Menyelamatkan Pengungsi Rohingya

Ratusan migran Rohingya yang tiba di Aceh.
Sumber :
  • REUTERS/Roni Bintang

VIVA.co.id - Ratusan etnis Rohingya dari Myanmar dan Bangladesh terdampar di Kecamatan Seunudon, Aceh Utara, Minggu 10 Mei 2015. Dua kapal kayu yang mereka tumpangi kehabisan bahan bakar sehingga karam di lepas pantai Aceh.

Beruntung, nelayan setempat menyelamatkan mereka. Dari para imigran gelap itu, terdapat hampir 100 wanita dan puluhan anak-anak.

"Menurut informasi yang kami dapat sejauh ini, mereka berasal dari Myanmar, dari komunitas Rohingya," kata Mohammed Arif Mutaqin, juru bicara badan SAR Aceh, seperti dikutip dari laman Channel News Asia, Senin, 11 Mei 2015.

Ratusan migran itu meninggalkan Thailand sekitar tujuh hari lalu, dengan beberapa orang meninggal selama perjalanan. "Mereka menderita kelaparan," kata Achmadi, polisi Aceh Utara.

Diperkirakan sudah 25.000 orang Rohingya dan Bangladesh, yang berlayar menggunakan kapal-kapal penyelundup manusia, hanya dalam tiga bulan pertama pada 2015, atau meningkat dua kali lipat dari periode yang sama pada 2014.

Soal jumlah pasti para imigran itu memang belum jelas. Beberapa sumber menunjukkan data yang tidak sama.

Salah satu imigran bernama Muhammad Juned menuturkan bahwa jumlah mereka sebenarnya sebanyak 550 orang. Namun sebanyak 84 orang meninggal dan terpaksa dibuang di laut lepas saat mereka terombang-ambing di kapal selama berbulan-bulan.

Menurut Juned, 84 orang mati karena kelaparan dan sebagian dibunuh tekong kapal yang mereka tumpangi. Dia menambahkan, tujuan mereka ke Malaysia untuk mencari pekerjaan.

Namun, mereka ditipu tekong kapal yang mereka tumpangi. Setelah membayar beberapa ribu ringgit, pemilik kapal tersebut justru meningalkan mereka di lautan.

"Sudah tiga bulan di lautan. Tujuannya Malaysia untuk mencari kerja," kata Juned, yang diajak bicara oleh salah seorang warga Bangladesh yang sudah lama menetap di Aceh, Muhammad Mazmu.

Migran Rohingya itu melanjutkan, saat berangkat jumlah mereka mencapai tiga boat. Namun, mereka terpisah dan hanya satu boat yang terdampar di Aceh. Mereka pertama kali tiba di Desa Meunasah Sagoe.

Sebagian dari mereka yang terdampar tersebut kemudian lari ke Desa Matang Puntong dan Matang Raya Barat di kecamatan yang sama. Mereka sempat mencoba menghindari evakuasi dari warga setempat.

Imigran gelap ini kemudian ditangkap oleh petugas keamanan dan warga. Saat ini, mereka ditempatkan di Gelanggang Olah Raga (GOR) Kecamatan Lhoksukon, Aceh Utara. Mereka akan menjalani pemeriksaan kesehatan oleh Karantina Kesehatan Pelabuhan.

Kondisi mereka sudah lebih baik, selain menyediakan makanan, warga juga memberikan pakaian bekas kepada Muslim Rohingya tersebut.

Sementara imigran dari Bangladesh dan Myanmar yang mendarat di Indonesia lainnya, Muhammad Husein, mengatakan pergi bersama 80 orang Rohingya lainnya dari Myanmar menggunakan lima kapal kecil.

Husein yang dikutip Reuters, Selasa, 12 Mei 2015, mengatakan kapal mereka akhirnya mendekat ke pantai Thailand, setelah dua bulan berada di laut. "Segera setelah dekat dengan Thailand, kami ditangkap," katanya.

