

Denny menilai, imunitas untuk KPK sudah sangat diperlukan mengingat saat ini, upaya kriminalisasi pemimpin dan pegawai KPK sudah kerap terjadi. Karena itu, perlu diberikan kekebalan yang disesuaikan dengan masa menjabat dari seorang komisioner.

Dalam keterangan tertulisnya, Denny menjelaskan kenapa Perppu ini sangat dibutuhkan bagi pimpinan KPK.

"Imunitas bagi pimpinan KPK tersebut nyata dibutuhkan untuk dalam jangka pendek menghentikan kriminalisasi yang sekarang dialami oleh beberapa pimpinan KPK, termasuk BW," katanya, Senin 26 Januari 2015.

Dalam jangka panjang kata Denny, perppu imunitas akan menghentikan kriminalisasi kepada pimpinan KPK berulang lagi di masa yang akan datang, setelah terus terjadi di masa lalu dan sekarang.

"Berlaku selama menjabat dan dalam konteks melaksanakan tugas, dengan sedikit pengecualian, misalnya tertangkap tangan melakukan korupsi," ujarnya.

Sebagai perbandingan, untuk menghindari kriminalisasi dan memastikan independensi imunitas dimiliki oleh anggota Ombudsman dan anggota DPR. Jadi, harusnya sangat wajar jika KPK yang tugasnya juga sangat berat diberikan hak imunitas.

Pasal 10 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2008tentang Ombudsman RI mengatur, bahwa dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Ombudsman tidak dapat  ditangkap, ditahan, diinterogasi, dituntut, atau digugat di muka pengadilan.

Sedangkan hak imunitas pada Anggota DPR-RI. Diatur pada Pasal 224 UU No. 17 Tahun 2014 tentang MD3. Anggota  DPR  tidak dapat dituntut di depan  pengadilan karena  pernyataan,  pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR.

‎Untuk lebih jelasnya, tentang hak imunitas ini, juga merupakan aturan yang jamak secara internasional. Bahkan, pada November 2012 lalu, di Jakarta telah berkumpul lembaga antikorupsi sedunia yang menghasilkan Jakarta principles, dan salah satunya mengatur tentang pentingnya hak imunitas bagi pimpinan lembaga independen antikorupsi.

"Sebab, kriminalisasi kepada pimpinan KPK bukan ciri khas Indonesia, tetapi merupakan modus jamak serangan balik yang dilakukan penegak hukum korup ketika mereka dijerat oleh lembaga sejenis KPK di daerahnya," katanya.

Denny mencontohkan Malaysia yang dengan tegas mengatur imunitas ini dalam Pasal 72 UU KPK mereka tahun 2009. Selanjutnya negara di Afrika yang rata-rata juga memiliki hak imunitas ini. Seperti Nigeria dan Zambia. Negara lain yang mengatur hal ini adalah Swaziland dan Australia.

"Memang kebanyakan adalah negara-negara berkembang yang masih punya penegak hukum yang korup, dan jamak melakukan serangan balik dengan kriminalisasi jika dibersihkan," katanya.

Tolak Imunitas KPK


Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Laoly, menyatakan semua pimpinan lembaga negara yang berstatus tersangka harus mengundurkan diri termasuk pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Namun, terkait status tersangka Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, kata Yasonna, masih harus melihat perkembangan selanjutnya.

"Itu kan (mengundurkan diri) menurut undang-undang. Tapi nanti kita lihat dulu bagaimana perkembangannya. Kan Pak Bambang masih diperiksa dulu. Kita lihat saja," kata Yasonna di Gedung BKPM, Jakarta, Senin 26 Januari 2015.

Yasonna akan memberikan masukan kepada Presiden Joko Widodo agar tidak bertindak terkait kisruh KPK dan Polri, sebelum suasana menjadi tenang. "Kami akan kasih masukan kepada Pak Presiden, harus membuat suasana tenang dulu," ujar Yasonna.

Terkait penetapan tersangka Bambang Widjojanto ini, seharusnya lebih mengedepankan transparansi. Selain itu, lanjutnya, lembaga hukum harus saling menjaga diri dalam bertindak dan harus sesuai dengan tugas pokok dan fungsi.

Menanggapi desakan agar pimpinan KPK diberikan imunitas melalui Perppu, Yasonna kurang setuju. Alasannya, semua orang sama di mata hukum, termasuk pimpinan KPK.

"Kita kan ada konstitusi, semua orang sama di mata hukum dan pemerintahan. Itu potensial untuk melanggar konstitusi," kata Yasonna.

Hal senada dipaparkan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama tidak setuju gagasan mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana tentang pemberian hak imunitas terhadap pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Enggak bisa seperti itu. Kamu kalau bunuh orang ya tetap harus ditangkap. Kamu kalau korupsi ya tetap harus ditangkap," ujar Ahok, sapaan akrab Basuki, di Balai Kota DKI Jakarta, Senin, 26 Januari 2015.

