Akselerasi Lambat Laju Infrastruktur Indonesia

Kelanjutan Tol Becakayu
Sumber :
  • Antara/Wahyu Putro
VIVA.co.id
Sofjan Wanandi: Demo Tak Pengaruh Iklim Investasi
- Infrastruktur dasar yang memadai, merupakan salah satu syarat mutlak, yang harus dimiliki untuk menjadi negara maju. Karena ketersediannya, baik itu infrastruktur dasar maupun penunjang, membuat investasi dapat berkembang dengan pesat di suatu negara. 

Singapura Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi 2016
Dari sisi pasar, tidak diragukan lagi bahwa Indonesia merupakan surganya para investor di seluruh dunia. Sebanyak 250 juta penduduk, yang mayoritas kelas menegah, jelas menjadi pasar yang mengiurkan bagi investor dalam maupun luar negeri. 

Jokowi: Tax Amnesty Jadi Jawaban Merebut Dana Investasi
Ada kelebihan pasti ada kekurangan. Managing Director & Co-head of Asian Economic Research HSBC‎, Frederic Neumann, Selasa 26 Mei 2015, mengatakan dari sisi ketersediaan, infrastruktur di Indonesia tidak terlalu ketinggalan dibanding negara-negara di kawasan.

Namun dari sisi kualitas, tambanya, rating (peringkat) infrastruktur Indonesia jauh di bawah rata-rata, bahkan masuk tiga besar urutan paling bawah. 

"Jika dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan, indeks kualitas infrastruktur di Indonesia masih berada di peringkat terendah kedua," kata Frederic di Jakarta.

Dia memaparkan, saat ini, infrastruktur di Singapura dinilai paling berkualitas dengan poin 1,47. Diikuti Korea Selatan 1,1, Jepang 1,05, Sri Langka 0,59, Malaysia 0,55, India 0,5, Thailand 0,47, dan Vietnam 0,4, dan Indonesia 0,35. Sementara itu, hanya Filipina berada di bawah Indonesia dengan poin 0,30. 

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Erani Yustika kepada VIVA.co.id, mengatakan pemerintah saat ini menyadari betul akan hal itu. Karenanya, cara dilakukan adalah dengan meningkatkan anggaran pemerintah, guna memperbaiki mutu infrastruktur yang dibangun. 

"Pemerintah sudah mengetahui, apa saja yang akan mereka kerjakan. Tapi memang, persoalan di lapangan tidak semudah apa yang dibayangkan," ujarnya. 



Mengais-ngais anggaran infrastruktur

Kecilnya alokasi anggaran yang disiapkan pemerintah di masa lalu, menjadi permasalahan utama mengapa pembangunan infrastruktur Indonesia tak maksimal. Karena itu, pula permasalahan kualitas sering kali di ke sampingkan pemerintah dalam implementasinya.  

Peneliti Indef Ahmad Heri Firdaus, mengungkapkan anggaran infrastruktur di Indonesia tidak pernah ideal, yaitu minimal lima persen terhadap produk domestik bruto (PDB).

Hingga saat ini, pemerintah hanya mengalokasikan maksimal tiga persen terhadap PDB, jauh jika dibanding negara tetangga, seperti China sebesar 14 persen terhadap PDB, bahkan Malaysia yang sudah tujuh persen terhadap PDB. 

"Infrastruktur kita ketinggalan, dan percepatannya juga tidak terlalu masif seperti negara lain," tegasnya, ketika berbincang dengan VIVA.co.id, Selasa 26 Mei 2015. 

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, Presiden Joko Widodo membutuhkan anggaran sebesar Rp5.519 triliun untuk menggenjot infrastruktur. Anggaran tersebut, akan digunakan untuk membangun infrastruktur dasar dan penunjang kegiatan bisnis di Indonesia, antara lain jalan raya, kereta api, ketenagalistrikan, dan perumahan. 

Dalam RPJMN itu dijabarkan, pendanaan program-program tersebut berasal dari APBN, APBD, BUMN, dan swasta. Dengan rincian, pembiayaan APBN diproyeksikan sebesar Rp2.215,6 triliun (40,14 persen). Sedangkan dari APBD dan BUMN masing-masing sebesar Rp545,3 triliun dan BUMN Rp1.066,2 triliun (19,32 persen), sektor swasta diharapkan menyumbang sebesar 30,66 persen dari total tersebut, atau sebesar Rp1.692,3 triliun. 

Di tahun pertama pemerintahannya, Jokowi menyiapkan anggaran khusus infrastruktur sebesar Rp290 triliun. Anggaran subsidi untuk masyarakat pun dipangkas, guna memenuhi ambisinya mengembangkan infrastruktur di Indonesia. 

"Sampai pemerintah kemarin mengorbankan beberapa alokasi belanja lain, termasuk subsidi tadi. Itu kan, termasuk bagian rencananya," ujar Ahmad Erani Yustik.

Selain mengandalkan anggaran APBN yang bersumber salah satunya dari pajak, pemerintah juga membuka diri untuk menerima pinjaman dari berbagai negara dalam bentuk kerja sama bilateral. Saat ini, sedikitanya ada dua negara, China dan Jepang, yang bertarung untuk terus memberikan pinjaman ke Indonesia untuk membiayai proyek infrastruktur yang dicanangkan Jokowi. 