"Saya tidak tahu jika orang-orang yang menangkap kami, adalah dari angkatan laut atau penyelundup manusia. Mereka tidak mengenakan seragam, tapi memiliki senjata," ucap Husein.

Dia mengatakan, para migran harus terus berada di kapal, hingga 20 hari kemudian. Mereka hanya diberikan sedikit pasokan makanan dan air minum. "Kami bisa melihat daratan, tapi mereka tidak membiarkan kami keluar dari kapal," ujarnya.

"Banyak dari kami yang terus menangis. Tapi, jika meminta air minum, kami akan dipukuli. Mereka bahkan memukuli para wanita," kata Husein. Pekan lalu, kelompoknya dipindahkan ke kapal lebih besar.

Ada kelompok-kelompok migran lain yang juga dipindahkan ke kapal itu, kemudian dibiarkan terapung di laut lepas. "Kami harus meminum air laut, orang-orang menjadi sakit," ucapnya.

"Akhirnya (Minggu, 10 Mei) kami melihat cahaya, yang semakin dekat bertambah terang. Saat kami dekat dengan daratan, beberapa nelayan datang dan bertanya kami dari mana. Mereka memanggil otoritas, memberitahu bahwa kami ada di Indonesia," kata Husein.

Cari Kerja

Imigran berikutnya, Muhammad Malik (45), mengaku sedang mencari kerja di Malaysia tapi terdampar di wilayah laut Seunudon, Aceh Utara, Minggu 10 Mei 2015. Di negara asalnya yaitu Bangladesh, sehari-hari Malik bekerja sebagai buruh tani.

Menurut Malik, mayoritas warga asal Bangladesh yang terdampar di Aceh bekerja sebagai buruh tani. Ada 260 warga asal Bangladesh bernasib yang sama terdampar diperairan laut Aceh. Mereka semuanya laki-laki yang sudah dewasa.

"Kami mau cari kerja ke Malaysia, negera kami (Bangladesh) negera miskin, susah mencari kerja di sana," kata Muhammad Malik, saat dijumpai VIVA.co.id, Senin, 11 Mei 2015, Lhoksukon, Aceh Utara.

Sejak April 2015 lalu, mereka berangkat dari kota Bugurah, Bangladesh ke Malaysia, melalui calo yang disebut berwarga negara Tiongkok, diiming-iming akan mendapat kerja di Malaysia. Di Bugarah mereka berangkatkan dengan Speed Boat bermuatan 20 orang hingga 30 orang, di tengah-tengah laut yang tingkat diketahui lokasinya dipindahkan ke besar yang bermuatan 500 orang hingg 600 orang.

"Kami tidak tahu akan dipindahkan secara tiba-tiba oleh calo itu," ujar Malik dengan bahasa melayu. Setiap warga yang dijanjikan akan mendapat kerja di Negeri Jiran itu membayar kepada calo sebanyak 4.400 ringgit atau sebanyak Rp16 juta lebih, ternyata mereka ditipu oleh calo yang sama-sama berangkat dalam satu kapal.

Dalam kapal besar itu kata Malik, sudah duluan ada warga Myanmar yang ingin berangkat ke Malaysia juga, sayangnya warga dari negara itu tidak sampai ke tempat tujuan seperti yang janjikan.

Perjalanan meraka tidak semulus yang dibanyangkan, dalam kapal, mereka dianiaya, dipukul pakai rotan, disiram pakai air panas dan dipukul pakai senjata. Sekucur tubuh mereka masih ada bekas pukulan calo asal Tiongkok.

"Mereka (calo) memakai senjata, ada dua senjata, satu pakai pistol dan satu lagi pakai senjata raras panjang," kata Malik.

Sebagian warga sudah berada dilaut selama 1, 2, 3 hingga 4 bulan, dalam kapal itu mereka hanya diberikan makanan apa adanya, tidak sesuai dengan perjanjian.
Muhammad Malik sudah pernah bekerja di Malaysia selama 3 tahun, di sana bekerja diperusahaan besi milik perusahaan asal Negara Tiongkok.