Ahok mengatakan, tidak seorang pun bisa bertindak di atas hukum di Indonesia. Bila hak itu sampai diberikan, bisa jadi banyak orang yang ingin bekerja menjadi pimpinan KPK dan malah mempergunakan keistimewaan status imunitas yang diterimanya untuk melakukan korupsi dan penyelewengan.

"Bisa-bisa semua koruptor jadi anggota KPK dong? Jadi anggota KPK kan seperti jadi dewa," ujar Ahok.

Akan lebih baik, kata Ahok, bila hak imunitas yang diberikan kepada anggota KPK adalah hak imunitas terbatas seperti yang pernah diterimanya saat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hak imunitas anggota DPR, kata Ahok, hanya menjamin para anggota dewan tidak dituntut atas apa yang dinyatakannya.

Hal ini, kata Ahok, akan menjamin para anggota KPK itu lebih bebas bekerja sekaligus meminimalisir tindakan kriminalisasi terhadap mereka.

"Saya setuju gerakan Save KPK, tapi kalau mereka mau diberikan hak imunitas, hak imunitas yang seperti apa dulu?" ujar Ahok.

Solusi Bebaskan Pimpinan KPK dari Jerat Hukum

Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Irjen Ronny F Sompie memastikan hanya ada dua cara untuk menghentikan kasus yang menjerat Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto.

Menurut Ronny, cara pertama adalah cara yang sama saat dihentikannya kasus yang menimpa pimpinan KPK terdahulu, Bibit Samad Rianto dan Chandra Martha Hamzah.

Kasus keduanya dulu pernah dideponir atau dihentikan oleh Kejaksaan Agung, berkat campur tangan presiden kala itu, Susilo Bambang Yudhoyono.

"Dalam kasus Bibit-Chandra, ada hak prerogatif bapak presiden, sehingga bisa dideponir," kata Ronny, Senin 26 Januari 2015.

Cara kedua yang dapat menghentikan penyidik Bareskrim untuk memeriksa Bambang ialah, dihentikan ketika ada perdamaian antara pelapor dan tersangka, yang dimediasi oleh pihak yang independen, bukan polisi.

"Itu peluang lain agar perkara bisa dihentikan," papar Ronny.

Namun, Ronny tetap meminta agar tidak ada intervensi dalam penyidikan yang dilakukan oleh Polri maupun KPK, termasuk intervensi dari presiden. "Biar hukum yang jadi panglima," ujar Ronny.

Sementara itu,  Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Hashim Djojohadikusumo, menyatakan bahwa partainya belum memutuskan soal usulan terkait perlu tidaknya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) untuk Imunitas Pimpinan KPK. Ini terkait konflik antara KPK versus Polri.

Menurut Hashim, pernyataan Ketua DPP Gerindra Habiburokhman yang mendukung wacana penerbitan Perppu Imunitas Pimpinan KPK untuk menyelesaikan konflik antara institusi KPK dengan Polri adalah pernyataan pribadi dan bukan keputusan resmi Partai Gerindra.

"Pernyataan Pak Habiburakhman adalah pernyataan pribadi dan bukan keputusan resmi Partai Gerindra" kata Hashim di Jakarta, Senin, 26 Januari 2015.

Kata Hashim, Partai Gerindra masih membahas perlu atau tidaknya penerbitan Perppu tersebut. Akan tetapi, partai yang dipimpin oleh Prabowo Subianto tersebut tetap mendukung pemberantasan korupsi. Ini demi terciptanya pemerintahan yang bersih demi kesejahteraan masyarakat.

Sebelumnya, Ketua DPP Gerindra Habiburakhman mendukung usulan mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana yakni membuat Perppu Imunitas Pimpinan KPK. Perppu itu dianggap bisa menjadi solusi yang cepat dan tepat dalam menyelesaikan konflik antara institusi KPK dan Polri pada saat ini.

"Memberikan hak imunitas bagi pimpinan KPK bisa menjadi solusi bagi kisruh KPK vs Polri ini," kata Habiburakhman.

Terkait imunitas unutk KPK, mantan Ketua Umum Muhammadiyah, Ahmad Syafi'i Maarif, berpendapat bahwa wacana pemberian hak imunitas (secara sederhana disebut hak kekebalan hukum) kepada para pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) patut dipertimbangkan.

Hak imunitas juga dapat diartikan sebagai untuk tidak tunduk pada hukum pidana, hukum perdata, dan hukum administrasi negara.

Hak itu bersifat sementara atau selama pimpinan KPK menjabat. Tujuannya adalah untuk melindungi atau mencegah upaya kriminalisasi terhadap para pimpinan KPK sehingga tak mengganggu upaya pemberantasan korupsi. Hak itu otomatis gugur manakala pimpinan KPK tak lagi menjabat dan berlaku hukum sebagaimana warga negara pada umumnya.

Namun Buya Syafi’i (panggilan akrab Ahmad Syafi'i Maarif) mensyaratkan perlu juga dibentuk badan pengawas jika hak imunitas itu diberikan. Badan pengawas untuk mengawasi kerja KPK agar tidak bertindak sembarangan dan semena-mena dalam mengungkap kasus.

