Aturan Baru Pajak Properti Mewah Menjawab Lesunya Penjualan?

Pekerja menyelesaikan proses pembangunan rumah
Sumber :
  • VIVAnews/Muhamad Solihin

VIVA.co.id - Industri perumahan di Tanah Air, tampaknya harus bersiap-siap menghadapi tantangan baru. Pasar properti sepertinya tak cukup menanggung beratnya beban kenaikan suku bunga kredit pemilikan rumah (KPR) dan naiknya harga bahan bangunan.

Gerak pengembang properti akan dijerat oleh aturan baru soal pajak properti tentang Penggolongan Barang Sangat Mewah dan kebijakan yang mengatur mengenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).

Seperti diketahui, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan tengah menyiapkan revisi dengan menurunkan batas pengenaan objek pemungutan Pajak Penghasilan (PPh 22) terhadap transaksi barang yang tergolong ‘Sangat Mewah", sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor: 253/PMK/03/2008 tertanggal 31 Desember 2008, tentang Wajib Pajak Badan Tertentu sebagai Pemungut Pajak Penghasilan dari Pembeli atas Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewah.

Pemerintah dikabarkan juga tengah menggodok rencana perubahan PMK Nomor: 130/PMK.011/2013 tertanggal 26 Agustus 2013, tentang Perubahan Atas PMK Nomor: 121/PMK.011/2013 tentang Jenis Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Selain Kendaraan Bermotor yang Dikenai PPnBM.

Rencana menurunkan batas pengenaan pajak barang mewah atas rumah itu, menyusul naiknya target penerimaan perpajakan dalam rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara perubahan (APBNP) 2015, yakni bertambah Rp104,6 triliun menjadi Rp1.484,6 triliun, dari sebelumnya Rp1.380 triliun.

Wakil Menteri Keuangan, Mardiasmo, mengatakan berbagai upaya akan dilakukan pemerintah untuk mencapai target itu. Salah satunya, dengan mengubah aturan-aturan yang terkait penerimaan negara.

Dari situ, dia mengungkapkan, pemerintah berpotensi mendapatkan Rp27,8 triliun tambahan penerimaan negara. "Ada beberapa catatan saya, ini kami bicara peningkatan penerimaan negara," ujarnya.

Pengamat: Banyak Orang Kaya 'Dadakan' Bingung Jual Properti

Pelaksana Tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Andin Hadiyanto, Rabu 28 Januari 2015, menambahkan bahwa penurunan batas harga apartemen yang masuk kategori sangat mewah, dari Rp10 miliar menjadi Rp2 miliar ke atas, dilakukan guna menjaring wajib pajak baru.

Andin juga menjelaskan, kategori itu sejalan dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan target penerimaan pajak tahun ini. Aturan tersebut tercantum dalam PMK Nomor 253/PMK.03/2008 tentang penjualan barang sangat mewah yang dikenakan PPh pasal 22. Tarif yang dikenakan paling tinggi 7,5 persen.

"Ya, kami menjaring. Caranya, dapat wajib pajak orang pribadi kan, main di PPh 22, supaya dia isi SPT (surat pemberitahuan) pajak," kata Andin kepada VIVA.co.id.

Alasan perubahan itu diajukan mulai dari Rp2 miliar, karena saat ini apartemen seharga itu laris manis di pasar, seiring dengan tumbuhnya kelas menengah di Indonesia.

"Sebenarnya yang beli apartemen Rp10 miliar ke atas banyak juga, tetapi kami mau memperluas," ujarnya.

Rencana perubahan batas harga apartemen yang terkena pajak ini menuai pertentangan dari para pengembang dan pembeli. Karena itu, akan disosialisasikan terlebih dahulu.

Pengembang minta kaji ulang revisi pajak

Ada Tambahan Pajak, Properti Mewah Singapura Tetap Menarik

Apa pun itu, yang pasti, aturan baru tersebut akan semakin memberatkan konsumen pembeli rumah, karena untuk pengembang properti, cukup ditambahkan saja pajaknya.

Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (DPP REI), Eddy Hussy, mengaku menyadari keinginan pemerintah menerapkan kebijakan baru itu, adalah demi memenuhi target penerimaan negara dari sektor perpajakan.

Namun, menyikapi wacana perubahan aturan perpajakan itu, kata Eddy, REI berpendapat perlunya sejumlah pertimbangan, agar revisi aturan perpajakan bagi sub sektor properti yang berkategori mewah dan sangat mewah dapat diimplementasikan dengan baik, dan mampu menjaga, agar sektor properti dapat tumbuh dengan baik pula.

Terdapat wacana perubahan ketentuan, terkait pungutan pajak atas transaksi rumah tapak beserta tanahnya yang dikelompokkan barang ‘Sangat Mewah’, dari semula Rp10 miliar dan luas bangunan dan tanah lebih dari 500 meter persegi (m2) menjadi Rp2 miliar dan luas bangunan dan tanah lebih dari 400 m2.