"Saya pulang desa tempat saya tinggal mau jenguk keluarga, tahun ini balik lagi mau bekerja lagi," katanya.

Pengakuan yang sama juga dialami oleh Kasim Ali (44) asal Bangladesh, yang mendapat bohongi calonya, sehingga terdampar di laut Aceh.

Efek Thailand

Pemerintahan junta Thailand saat ini mulai memusatkan perhatian pada jaringan penyelundup manusia. Namun keseriusan Thailand berdampak bagi negara-negara lain, terutama Malaysia dan Indonesia, karena ribuan migran dari Myanmar dan Bangladesh beralih ke dua negara itu.

Dikutip dari Reuters, terjadi peningkatan jumlah pengungsi dari Bangladesh dan Myanmar dalam jumlah besar, menggunakan kapal-kapal ke Malaysia dan Indonesia, dalam beberapa hari terakhir.

Peningkatan terjadi setelah pemerintah junta Thailand mulai menyikapi dengan serius, kasus penyelundupan manusia yang disebut melibatkan personel kepolisian.

Thailand sebelumnya merupakan tujuan utama jaringan perdagangan manusia. Sehingga tertutupnya akses, membuat pelaku penyelundupan manusia mengalihkan perhatian ke Malaysia dan Indonesia.

Lebih dari 100 pengungsi Rohingya ditemukan telantar di Thailand Selatan, pekan lalu, setelah ditinggalkan oleh para penyelundup. Diperkirakan 25.000 Rohingya menumpang kapal-kapal kayu, dalam tiga bulan pertama 2015.

Efek kebijakan Thailand itu membuat negeri Jiran Malaysia bereaksi. Mereka sudah menahan lebih dari seribu pengungsi, termasuk puluhan anak-anak, Senin, 11 Mei 2015, sehari setelah hampir 600 pengungsi tiba di Aceh.

Polisi Malaysia di Pulau Langkawi, dekat dengan perbatasan Thailand, mengatakan tiga kapal tiba di tengah malam, untuk menyelundupkan migran. Mereka kemudian dibawa ke pantai.

Satu kapal tertangkap, namun dua kapal lainnya berhasil melarikan diri. "Mereka datang dari negara asalnya ke Thailand dan Malaysia, melalui Langkawi," kata kepala polisi setempat, Harrith Kam Abdullah.

Kapal-kapal itu memuat 555 orang Bangladesh dan 463 Rohingya, yang akan diserahkan ke departemen imigrasi. Malaysia dan Indonesia menjadi negara tujuan lainnya, karena memiliki penduduk mayoritas Muslim.

Juru bicara kepolisian Thailand Letjen Prawut Thawornsiri, mengakui diatasinya penyelundupan manusia ke Thailand, telah memicu peningkatan arus migran ke negara-negara lain.

"Ya, penghentian mempengaruhi kapal-kapal. Mereka menuju Indonesia. Tugas kami adalah menghentikan kapal-kapal, tidak membiarkan mereka mendarat di pantai kami," kata Prawut.

Tapi dia tidak mengatakan, apakah dengan begitu pihaknya sengaja membiarkan kapal-kapal migran, berlayar menuju Malaysia dan Indonesia.

Pusat Penahanan

Pejabat Malaysia, Selasa, 12 Mei 2015, mengatakan Thailand dan Malaysia mungkin akan membuat kamp-kamp dan pusat penahanan, untuk menampung ratusan pengungsi yang tiba di pantai mereka.

"Kami punya ruang di pusat detensi sekarang, tapi jika itu tidak cukup, kementerian memiliki kewenangan untuk mendeklarasikan pusat detensi baru," kata Wan Junaidi Tuanku Jaafar, wakil menteri dalam negeri Malaysia.

Dikutip Reuters, migrasi ribuan pengungsi dari Bangladesh dan Myanmar saat ini merupakan yang terbesar. "Kami diberi tahu, bahwa itu akibat penutupan perbatasan oleh otoritas Thailand," ucap Jaafar.