"Selama ini hanya ada komisi etik yang dibentuk KPK sendiri dan itupun dibentuk jika ada pelanggaran etik yang dilakukan komisioner KPK," kata Buya Syafi’i kepada wartawan di kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Senin, 26 Januari 2015.

Menurut Buya, ketidaktegasan Presiden Joko Widodo menyikapi ketegangan antara KPK dengan Polri sangat terkait dengan partai politik yang mengusungnya. Pasalnya, Joko Widodo tidak punya posisi yang strategis di partai pengusungnya.

"Saya berharap, karena Presiden dipilih oleh rakyat, Presiden harus merdeka dalam mengambil sikap, dan nantinya akan dicatat dalam sejarah bangsa Indonesia," katanya.

Pelemahan KPK?


Upaya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi dirasakan nyata oleh anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Hasyim Muzadi. Bahkan upaya tersebut telah menjurus pada upaya penghancuran.

"Saya kira ada. Kalau pelemahan KPK sudah dari dulu. Sekarang sudah menjurus pada penghancuran," kata Hasyim, saat menyambangi Gedung KPK, Jakarta, Senin 26 Januari 2015.

Hasyim yang mengenakan kemeja berwarna putih itu tiba di Gedung KPK pada sekitar pukul 15.00 WIB. Mantan Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama itu menggelar pertemuan di dalam Gedung KPK sekitar satu jam.

Meski dia merupakan salah satu anggota Wantimpres, Hasyim menyebut kedatangannya itu adalah inisiatif pribadi, bukan atas nama anggota Wantimpres.

Saat disinggung terkait kisruh yang terjadi antara KPK dan Polri, Hasyim menyebut bahwa harus ada langkah untuk menyelamatkan kedua institusi tersebut.

"Sebab ini problem bukan intitusional. Ini problem personal yang bercampur dengan politik. Oleh karenanya yang perlu diselamatkan adalah dua lembaga hukum itu sekaligus," ungkap dia.

Hasyim menyebut bahwa Wantimpres sudah memberikan masukan kepada Presiden dalam menyelesaikan kisruh tersebut. "Kita sudah berikan ke presiden teknis untuk menyelamatkan itu," ujar Hasyim.

Menanti Presiden

Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Tedjo Edi Purdijatno, mengatakan, semua pihak harus bisa berpikir jernih menanggapi kisruh yang terjadi antara Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian saat ini.

Di kompleks istana kepresidenan, Sabtu 24 Januari 2015, Tedjo mengungkapkan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan menggiatkan komunikasi kedua pihak, agar dapat jernih dalam menanggapi permasalahan yang terjadi.

Dia menegaskan, pemerintah sesuai instruksi presiden, tidak boleh berpihak kepada salah satu institusi tersebut. Keduanya juga sudah ditegaskan agar jangan membuat gesekan.

"Kami akan mencarikan jalan terbaik, karena Bapak Presiden menginginkan save KPK save Polri, dua-duanya tidak boleh kita anak emaskan salah satu, tapi dua-duanya kita selamatkan," tegasnya.

Terkait kisruh ini, Presiden Joko Widodo telah memanggil tujuh tokoh untuk dimintai masukan mengenai kisruh yang saat ini terjadi antara Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Rencananya, tujuh tokoh itu akan diresmikan menjadi tim independen.

Namun, sebelum meresmikan tim ini, Jokowi akan melakukan kajian terlebih dahulu dengan menteri-menteri terkait.

"Presiden memangil kemarin tokoh-tokoh, lalu akan ada kajian dari kementerian terkait, diminta oleh Pak Presiden, besok [Selasa] jam 3 sore," kata Sekretaris Kabinet, Andi Widjojanto di Istana Negara, Jakarta, Senin 26 Januari 2015.

Setelah itu, ujar Andi, Jokowi akan mempelajari kajian tersebut sebelum dibuat payung hukum pembentukan tim independen itu.

"Kalau nanti harus dibentuk, harus ada payung hukumnya. Sampai saat ini belum, masih menunggu kajian besok," ujar dia.

Diberitakan sebelumnya, Presiden Joko Widodo akan membentuk tim independen guna mengungkap kasus pidana yang menjerat pimpinan KPK Bambang Widjojanto dan Kapolri terpilih Komjen Pol Budi Gunawan.

Tim independen ini terdiri dari mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif, mantan Wakapolri Oegroseno, Pakar Hukum UI Hikmahanto Juwana, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiediqie, Pengamat Hukum Bambang Widodo Umar, mantan Pimpinan KPK Ery Riyana Harjapamengkas dan Tumpak Hatorangan.

KPK Setor Uang ke Kas Negara Rp1,1 Miliar dari Eks Pejabat Muara Enim
Ilustrasi Foto Firli Bahuri dan Karyoto (Sumber Majalah Tempo 26 November 2023)

Integritas Firli Bahuri dan Komitmen Penegakan Hukum Irjen Karyoto

Setelah mempertimbangkan semua bukti-bukti pelanggaran etik yang dilakukan Firli saya menyimpulkan Firli memang bukan pribadi yang berintegritas.

img_title
VIVA.co.id
8 Januari 2024