Selanjutnya, untuk pungutan pajak atas hunian vertikal yang dikelompokkan barang ‘Sangat Mewah’, dari semula Rp10 miliar dan luas bangunan lebih dari 400 m2 akan direvisi menjadi seharga Rp2 miliar dan luas bangunan lebih dari 150 m2.

“Artinya, harga jual minimum unit rumah tapak sebesar Rp5 juta per m2 (harga rumah plus tanah) dan Rp13,3 juta per m2 untuk apartemen sudah dikategorikan barang ‘Sangat Mewah’. Kami merasa patokan harga itu sangatlah tidak mungkin. Sebab, harga jual rusunami (rumah susun sederhana milik) di wilayah Jabodetabek saja sudah di kisaran Rp9 juta per m2, sesuai dengan Permenpera Nomor 3 Tahun 2014,” kata Eddy.

Apabila revisi peraturan tersebut diberlakukan, di mana harga properti Rp2 miliar dianggap masuk dalam kategori rumah dan apartemen ‘Sangat Mewah’, tentunya juga akan terkena PPnBM.

Dengan demikian, sektor properti akan terbebani pajak penjualan sebesar 45 persen, dengan rincian: PPN 10 persen, PPh lima persen, PPnBM 20 persen, Pajak Sangat Mewah lima persen, dan BPHTB sebesar lima persen.

"Belum lagi, pajak-pajak yang harus ditanggung oleh pengembang sebelumnya, seperti pajak kontraktor (PPN maupun PPh), akuisisi lahan, sertifikat induk, dan lainnya," ujarnya.

Harapan pengembang

Mencermati situasi tersebut, menurut Eddy, DPP REI mengusulkan dua langkah yang diharapkan dapat digunakan untuk meningkatkan penerimaan negara dari pajak bagi sektor industri properti.

Pertama, pemerintah dapat mengakomodasi transaksi REIT (real estate investment trust). Menurutnya,  kebijakan ini bertujuan mendatangkan investor dan dana segar yang cukup besar, sehingga pada akhirnya mampu menambah penerimaan pajak dari sektor properti.

Kedua, kepemilikan properti bagi warga negara asing (WNA). Seperti diketahui, negara-negara lain bisa memanfaatkan properti sebagai sumber pendapatan negara yang cukup besar bagi negara.

Dia menuturkan, properti di Indonesia cukup diminati oleh WNA dan kalangan ekspatriat yang bekerja di dalam negeri. Menurutnya, pemerintah dapat membuat kebijakan guna mematok harga jual minimal unit properti yang boleh dibeli WNA.

Selain itu, besaran pajak yang lebih besar untuk dibebankan kepada konsumen properti dari kalangan WNA. 

Kendati demikian, Eddy mengaku, REI dan segenap pelaku industri properti menyadari pentingnya kebijakan pemerintah dalam mendorong peningkatan penerimaan negara dari sektor perpajakan.

“Namun, penerapan target penerimaan negara itu tentunya jangan sampai justru melemahkan sektor properti,” ungkapnya.

Sebab, kata dia, kalangan pengembang sudah merasakan adanya perlambatan pertumbuhan penjualan pada 2014 lalu, dan kemungkinan akan terus berlanjut pada tahun ini.

REI khawatir, lanjutnya, apabila pelemahan ini terus berlanjut akan berdampak terhadap sektor industri lainnya, di mana diketahui terdapat 174 sektor industri ikutan, termasuk di dalamnya industri perbankan, selaku sektor penunjang bagi pergerakan industri properti nasional.

"Serta, akan mengurangi penyerapan tenaga kerja yang jumlahnya sangat besar," tutur Eddy.

Tingkatkan pengawasan

Sementara itu, berbincang dengan VIVA.co.id, Rabu 28 Januari 2015, Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch, Ali Traghanda, mengatakan aturan pengenaan pajak barang mewah dan sangat mewah yang ada saat ini sebenarnya sudah sangat baik. Namun, implementasinya tidak maksimal karena longgarnya pengawasan dari pemerintah.

"Aturan yang ada saat ini, sebenarnya sudah baik. Hanya, pengawasan di lapangan perlu diperketat dan dimaksimalkan," ujar Ali.

Hal itu, agar pengembang tidak mengakali penjualan rumah, supaya pembeli tidak terkena pajak barang mewah properti. Ali mengaku, tidak setuju jika aturan baru pemerintah justru menurunkan batas pengenaan objek.

"Seharusnya, dengan ekonomi semakin tumbuh, batasan pengenaan dinaikkan, bukan diturunkan. Misalnya, jika apartemen seharga Rp1-2 miliar dulu masih termasuk barang mewah, sekarang masuk kategori kelas menengah," tuturnya.

Dia menambahkan, untuk itu, pemerintah dan segenap pelaku industri properti mengkaji lebih dalam terkait segmentasi seperti apa rumah yang dikategorikan sebagai barang mewah dan super mewah, sehingga pantas dikenakan pajak oleh pemerintah. (asp)

Bekas villa Pangeran Arab.

Dijual, Rumah Bekas Pangeran Arab Seharga Rp325 Miliar

Saat ini rumah itu dimiliki oleh Thomas Sulivan.

img_title
VIVA.co.id
7 Maret 2016