"Oleh karena itu kami perlu mencari tahu juga, apakah Malaysia merupakan tujuan akhir mereka," ujarnya. Saat ini diperkirakan tidak kurang dari 7.000 manusia kapal masih berada di Teluk Bengal.

Media Thailand, Bangkok Post, mengutip pernyataan kepala polisi Somyot Pumpunmuang, tentang usul pembentukan kamp-kamp. Somyot mengatakan telah mengusulkan pembentukan kamp resmi, walau dia mengakui rencana itu bisa menarik minat lebih banyak pengungsi.

Malaysia meminta adanya pembicaraan darurat dengan Myanmar dan Bangladesh untuk mencegah kembali datangnya migran dalam jumlah besar ke Langkawi, Malaysia.

Upaya Indonesia

Lantas bagaimana upaya pemerintah Indonesia terhadap para pengungsi Rohingya itu?

Pemerintah Daerah Aceh Utara berjanji akan menyediakan tempat yang layak untuk menampung sementara 582 imigran asal Myanmar dan Bangladesh, yang terdampar di Laut Seunedon, Aceh Utara, Provinsi D.I Aceh, Minggu 10 Mei 2015. Saat ini, mereka masih ditampung di GOR di Lhoksukon, Aceh Utara.

"Saat ini, kami masih mencari lokasi yang tepat untuk para imigran ini. Memang ada sejumlah lokasi, tetapi kami belum memutuskan di mana yang cocok untuk dapat menampung 582 imigran tersebut," kata Wakil Bupati Aceh Utara, Muhammad Jamil, saat dimintai keterangan oleh VIVA.co.id pada Senin 11 Mei 2015 di Aceh Utara.

Jamil mengatakan, imigran dari kedua negara itu masih dalam tahap memberikan bantuan makanan dan obat-obatan. Mereka juga membutuhkan perawatan yang intensif usai berhari-hari terombang-ambing di tengah lautan.

"Pemeriksaan keseluruhan, nantinya akan dilanjutkan oleh tim medis. Ini hanya dicek kesehatan sementara saja," tutur Jamil.

Berdasarkan informasi yang diperoleh VIVA.co.id, 582 imigran asal Myanmar dan Bangladesh itu ditemukan terdampar di Kecamatan Seunedon, Aceh Utara pada Minggu pagi kemarin. Saat itu, mereka ditampung di Meunasah oleh warga desa setempat.

Ratusan warga yang diduga dari Myanmar tersebut, telah dievakuasi oleh warga dengan menggunakan sejumlah perahu. Mereka diduga sudah berhari-hari di laut meninggalkan negaranya.

Ratusan pengungsi asal Myanmar dan Bangladesh itu semula akan menuju ke Malaysia untuk mencari pekerjaan di sana. Tetapi, mereka ditipu oleh calo asal Tiongkok dan malah dilepaskan di wilayah perairan perbatasan Thailand dan Indonesia. Akibatnya, kini mereka terdampar di Laut Aceh.

Beberapa hari berada di GOR Lhoksukon, Pemerintah Daerah Aceh Utara berencana memindahkan para pengungsi ke tempat penampungan yang baru di Desa Kuala Cangkoi, Kecamatan Lapang, Aceh Utara. Alasannya, lokasi penampungan tersebut memiliki tempat sanitasi yang kurang steril.

Selain itu, pemindahan dilakukan untuk memberikan tempat yang layak kepada para imigran yang terdampar di wilayah laut Aceh. Pemerintah Aceh Utara sudah menyiapkan tiga unit gedung di TPI Kuala Cangkoi, di sana mereka bisa lebih leluasa dalam beraktivitas atau berolahraga.

"Ada sejumlah lokasi yang sudah ditentukan, salah satu di TPI Kuala Cangkoi, Ketapang," ujar Wakil Bupati Aceh Utara, Muhammad Jamil mengatakan kepada VIVA.co.id, Rabu 13 Mei 2015, di Aceh Utara.