Catatan VIVA.co.id, dana segar dari beberapa lembaga keuangan internasional juga dialirkan ke Indonesia untuk mewujudkan ambisi tersebut. Antara lain, dari kelompok Bank Dunia (World Bank/WB), Bank Pembangunan Asia (Asia Development Bank/ADB), dan Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB). 

Bahkan, negara-negara Islam juga ingin membentuk Bank Investasi Infrastruktur Islam (Islamic Investment Infrastructure Bank/IIIB), yang nantinya akan memberi pinjaman bagi negara Islam yang ingin membangun infrastruktur. 

Pemerintah daerah dan BUMN pun akhirnya didorong utang untuk mendorong pembangunan infrastruktur. Akhirnya, agar tidak berisiko menggangu stabilitas fiskal pemerintah, lindung nilai (hedging) diharuskan bagi BUMN dan pemerintah daerah yang akan menarik pinjaman. 

Masalah anggaran memang menjadi masalah yang utama dihadapi. Namun, ada hal lain yang harus menjadi perhatian pemerintah dalam menggenjot pembangunan infrastruktur, yaitu permasalahan lahan dan rumitnya birokrasi yang ada.

"Itu kan, bukan persoalan sederhana. Cuma diharapkan, pemerintah bisa lebih efektif lagi untuk itu," tambahnya. 

Lebih lanjut, menurut Heri, permasalahan lahan ini harus mendapatkan perhatian lebih, sebab banyak proyek infrastruktur mangkrak karenanya. Pemerintah harus membuat bank tanah yang berfungsi untuk stabilisasi harga tanah si suatu kawasan, khususnya yang menjadi lokasi pembangunan proyek infrastruktur pemerintah.  

"Solusinya didirikan secepat mungkin bank tanah, untuk maintain harga lahan di Indonesia," tambahnya.

Permasalah itu sebenarnya juga sudah terjawab, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional telah mewacanakan pembentukan bank tanah tersebut. Namun, implementasinya baru bisa efektif paling cepat tahun depan.  

"Kita butuh bank tanah dan bank infrastruktur. Secepatnya didirikan," tegasnya.



Akselerasi yang lambat

Pada masa awal kepemimpinannya akhir tahun lalu, Jokowi optimistis dapat menggenjot realisasi pembangunan infrastruktur mulai awal tahun ini. Namun, proses pengesahan anggarannya terkatung-katung di DPR dan baru bisa diselesaikan pada triwulan I 2015. 

Alhasil, pertumbuhan ekonomi mengalami perlambatan menjadi 4,7 persen, terburuk sejak 2009. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil, mengatakan perlambatan itu terjadi, salah satunya karena terlambatnya pembangunan proyek infrastruktur yang diinisiasi pemerintah. 

Hal tersebut yang membuat Jokowi selama dua bulan ini sibuk meresmikan pembangunan proyek infrastruktur hingga ke pelosok Indonesia. "Mei ini kan, pengeluaran pemerintah digalakkan terus, semua program dipercepat. Pak Presiden Joko Widodo terus meresmikan proyek, memaksakan terus penggunaan anggaran," ujar Sofyan. 

Dalam dua bulan ini, catatan VIVA.co.id, sedikitnya ada lima mega proyek yang masuk program kerja Jokowi sudah dimulai pembangunannya. Yaitu, program pembangunan pembangkit listrik 35 ribu megawatt dan program satu juta rumah.

Kemudian, proyek infrastruktur kawasan ekonomi khusus (KEK) di beberapa daerah, proyek pembangunan beberapa waduk, dan proyek jalan tol di beberapa daerah. Bahkan, saking banyaknya peresmian proyek, Jokowi mengaku bosen melakukan peresmian proyek. 

"Saya tidak ingin ada kesan, groundbreaking (penanaman tiang pangcang) secara seremonial, tetapi tindak lanjut tidak cepat. Ke depan, saya ingin dikerjakan dulu, jalan selesai 2-3 kilo baru saya datang. Pelabuhan juga begitu, alat berat datang sudah kerja 1-2 bulan baru saya datang," kata dia saat membuka rapat terbatas dengan para menterinya membahas infrastruktur, di kantornya, Selasa 26 Mei 2015. 

Jokowipun menegaskan, Percepatan pembangunan proyek harus segera dilakukan. Sebab, menurut data, banyak sekali terjadi ketidaksinkronan antara level atas hingga ke bawah dalam implementasinya.

"Banyak tumpang tindih regulasi, pengadaan lahan yang bermasalah. Proses pengadaan, izin-izin, terutama izin lokasi, izin hutan. Kemudian, juga amdal, dan kalau menyangkut pinjaman dari luar negeri, ini juga sering terlambat untuk segera diputuskan," kata dia.

Terlepas dari beberapa aspek tersebut, menurut Frederic Neumann, HSBC beranggapan Indonesia masih memiliki peluang besar untuk menjadi negara maju. Apalagi, pengembangan infrastruktur yang dilakukan saat ini didukung oleh bonus demografi yang saat ini sedang dialami Indonesia.  
 
Hal itu menjadi salah satu kekuatan yang menjadi pertimbangkan investor dalam mengembangkan bisnis Indonesia.

"Indonesia pada 2030, akan memiliki jumlah penduduk dengan usia produktif yang lebih tinggi di atas Tiongkok, dan negara macan Asia lain, seperti Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, dan Singapura, " jelasnya. (asp)
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya