Jangan Biarkan Anak-anak Kita Jadi Geng Penjahat

Ilustrasi kekerasan seksual.
Sumber :
  • VIVAnews/Joseph Angkasa

VIVA.co.id - Menyedihkan. Kata ini layak mewakili ungkapan publik saat dikejutkan oleh munculnya kasus penganiayaan siswi Sekolah Menengah Atas di Dusun Saman Desa Bangunharjo, Yogyakarta, baru-baru ini.

Aksi geng perempuan yang kemudian populer dengan ciri tato Hello Kitty itu terbilang sadis . Bagaimana tidak, geng beranggotakan perempuan usia muda ini tega melakukan hal di luar kemanusiaan kepada siswi kelas III di salah satu SMA swasta di Yogyakarta sehari semalam. Beruntung korban berhasil melarikan diri.

Dengan beringasnya mereka menyekap, menyiksa, menelanjangi korban dan kemudian menggunduli kepalanya. Hingga yang paling kejam, dengan teganya mereka menusuk kemaluan siswi tersebut dengan botol minuman keras.

Perilaku geng Hello Kitty ini memang benar-benar menakutkan. Bukan apa, setidaknya ada tiga hal yang bisa dijadikan alasan bila aksi ini memang menakutkan.

Pertama, para pelaku yang diketahui berjumlah sembilan orang mayoritasnya adalah pelajar dan delapan diantaranya adalah perempuan. Kedua, aksi sadis mereka terhadap korban melebihi batas kewajaran sehingga masuk kategori sadis. Ketiga, pemicu masalahnya ternyata adalah hal yang sangat sepele yakni cuma karena perkara korban memiliki tato serupa dengan mereka yakni tato Hello Kitty.

Habis Bekal, Buron Geng Hello Kitty Serahkan Diri

Bukan yang Pertama

Ahli Sosiologi-Kriminalitas dari Universitas Gajah Mada, Suprapto, menilai bahwa munculnya aksi kekerasan geng Hello Kitty di Yogyakarta hanyalah salah satu letupan bukti maraknya kekerasan di kalangan pelajar di Indonesia.

"Ini bukan fenomena pertama kali dan bukan lokal Yogya saja. Namun sudah terjadi umum di berbagai kota dan kabupaten di Indonesia,"kata Suprapto, Senin 23 Februari 2015.

Dari pengamatannya, munculnya aksi geng pelajar yang kerap berbuat kriminal sebagai buah dari buruknya peran keluarga terhadap anak-anaknya. Lemahnya pengetahuan norma dan tata laku di lingkungan anak, membuat anak akhirnya masuk dalam lingkaran kekerasan.

"Saya melihat anggota geng ini banyak berasal dari keluarga yang tidak memberikan pendidikan yang baik kepada anaknya," jelasnya.

Hingga akhirnya, banyak anak muda pun akhirnya terjerumus dalam geng-geng kriminal. Sejumlah aksi vandalisme pun dilakukan demi menunjukkan eksistensi mereka.

Termasuk diantaranya adalah dengan melakukan kekerasan seperti yang dilakukan oleh geng Hello Kitty. "(Tujuannya) Menonjolkan kelompok mereka dengan harapan akan dikenal masyarakat," kata Suprapto.

Pakar Psikologi Sosial Universitas Islam Indonesia Fuad Nashori menambahkan, munculnya aksi kekerasan di kalangan pelajar ditengarai oleh adanya faktor modelling.

Yakni pembentukan sikap siswa sejak kecil yang didapatnya melalui contoh perilaku kekerasan di tayangan televisi atau perilaku kekerasan yang ditunjukkan oleh orang dewasa. "Mereka belajar dari situ (Televisi dan orang dewasa) yang justru tidak memberi contoh namun berperilaku negatif. Hal ini menjadi role model bagi mereka yang menilai penyelesaian masalah dengan jalan pintas seperti kekerasan adalah lumrah," ujar Fuad.

Penusuk Kemaluan Siswi SMA di Yogya Tak Dipenjara

Lebih Kejam
Dibagian lain, tambah Suprapto, merujuk ke aksi geng Hello Kitty Yogyakarta, terlihat bahwa kebrutalan justru dilakukan lebih kejam oleh perempuan ketimbang pria.

Perempuan, kata dia, cenderung dipenuhi unsur emosional saat melampiaskan dendamnya. Bahkan, juga ada kecenderungan bahwa mereka ternyata tidak terlihat menyesali aksi yang telah mereka perbuat.

"Dan itu terbukti. Korban dicukur rambut kepala dan rambut kelamin. Bahkan botol miras dimasukan dalam alat kelamin," jelasnya.

Pada kasus itu, lanjut Suprapto, terlihat rasionalitas berpikir pun diabaikan. Sehingga dampak hukum yang akan dihadapi, seperti tak digubris oleh para pelakunya. "Rasionalitas tidak lagi dipakai. Mereka tidak berpikir panjang dampak hukum yang menjeratnya. Namun emosi yang diutamakan," ucapnya.