Warga Aceh Utara terus berdatangan ke GOR untuk  membawa bantuan untuk imigran. Ada yang membawa pakaian bekas, beras, buah-buahan hingga obat-obatan.

Sementara itu, keterangan berbeda disampaikan oleh TNI Angkatan Laut. Mereka telah mengembalikan ratusan pengungsi Rohingya asal Myanmar dan Bangladesh itu ke perairan untuk menuju ke Malaysia.

Juru bicara TNI AL, Manahan Simorangkir, yang membenarkan informasi itu. Namun, Manahan membantah perahu mereka diarahkan ke Malaysia, tujuan para pengungsi Rohingya itu semula. Sebelum dikembalikan ke perairan, mereka juga diberi makanan dan air pada Senin kemarin, 11 Mei 2015.

"Perahu itu kembali didorong keluar dari perairan Indonesia. Kami telah memberikan mereka bahan bakar dan meminta mereka agar segera meninggalkan Indonesia," ujar Manahan seperti dikutip dari stasiun berita Channel News Asia, Selasa, 12 Mei 2015.

Dia mengaku tidak memaksakan para pengungsi itu untuk pergi ke Malaysia atau Australia.

"Itu bukan urusan kami. Yang menjadi kepentingan kami yaitu mereka tidak masuk ke perairan Indonesia, karena RI bukanlah tujuan mereka," kata Manahan.

Namun, tidak diketahui perahu yang mana yang didorong oleh TNI AL. Sebab, terdapat dua gelombang kedatangan. Pertama, pada akhir pekan lalu, sebuah perahu berisi 600 imigran gelap asal Myanmar terdampar di wilayah perairan Indonesia. Kedua, pada Senin kemarin, terdapat tambahan 400 orang imigran gelap lainnya.

Menurut koresponden BBC, para pelaku penyelundupan pengungsi Rohingya enggan menggunakan rute biasa melalui Thailand. Sebab, mereka sadar Pemerintah Negara Gajah Putih tengah gencar melakukan kampanye untuk menghalau kedatangan mereka.

Sebelum dilepas, Manahan memastikan, kondisi para pengungsi Rohingya itu masih hidup dan dalam keadaan baik.

Terkejut

Tetapi, kebijakan yang ditempuh oleh TNI AL itu membuat terkejut Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM). Juru bicara IOM, Jow Lowry, mengatakan seandainya dorong perahu itu benar, maka mereka benar-benar mengejutkan.

Para pengungsi itu justru butuh untuk berada di daratan. Sebab, banyak laporan yang mengatakan para penumpang di dalam perahu seperti itu justru membutuhkan bantuan darurat karena ada laporan mereka menderita penyakit beriberi, yakni sebuah penyakit yang disebabkan oleh kekurangan vitamin.

"Beriberi akan menyebabkan bagian tubuh Anda yang tersisa hanya tulang belulang belaka. Mereka akan membutuhkan bantuan kemanusiaan secepatnya," kata Lowry.

Mereka mengatakan orang-orang seperti pengungsi Rohingya banyak yang menjadi korban perdagangan manusia. Bahkan, tidak sedikit yang dijadikan sandera oleh para penyelundup mereka.

"Ada beberapa contoh yang sudah berada di laut sejak awal Maret lalu menanti perahu untuk memindahkan mereka dan menanti uang tebusan," kata Lowry.

Dia menambahkan, para pengungsi itu tentu diberi makanan dan air. Tetapi, tidak diketahui dengan jelas kandungan nutrisi di dalamnya. 

Myanmar Diminta Tak Diskriminatif Terhadap Rohingya

(ren)

Ilustrasi perempuan.

Kejam, Suami Istri Ini Jual dan Lacurkan TKI di Malaysia

Korban yang terdata hingga 23 orang.

img_title
VIVA.co.id
1 Agustus 2016