Ketua Komisi Nasional perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait, berpendapat penyebab munculnya aksi kriminal di kalangan pelajar disebabkan oleh sejumlah hal. Yakni, munculnya perilaku feodal yang mengedepankan senior dan junior, puberisitas masa remaja yang dicirikan dengan pencarian jati diri, krisis identitas, kekerasan dalam rumah tangga.

Selanjutnya, pengawasan perilaku anak yang kurang dari orang tua dan sekolah, imitasi dari tontonan media yang mengandung unsur kekerasan, fanatisme yang berlebihan dan upaya pendisiplinan dengan kekerasan yang diterapkan di sekolah ataupun di rumah.

"Termasuk didalamnya adalah gaya di masyarakat ataupun elit pemerintahan yang kerap mempertontonkan intoleransi sosial. Ini menjadi cermin atau daur ulang kekerasan yang dilakukan oleh pelajar kita," kata Sirait.

Ortu dan Sekolah bertanggungjawab
Kriminolog Universitas Indonesia, Purnianti, berpendapat fenomena kekerasan yang dilakukan oleh anak usia muda, secara keseluruhan di Indonesia memang belum begitu masif.

Kendati begitu, perhatian serius atas munculnya fenomena ini wajib diprioritaskan. Mengingat, anak merupakan generasi muda penerus bangsa.

Menilik dari munculnya kasus kekerasan geng Hello Kitty di Yogyakarta dan sejumlah kasus kekerasan lain yang tak terungkap, kata dia, terdapat tiga hal yang wajib menjadi sektor prioritas untuk diawasi.

Ketiga hal itu yakni, pertama sekali adalah rumah. Sebagai tempat berlindung sekaligus tinggal anak, rumah kerap menjadi titik awal munculnya perilaku kekerasan oleh anak. Misalnya kasus kekerasan dalam rumah tangga ataupun munculnya perselisihan antar saudara.

Kedua, adalah lingkungan bermain anak. Menurut Purnianti, kawasan yang menjadi rute perjalanan anak, juga menjadi faktor penyebab munculnya perilaku buruk anak. Lingkungan yang kerap mempertontonkan kekerasan, menjadi faktor penyebab budaya kriminal di pelajar.

Selanjutnya ketiga adalah, lingkungan sekolah. Sebagai ruang bagi anak setelah rumah tinggalnya, sekolah juga kerap menjadi titik picu munculnya sikap kriminal anak.

Perselisihan dengan teman, sikap saling iri, baik itu karena kecantikan, ketampanan, materil dan lain sebagainya, sering menjadi hal sepele yang justru berbahaya bagi sikap anak.

"Jealous (cemburu) entah apapun itu banyak menjadi penyebabnya. Sebab itu kadang pelaku kekerasan, bukan karena dia tidak cerdas atau apa. Tapi memang karena lingkungan sekolahnya yang membuatnya," ujar Purnianti.

Lantas faktor yang manakah yang paling dominan? Purnianti berpendapat, justru lingkungan sekitarlah yang menjadi wilayah yang paling mendominasi munculnya sikap kriminal oleh anak.

"Ketika norma-norma di luar lebih kuat. Maka anak akan terpengaruh kesitu. Rasanya, sejelek apapun orang tua, tidak ada yang ingin mengajarkan moral yang buruk kepada anaknya. Sebab itu, lingkungan menjadi faktor paling dominan pembentuk sikap anak," kata Purnianti.

Sebab itu, ia berharap dibutuhkan perhatian serius kepada keluarga dan sekolah atas hal ini. Teruntuk orang tua, kata Purnianti, selain menanamkan moral yang baik hendaknya dapat juga memberikan ruang demokratis kepada anaknya.

Sehingga, anak dapat dapat menganggap keluarga menjadi bagian penting bagi dirinya saat terbentur masalah. "Ajarkan anak demokratis. Tapi jangan sampai kurang ajar. Tanamkan kepada mereka sehingga mereka dapat menjadikan keluarga sebagai tempat mereka bersandar," katanya.

Sedangkan untuk sekolah, lanjut Purnianti, hendaknya dapat juga melakukan deteksi awal terhadap perubahan perilaku anak. Sehingga dapat meminimalisir dampak lebih awal.

"Guru harus lebih peka terhadap anak. Jangan seperti selama ini, ada masalah dulu baru anak dibimbing. Jadi deteksi dini kalau ada perubahan perilaku anak, sehingga sekolah juga dapat membuat nyaman bagi mereka," kata Purnianti. (ren)

Baca juga:





Anggota Geng Hello Kitty Dituntut Empat Tahun Penjara
Ilustrasi pengadilan

Empat Anggota Geng Hello Kitty Divonis 3 Hingga 4,6 Tahun

Hakim menjatuhkan hukuman penjara bervariasi sesuai perbuatan

img_title
VIVA.co.id
27 Juli 2015